--- SELAMAT DATANG DI WEBSITE LEMBAGA STUDI ISLAM MADANI --- PESANTREN MADANI KOTA CIMAHI --- YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM MADANI KOTA CIMAHI JAWA BARAT INDONESIA --- TELP. 085624018800 ATAU 082117533596 ---

Jumat, 09 Desember 2011

ILMU MUKHTALIF AL-HADITS WA MUSYKILUH


ILMU MUKHTALIF AL-HADITS WA MUSYKILUH
(علم مختلف الحديث ومشكله)
Oleh Khambali

PENDAHULUAN
Ilmu mukhtalif al-hadits termasuk ilmu terpenting bagi ahli hadits, ahli fiqh dan ulama-ulama lain. Bagi yang hendak menekuninya harus memiliki pemahaman yang mendalam, ilmu yang luas, terlatih dan berpengalaman. Orang yang bisa mendalaminya hanyalah mereka yang mampu memadukan antara hadits dan fiqh. Dalam hal ini, As-Syakhawi mengatakan: “Ilmu ini termasuk jenis yang terpenting yang sangat dibutuhkan oleh ulama di berbagai disiplin. Yang bisa menekuninya secara tuntas adalah mereka yang berstatus imam yang memadukan antara hadits dan fiqh dan yang memiliki pemahaman yang sangat mendalam”.[1]
Ilmu ini merupakan salah satu buah dari penghafal hadits, pemahaman secara mendalam terhadapnya, pengetahuan tentang ‘am dan khash-nya, yang muthlaq dan muqayyad-nya dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penguasaan terhadapnya. Karena tidak cukup bagi seseorang hanya dengan menghafal hadits, menghimpun sanad-sanadnya dan menandai kata-katanya tanpa memahaminya dan mengetahui kandungan hukumnya.
Para ulama telah memberikan perhatian serius terhadap ilmu mukhtalif al-hadits dan musykil al-hadits ini sejak masa para sahabat Rasul Saw, yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah  Rasulullah Saw, wafat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antara berbagai hadits, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi generasi mengikuti jejak mereka, mengompromikan antara hadits yang tampaknya saling bertentangan dan menghilangkan kesulitan dalam memahaminya. Para ulama memiliki peran yang besar dalam menghilangkan dan mengenyahkan sebagian kerumitan yang ditebarkan oleh sementara aliran, seperti Mu’tazilah dan Musyabbihah seputar beberapa hadits. Mereka menjelaskan pemahaman yang benar mengenai hal-hal tersebut dan menghimpunnya di dalam karya-karya spesifik.[2] Dalam hal ini, penulis akan mencoba menguraikan dengan singkat tentang apa, bagaimana dan mengapa ilmu mukhtalif al-hadits ada dalam pembahasan ilmu hadits.

PEMBAHASAN
A.      Definisi Ilmu Mukhtalif Al-Hadits
Menurut Ajjaj al-Khathib, bahwa Ilmu Mukhtalif Al-Hadits, ialah:
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang membahas hadits-hadits, yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana yang membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya[3].

Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadits, hadits-hadits yang tampaknya bertentangan akan diatasi dengan menghilangkan pertentangan dimaksud. Begitu juga kemusykilan yang terlihat dalam suatu hadits, akan segera dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadits tersebut.
Definisi yang lain menyebutkan sebagai berikut:
علم يبحث عن الاحاديث التي ظاهرها التناقض من حيث امكان الجمع بينهاامابتقييد مطلقها اوبتخصيص عامها عامها اوحملها على تعدد الحادثة اوغيرذلك
Ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid kemutlakannya, atau mentakhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadits tersebut, dan lain-lain[4].
Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadits dengan ilmu musykil al-hadits, ilmu ta’wil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtiaf al-hadits. Akan tetapi yang dimaksudkan oleh istilah-istilah di atas, artinya sama[5].
Sasaran ilmu ini mengarah pada hadits-hadits yang saling berlawanan untuk dikompromikan kandungannya dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya dan seterusnya. Atau yang dalam kitab Manhal al-Lathif  biasa disebut al-ahadits allati mutadhadan fi al-ma’na bi hasabi azh-zhahiry[6]. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih[7]. Disebutkan bahwa Imam asy-Syafi`i (w. 204 H.) adalah ulama yang memelopori munculnya disiplin ilmu mukhtalif al-hadits. Hal ini terlihat dalam karya besarnya “al-Umm”, meskipun beliau tidak secara khusus mengarang kitab mukhtalif al-hadits, tetapi di dalam kitab al-Umm beliau mencantumkan pembahasan khusus tentang mukhtalif al-hadîts.
Jadi, ilmu ini berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau lebih hadits yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits tersebut adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhish keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadits, ulama fiqh, dan lain-lain.
Sebagai contoh adalah dua hadits shahih di bawah ini:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا أَبُو جَنَابٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ قَالَ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ الْبَعِيرَ يَكُونُ بِهِ الْجَرَبُ فَتَجْرَبُ الْإِبِلُ قَالَ ذَلِكَ الْقَدَرُ فَمَنْ أَجْرَبَ الْأَوَّلَ (رواه احمد)
“Telah menceritakan kepada kami Waki' telah menceritakan kepada kami Abu Janab dari Ayahnya dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada penyakit menular, thiyarah (firasat buruk) dan burung hantu." Lalu seorang laki-laki menghadap beliau dan bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan unta yang terkena penyakit kudis hingga seluruh unta terkena kudis?" Beliau menjawab: "Itulah takdir, lalu siapakah yang menulari unta pertama?” (HR. Ahmad).

Secara lahirnya bertentangan dengan hadits:
فر من المجذوم كما تفرمن الاسد (رواه البخارى ومسلم)
Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa…(HR. Bukhari-Muslim).
Para ulama mencoba mengkompromikan dua hadits ini, antara lain:
1.      Ibnu Al-Shalih menta’wilkan bahwa penyakit itu tidak dapat menular dengan sendirinya. Tetapi Allah-lah yang menularkannya dengan perantaraan (misalnya) adanya percampuran dengan orang yang sakit, melalui sebab-sebab yang berbeda-besa.
2.      Al-Qadhi Al-Baqillani berpendapat bahwa ketetapan adanya penularan dalam penyakit lepra dan semisalnya itu, adalah merupakan kekhususan bagi ketiadaan penularan. Dengan demikian arti rangkaian kalimat, “la ‘adwa” itu, selain penyakit lepra dan semisalnya. Jadi seolah-olah Rasul Saw, mengatakan: “Tak ada suatu penyakit pun yang menular, selain apa yang telah kami terangkan apa saja yang dapat menular”.

B.       Seputar Ilmu Mukhtalif Al-hadits dan Musykil
Dalam penjelasan mengenai ilmu ini, nantinya akan berkaitan dengan hadits-hadits mukhtalif, atau bisa disebut sebagai objek kajian daripada disiplin ilmu ini. Oleh karenanya perlu adanya penjelasan tentang hadits mukhtalif tersebut.
Hadits mukhtalif adalah hadits-hadits yang mengalami pertentangan satu sama lain. Namun di antara pertentangan itu hanya terdapat pada zhahirnya saja, dan ketika ditelusuri sebenarnya masih memungkinkan untuk dikompromikan. Sementara menurut Nuruddin ‘Itr, hadits-hadits mukhtalif  ialah hadits-hadits yang secara lahiriah bertentangan dengan kaedah-kaedah yang baku, sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nash-nash syara’ yang lain[8]. Atau lebih jelasnya tentang mukhtalif  ini adalah adanya peretentangan dengan al-Quran, akal, sejarah, atau ilmu pengetahuan dan sains modern. Dan yang termasuk dalam pengertian hadits mukhtalif adalah hadits-hadits yang sulit dipahami (musykil)[9]. Dr. Abu al-Layth mendefinisikan hadits musykil sebagai hadits maqbul (shahih dan hasan) yang tersembunyi maksudnya karena adanya sebab dan hanya diketahui setelah merenungkan maknanya atau dengan adanya dalil yang lain. Dinamakan musykil karena maknanya yang tidak jelas dan sukar dipahami oleh orang yang bukan ahlinya[10].
Ibn Furak (w. 406 H.) dalam kitabnya yang berjudul Musykil al-Hadits wa Bayanuh, berpendapat bahwa hadits musykil adalah hadits yang tidak dapat dengan jelas dipahami tanpa menyertakan penjelasan lain, seperti hadits-hadits yang kandungannya berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Dzat Allah, sifat-sifat maupun perbuatan-Nya yang menurut akal tidak layak dikenakan penisbatannya kepada-Nya kecuali setelah dilakukan ta’witerhadap haditst-haditst tersebut.

C.      Sebab–sebab yang Melatarbelakangi Adanya Hadits Mukhtalif
  1. Faktor Internal, yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) di dalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shahih.
  2. Faktor Eksternal, yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana Nabi menyampaikan haditsnya.
  3. Faktor Metodologi, yakni berkaitan dengan bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstual dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkan hadits-hadits yang mukhtalif.
  4. Faktor Ideologi, yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang[11].
D.      Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif
1.        Metode al-Jam’u wa at-Taufiq
Metode ini dinilai lebih baik daripada melakukan tarji(mengumpulkan salah satu dari dua hadits yang tampak bertentangan). Metode al-jam’u wa at-taufiq ini tidak berlaku bagi hadits–hadits dha’îf (lemah) yang bertentangan dengan hadits–hadits yang shahih.
Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa at-taufiq adalah hadits tentang cara berwudhu Rasulullah Saw,. Hadits pertama menyatakan bahwa Rasulullah Saw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا الْرَّبِيْعُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَّأَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً مَرَّةًاختلاف الحديث – ج ١ ص ٦
Ar-Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: Imam asy-Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw. berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali (H.R. asy-Syafi’i).

Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terbaca dalam hadits berikut ini:
أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا.اختلاف الحديث – ج ١ ص٧
Imam Asy-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibn ‘Uyainah telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap). (HR Asy-Syafi’i).

Kedua riwayat tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama shahih dan akhirnya diselesaikan dengan metode al-Jam’u wa at-Taufîq dengan komentar Imam asy-Syafi’i dalam kitab Ikhtilaf al- Hadits :
قَالَ الشَّافِعِيُّوَلاَ يُقَالُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الأَحَادِيثِمُخْتَلِفٌ مُطْلَقًا، وَلَكِنَّ الْفِعْلَ فِيهَا يَخْتَلِفُ مِنْ وَجْهِ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاِخْتِلاَفِ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ ، وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، وَلَكِنْ يُقَالُأَقَلُّ مَا يَجْزِي مِنَ الْوُضُوءِ مَرَّةٌ، وَأَكْمَلُ مَا يَكُونُ مِنَ الْوُضُوءِ ثَلاَثٌاختلاف الحديث – ج ١ ص٧
Dengan terjemahan bebasnya adalah Imam asy-Syafi’i berkata: “hadits-hadits itu tidak bisa dikatakan sebagai hadits yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap tangan serta mengusap kepala)10“.

2. Metode Tarjih
Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana di antara hadits-hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.
Harus diakui bahwa ada beberapa matan (teks) hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan al-Quran. Antara lain adalah hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di neraka. Sebagai contoh adalah hadits berikut ini:
الْوَائِدَةُ وَالْمَوْؤُودَةُ فِي النَّارِ
Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka (HR Abu Dawud).
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (Sabab Wurudnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah Saw,. Seraya bertanya: “Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dahulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tetapi ia meninggal dalam keadaan jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: tidak. Kami berkata: dahulu ia pernah mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup di zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an- Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir[12].
Hadits tersebut dinilai musykil dari sisi matan dan mukhtalif dengan al-Quran surat at-Takwir/81: 8-9 :
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
Dan apabila bayi–bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?
Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al- Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad Saw. akan masuk surga, orang yang mati syahid juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad.)

3. Metode Nasikh-Mansukh
Jika ternyata hadits tersebut tidak mungkin ditarjih, maka para ulama menempuh metode nasikh-mansukh (pembatalan). Maka akan dicari makna hadits yang lebih datang terlebih dahulu dan makna hadits yang datang kemudian. Otomatis yang datang lebih awal di-naskh dengan yang datang kemudian.
Secara bahasa naskh bisa berarti menghilangkan (al-izalah), bisa pula berarti al-naql (memindahkan). Sedangkan secara istilah naskh berarti penghapusan yang dilakukan oleh Syari’ (pembuat syari’at; yakni Allah dan Rasulullah Saw.) terhadap ketentuan hukum syari’at yang datang terlebih dahulu dengan dalil syar’i yang datang kemudian. Dengan definisi tersebut, berarti bahwa hadits-hadits yang sifatnya hanya sebagai penjelasnya (bayan) dari hadits yang bersifat global atau hadits-hadits yang memberikan ketentuan khusus (takhsish) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan sebagai hadits nasikh (yang menghapus).
Namun perlu diingat bahwa proses naskh dalam hadits hanya terjadi di saat nabi Muhammad Saw. masih hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum syara’, sesungguhnya hanyalah Syari’, yakni Allah dan Rasulullah s.a.w.. Naskh hanya terjadi ketika pembentukan syari’at sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan hukum yang tetap (ba’da istiqrar al-hukm).
Salah satu contoh dua hadits yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan metode nasikh-mansukh adalah hadits tentang hukum makan daging kuda:
أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ.
Dua hadits di atas terlihat saling bertantangan, hadits pertama berisi tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadîts kedua menunjukkan kebolehan memakan daging kuda. Pertentangan ini tidak boleh tidah hatus dihilangkan dengan cara naskh. Hukum keharaman makan daging kuda pada hadîts pertama telah di-naskh-kan oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada hadîts Jâbir ibn ‘Abdillah yang datang setelahnya[13].

4. Metode Ta’wil
Metode ini bisa menjadi salah satu alternatif baru dalam menyelesaikan hadits-hadits yang bertentangan. Sebagai contoh hadits tentang lalat. Hadits tersebut dinilai kontradiktif dengan akal dan teori kesehatan. Sebab lalat merupakan serangga yang sangat berbahaya dan bisa menyebarkan penyakit. Lalu bagaimana mungkin Nabi s.a.w. menyuruh supaya menenggelamkan lalat yang hinggap di minuman? Demikian kurang lebih keraguan dan penolakan Taufiq Shidqi terhadap kebenaran hadits tentang lalat sebagaimana dikutip G.H.A. Juynboll[14]. Hadits tersebut :
حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُتْبَةُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ بْنُ حُنَيْنٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
Khalid Ibn Makhlad bercerita kepada kami, Sulaiman ibn Bilal bercerita kepada kami, dia berkata: Uthbah ibn Muslim telah bercerita kepadaku, dia berkata, Ubaidah ibn Hunain berkata: saya mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: apabila ada lalat jatuh dalam minuman salah seorang kalian, maka hendaklah ia membenamkannya sekalian, lalau buanglah lalat tersebut. Sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit, sedang pada sayap yang lain terdapat penawar (obat) (HR al-Bukhari).

Selintas hadits tersebut memang tidak masuk akal dan kontradiksi dengan teori kesehatan. Namun ternyata hasil penelitian dari sejumlah peneliti muslim di Mesir dan Saudi Arabia terhadap masalah ini, justeru membuktikan lain. Mereka membuat minuman yang dimasukkan kedalam beberapa bejana yang terdiri dari air, madu dan juice, kemudian dibiarkan terbuka agar dimasuki lalat. Setelah lalat masuk kedalam beberapa minuman tersebut, mereka melakukan komparasi penelitian, antara minuman yang ke dalamnya dibenamkan lalat dan tidak dibenamkan. Ternyata melalui pengamatan mikroskop diperoleh hasil bahwa minuman yang dihinggapi lalat dan yang tidak dibenamkan dipenuhi dengan banyak kuman dan mikroba, sementara minuman yang dihinggapi lalat justeru tidak dijumpai sedikitpun minuman dan mikroba. Ini adalah sebuah penelitian ilmiah dan semakin membuktikan kebenaran hadits tersebut secara ilmiah meskipun pada awalnya dari zhahir hadits terlihat mempunyai pertentangan dengan ilmu kesehatan[15].
Sebenarnya masih terdapat metode dalam penyelesaian hadits mukhtalif yang mana biasa disebut metode tawaqquf. Namun ditengarai ketika orang menggunakan metode ini terkesan hanya membiarkan saja tanpa ada usaha untuk melakukan komparasi dengan penelitian lebih lanjut. Oleh karenanya lebih cenderung menggunakan metode ta’wîl daripada menggunakan metode tawaqquf. Karena setiap sumber perkataan Nabi pasti mengandung sebuah makna dan tujuan sehingga bagaimanapun juga kita harus mengungkap makna yang tersirat di dalamnya.

E.       Karya-karya dalam Ilmu Mukhtalif Al-Hadits
Banyak ulama yang menyusun karya dalam bidang ilmu ini. Ada yang mencakup hadits-hadits yang tampak bertentangan secra keseluruhan dan ada yang tidak, yakni membatasi karyanya itu pada pengkompromian hadits-hadits yang tampak kontradiktif atau hadits-hadits yang sulit dipahami saja, lalu menghilangkan kesulitan itu dengan menjelaskan maksudnya.
Karya paling awal dalam bidang ini adalah kitab Ikhtilaf al-Hadits karya Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (150-204), dan merupakan kitab terklasik yang sampai saat ini masih dijadikan pegangan. Beliau tidak bermaksud menyebut semua hadits yang tampak bertentangan, tetapi hanya menyebut sebagian saja, menjelaskan seluruh sanadnya dan memadukan agar dijadikan sebagai sampel oleh ulama lain. [16]
Setelah karya asy-Syafi’i, karya yang terpopuler antara lain kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits kayra Imam al-Hafidz Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah ad-Dainuriy (213-276). Beliau menyusunnya untuk menyanggah musuh-musuh hadits yang melancarkan beberapa tuduhan kepada ahli hadits dengan sejumlah periwayatan beberapa hadits yang tampak saling bertentangan. Beliau menjelaskan hadits-hadits yang mereka klaim saling kontradiktif dan memberikan tanggapan terhadap kerancuan-kerancuan seputar hadits-hadits itu. Kitab beliau ini menempati posisi yang amat tinggi dalam khazanah intelektual Islam, bahkan mampu membendung kerancuan yang ditebarkan sementara kelompok Mu’tazilah, Musyabbihah dan yang lain.[17] Seperti contoh dalam kitab tersebut, “Beliau berkata: Mereka – para pelaku bid’ah – mengatakan, kalian meriwayatkan dari Nabi Saw, bahwa beliau bersabda dalam sebuah hadits:
الماء لاينجسه شيئ
Air tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu pun.
Kemudian kalian juga meriwayatkan dari beliau, bahwa beliau bersabda:
اذابلغ الماء قلتين لم يحمل نجسا
Bila air telah mencapai dua qullah, maka tidak akan membawa najis.

Yang terakhir ini menunjukkan, bahwa bila air itu kurang dari dua qullah, maka akan membawa najis. Ini jelas berbeda dengan hadits yang pertama.
Ibn Qutaibah, dikatakan bahwa hadits kedua itu tidak bertentangan dengan hadits yang pertama. Rasul Saw, menyabdakan hadits yang pertama berdasarkan kebiasaan dan yang paling banyak terlihat. Karena biasanya air yang ada di sumur-sumur ataupun kolam-kolam jumlahnya banyak. Sehingga pernyataan beliau tersebut memiliki pengertian spesifik. Ini sama dengan orang yang mengatakan, “Banjir tak dapat dibendung oleh sesuatu pun”. Padahal ada banjir yang terbendung oleh tembok. Yang dimaksud adalah banjir bandang, bukan banjir kecil. Sama juga dengan orang yang mengatakan, “Api tak dapat dimatikan oleh sesuatu  pun”. Yang dimaksudkannya adalah bukan api lentera yang akan mati tertiup angin, bukan pula percikan api, tetapi yang dimaksudkannya adalah api yang membara. Kemudian beliau menjelaskan ukuran air dua qullah, suatu ukuran yang tidak bisa dinajiskan, yakni air yang terbilang banyak.[18]
Dalam bidang ini, yang terpopuler di antara karya-karya yang sampai kepada kita adalah kitab Musykil al-Atsar karya Imam al-Muhaddits al-Faqih Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad ath-tahthawiy (239-321 H), yang terdiri dari empat jilid, dan dicetak di India pada tahun 1333 H.
Juga kitab Musykil al-Hadits Wa Bayanuhu karya Imam al-Muhaddits Abu bakar Muhammad ibn al-Hasan (ibn Furak) al-Anshariy al-Ashbahaniy yang wafat tahun 406 H. Beliau menyusunnya berkenaan dengan hadits-hadits secara literal diduga kontradiktif, mengandung tasybih dan tajsim, yang dijadikan sebagai landasan melancarkan cercaan terhadap agama. Lalu beliau menjelaskan maksudnya dan membatalkan banyak klaim yang salah seputar hadits-hadits itu dengan berargumen pada dalil-dalil naqli dan aqli. Kitab ini telah dicetak di India pada tahun 1362 H.

KESIMPULAN
Ilmu mukhtalif al-hadits, ilmu musykil al-hadits, ilmu ta’wil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtiaf al-hadits merupakan istilah yang memiliki pengertian yang sama, yakni ilmu yang berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau lebih hadits yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits tersebut adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhish keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadits, ulama fiqh, dan lain-lain. Adapun Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif, ialah Metode al-Jam’u wa at-Taufiq, Metode Tarjih, Metode Nasikh-Mansukh dan Metode Ta’wil. Di antara kitab yang membahas tentang Ilmu mukhtalif al-hadits ialah karya paling awal dalam bidang ini adalah kitab Ikhtilaf al-Hadits karya Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (150-204), kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits kayra Imam al-Hafidz Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah ad-Dainuriy (213-276), kitab Musykil al-Atsar karya Imam al-Muhaddits al-Faqih Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad ath-tahthawiy (239-321 H), yang terdiri dari empat jilid, dan dicetak di India pada tahun 1333 H, dan kitab Musykil al-Hadits Wa Bayanuhu karya Imam al-Muhaddits Abu bakar Muhammad ibn al-Hasan (ibn Furak) al-Anshariy al-Ashbahaniy yang wafat tahun 406 H.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mustaqim. 2008. Ilmu Ma’anil Hadits. Yogyakarta : Idea Press.
G.H.A Juynboll. 1969. The Authenticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt. Leiden: E.J Brill. Dikutip dari Abdul Mustaqim. 2008. Ilmu Ma’ânil Hadîts. Yogyakarta : Idea Press.
Munzier Suparta. 2008. Ilmu Hadits. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
M. Ajaj al-Khathib. 2000. Ushul al-Hadits (Terjemahan). Jakarta : Gaya Media Pratama.
Nuruddin ‘Itr. “Ulûm al-Hadîts”. diterjemahkan oleh Mujiyo. 1994. Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts Cet. ke-1, Jilid 2. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Syaikh Manna’ al-Qaththan. 2005. Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
http://faizinlathif.wordpress.com/2009/04/27/metode-pemahaman-hadits-mukhtalif/
http://www.darulkautsar.netarticle.php?ArticleID=811



[1] Fath al-Mughits karya as-Syakhawiy, hal. 362-363 dalam Buku M. Ajaj al-Khathib. 2000. Ushul al-Hadits (Terjemahan). Jakarta : Gaya Media Pratama, hal.

[2] Lihat Nasy’ah Ulum al-Hadits, hal. 247, dalam Buku M. Ajaj al-Khathib. 2000. Ushul al-Hadits, op.cit. hal
[3] Ajjaj Al-Khathib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), Cet. Ke-6, hal. 283, dalam Buku Munzier Suparta. 2008. Ilmu Hadits. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, hal.

[4] Subhi Al-Shalih, ‘Ulum Al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beeirut: Dar Al-‘Ilmu Al-Malayyin, tt), hal.111. dalam Buku Munzier Suparta. Op.cit., hal.
[5] Ajjaj Al-Khathib, op.cit., hal. 283, dalam Buku Munzier Suparta. Op.cit., hal.
[6] http://www.darulkautsar.netarticle.php?ArticleID=811
[7] Syaikh Manna’ al-Qaththan. Pengantar Ilmu Hadits. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005). hal.103.

[8] Nuruddin ‘Itr, “Ulûm al-Hadîts”, diterjemahkan oleh Mujiyo dari Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) Cet. ke-1, Jilid 2, Hal. 114.
[9] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 87.
[10] Ibid.
[11] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 87.
[12] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 88-90.
[13] http://faizinlathif.wordpress.com/2009/04/27/metode-pemahaman-hadits-mukhtalif/
[14] G.H.A JuynbollThe Authenticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt (Leiden: E.J Brill, 1969) hal. 141-142 dikutip dari Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 100-101.

[15] G.H.A JuynbollThe Authenticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt (Leiden: E.J Brill, 1969) hal. 141-142 dikutip dari Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 100-101.

[16] Kitab ini dicetak di bagian margin kitab al-Umm, juz VII dalam Buku M. Ajaj al-Khathib., op.cit., hal.
[17] Kitab ini dicetak pada tahun 1326 di India dalam Buku M. Ajaj al-Khathib., op.cit. hal.
[18] Lihat Ta’wil Mukhtalif al-Hadits, hal. 433-434 dalam Buku M. Ajaj al-Khathib.op.cit, hal.

Tidak ada komentar: