--- SELAMAT DATANG DI WEBSITE LEMBAGA STUDI ISLAM MADANI --- PESANTREN MADANI KOTA CIMAHI --- YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM MADANI KOTA CIMAHI JAWA BARAT INDONESIA --- TELP. 085624018800 ATAU 082117533596 ---

Kamis, 20 Oktober 2011

ILMU WARIS


I. ARTI, DAN PENTINGNYA HUKUM WARIS
بسم الله الرحمن الرحيم
A. Pengertian
Gambar ini mengisyaratkan bahwa Ilmu warits terkadang disebut ilmu al-faraidl, ilmu al-tirkah dan ilmu al-mawarits.
1. Nama  al-Mawarits diambil dari kata   ورث pada Qs.4:11, , Qs.27: 16 dan يورثها pada Qs.4:176, Qs.4:12, Qs.7:128 yang berarti pusaka mempusakai, atau waris mewarisi. Dinamakan demikian, karena ilmu ini membicarakan tentang aturan syari’ah yang berkaitan dengan hal ihwal pusaka atau warisan al-marhum untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya.
2. Nama al-Faraidl diambil dari kata فريضة   sperti pada Qs.4:7, Qs.4:11, Qs.2:326-237, Qs.4:24, Qs. 9:60, yang berarti bagian tertentu. Dinamakan demikian, karena mengatur pembagian pusaka hingga menjadi bagian tertentu.
3. Istilah al-Tirkah diambil dari kata تَركَ   dalam Qs.4:7, Qs.4:33, Qs.2:180, Qs.2:248, , Qs.4:11, Qs.4:12, Qs.4:33, Qs. 4:176, Qs.16:51, Qs.35:45, yang berarti meninggalkan.  Dinamakan ilmu tirkah yang berarti peninggalan, karena mempelajari aturan-aturan syari'ah tentang harta peninggalan. Pengertian tirkah yang hampir sama dengan Warits di sini ialah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh yang wafat baik berupa  harta,  utang piutang, atau pun hak dan kewajiban. Orang yang berhak atau memiliki warits dinamakan Ahl al-waris atau al-Waritsun. Orang Yang meninggal atau mewariskan disebut al-Muwarrits. Sedang harta atau apa saja yang ditinggalkan mayit disebut al-Mauruts atau al-tirkah.

B. Pentingnya Mempelajari Hukum Waris
Berdasar apa yang digambarkan, betepa penting bagi kaum muslimin untuk mempelajari hukum waris karena:
1. Hukum Waris merupakan bagian dari syari’ah Islam yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Mempelajari syari’ah merupakan kewajiban setiap individu muslim. Rasul SAW bersabda:
الْعِلْمُ ثَلَاثَةٌ وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ فَضْلٌ آيَةٌ مُحْكَمَةٌ أَوْ سُنَّةٌ قَائِمَةٌ أَوْ فَرِيضَةٌ عَادِلَةٌ
Ilmu pokok itu ada tiga, yang lainnya hanya keutamaan; ayat muhkamat, sunnah yang tegak dan hukum faraidl yang adil. Hr. Abu Dawud, dari Abd Allah bin Am bin Ash.[1]
2. Mempelajari ilmu faraidl merupakan kewajiban setiap muslim dan sebagai langkah penyelamatan syari’ah.
تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهَا فَإِنَّهُ نِصْفُ الْعِلْمِ وَهُوَ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلُ شَيْءٍ يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي
Pelajarilah ilmu faraidl, dan ajarkanlah. Sesungguhnya ilmu tersebut merupakan bagian pokok dari segala ilmu, yang sering dilupakan. Ilmu tersebut juga yang pertama kali terlepas dari umatku. Hr. Ibn Majah[2] dari Abi Hurairah.[3]
3. Siapa pun akan menjadi ahli waris dan muwarits. Firman:
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا
Bagi tiap-tiap orang, Kami jadikan pewaris-pewarisnya dari harta yang ditinggalkan, yaitu ibu bapak dan karib kerabat,dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka. Oleh karena itu berikanlah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. Qs.4:33












C. Pentingnya Membagi Waris secara Islam

Apa yang diagambarkan ini mengisyaratkan bahwa membagi warits secara Islam sangat  tepat,  penting, dan hukumnya wajib, karena:
1. Harta yang dimiliki oleh manusia bersifat sementara. Tidak ada manusia yang bisa memiliki hartanya sepanjang masa, karena akan ditinggal mati. Pemilik mutlak segala harta adalah Allah SWT.
عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقْرَأُ أَلْهَاكُمْ التَّكَاثُرُ قَالَ يَقُولُ ابْنُ آدَمَ مَالِي مَالِي قَالَ وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلَّا مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ
Mutharif menerangkan bahwa bapaknya sampai kepada Rasulullah SAW sedang membaca alhakumut-ttakatsur dan beliau bersabda: “Anak cucu Adam (manusia) mengatakan hartaku, hartaku” padahal tidak ada harta yang kamu miliki itu kecuali yang kamu sedekahkan sebagai tabungan di akhirat, atau kamu makan yang akhirnya menjadi hilang, atau yang kamu pakai yang akhirnya menjadi rusak. HR. Muslim dan al-Turmudzi.[4]
Menurut hadits ini harta yang tetap menjadi milik yang kekal itu hanya yang disedekahkan sebagai tabungan di akhirat. Harta yang dimakan, paling saripatinya menjadi daging, ampasnya menjadi sampah. Pakaian yang dipakai atau tempat tinggal yang tempati, memang menjadi rejeki, tapi lama kelamaan menjadi rusak, dan akan berakhir.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَقُولُ الْعَبْدُ مَالِي مَالِي إِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلَاثٌ مَا أَكَلَ فَأَفْنَى أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ
Abu Hurairah menerangkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: Manusia sebagai hamba mengatakan: ”Hartaku, hartaku”. Sesungguhnya hartanya itu hanya tiga; apa yang ia makan menjadi sirna, apa yang ia pakai menjadi rusak, atau yang ia sedekahkan yang menjadi tabungan kekal. Sedangkan selain itu adalah hilang tanpa bekas, atau ia tinggalkan untuk orang lain. HR. Muslim.[5]
Manusia hanya memiliki hak guna pakai selama hidup, kecuali harta yang disedekahkan. Jika mati maka harta peninggalannya kembali kepada pemilik mutlak. Oleh karena itu hanya Allahlah sebagai pemilik mutlak yang berwenang untuk menentukan pembagiannya. Ketentuan pembagian warisan itu dipaparkan dalam hukum faraidl.
2. Kebanyakan manusia bertabiat rakus dan kikir.
Allah SWT berfirman:
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا(*)إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا(*)وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا(*)إِلَّا الْمُصَلِّينَ(*)الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ(*)وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ(*)لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ(*)
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), (Qs.70: 19-25).
Essensi ayat tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Beradasar Qs.70:19-24, sebagaimana digambarkan di atas, manusia itu bertabi'at kikir dan keluh kesah. Jika mendapat harta akan kikir, jika kekurangan harta akan keluh kesah, kecuali yang menegakkan shalat dan menydari bahwa dalam harta yang dimiliki ada hak orang lain. Mereka akan berlomba memiliki harta sebanyak-banyaknya. Sedangkan harta warisan pemiliknya meninggal. Jika tidak ada aturan yang membagikannya akan timbul berbagai krisis keluarga. Aturan membagi warits harus bersifat mutlak dan adil. Oleh karena itu pedomannya harus bersumber dari yang Maha Adil; Allah SWT. Sumber hukum yang mutlak benar adalah Al-Islam; al-Qur'an dan Al-Sunnah. Jika membagi waris tidak berdasar aturan yang mutlak benar, keluarga pun bisa menjadi musuh. Tatkala pemilik harta masih hidup, keluarganya rukun, tapi tatkala ada yang wafat terkadang anak pun bisa menjadi musuh. Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Qs.64:14
 
Pada ayat selanjutnya, Allah SWT berfirman:إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar. Qs.64:15.
3. Hukum warits telah dijelaskan secara rinci dan  jelas dalam al-Qur'an dan Al-Sunnah. Barang siapa mengubah, mengurangi, atau menambah, maka termasuk  Bid'ah, karena telah mengada-ada dalam hal agama.
4. Allah SWT adalah yang Maha Adil dan Maha Bijaksana (Qs.At-Tin). Hukum warits yang paling adil adalah yang bersumber pada ketentuan yang Maha Adil; al-Qur'an dan al-Sunnah.
5. Allah SWT telah mengancam; barang siapa  yang  tidak menetapkan hukum berdasar hukum Allah adalah Kafir (Qs.5:44-45).
6. Membagi warits berdasar Islam adalah diperintahkan langsung oleh Allah SWT. Oleh karena itu barang siapa  yang membagi warits berdasar Islam termasuk Ibadah kepada  Allah SWT, yang pahalanya langsung dari Allah SWT. Allah SWT berfirman:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.Qs.4:13
7. Orang yang melanggar hukum Allah dalam pembagian warits akan masuk neraka. Firman-Nya:
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasuk-kannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (Qs.4:14).
Dengan demikian, pembagian waris tidak ada tawar menawar lagi kecuali mengikuti aturan syari'ah Islamiya. Membagi waris berdasar syari'ah mendatangkan pahala, melanggar hukum syari'ah menjeruskan ke neraka.
Bersambung ke makalah berikutnya, tentang prinsip dan rukun waris.


[1]  Abu Daud (202H-275H), Sunan Abi Daud, (Beirut, Dar al-Fikr), juz 3 h.119
[2] Hr. Ibn Majah, (207H-275H), Sunan Ibn Majah, (Beirut, Dr al-Fikr) juz 2 h.908
[3] Hadits ini dianggap shahih oleh Hakim dan dianggap dla’if oleh Bukhari dan al-Nasa’iy
[4]  Sulaiman Bin Daud al-Thayalisi (w.204H), Musnad al-Thayalisi (Beirut Dar al-Ma’rifah) h.156
[5]  Muslim Bin Hajaj (206H-261H), Shahih Muslim (Beirut, Dar Ihya Turats) juz 4, h. 2273

Tidak ada komentar: