--- SELAMAT DATANG DI WEBSITE LEMBAGA STUDI ISLAM MADANI --- PESANTREN MADANI KOTA CIMAHI --- YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM MADANI KOTA CIMAHI JAWA BARAT INDONESIA --- TELP. 085624018800 ATAU 082117533596 ---

Rabu, 19 Oktober 2011

SEJARAH DAN PENGANTAR ILMU HADITS

SEJARAH DAN PENGANTAR ILMU HADITS
(Karya Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy)

Oleh Khambali
(ust.hambali@gmail.com/prof.hambali@gmail.com)


ABSTRAK

Dalam mempelajari Ilmu hadits, seseorang tidak hanya mempelajarnya dari segi dalalahnya saja, tanpa mempelajari pengantarnya secara sempurna, yang antara lain mencakup sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, sejarah ilmu-ilmunya dan pokok-pokok dasar yang menjadi pedoman dalam menghadapinya. Buku karya Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy merupakan karya yang secara luas dan mendetail dalam pembahasannya tentang Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Inti pokok dari karya beliau mencakup tentang; Riwayat Perkembangan dan Pembukuan Hadits dari Masa ke Masa hingga sampai ke Masa Terhimpunnya dalam Dewan-dewan Hadits yang Mu’tabar; Macam-macam Ilmu Hadits dan Sejarah Perkembanganya; Pokok-pokok Ilmu Mushthalah Hadits; Cara dan Shighah Hadits; Sifat-sifat Perawi yang Diterima dan yang Ditolak Riwayatnya; Sejarah ringkas dari Pemuka-pemuka Sahabat, Perawi Hadits dan Sejarah Ulama-ulamanya.


KATA KUNCI: Sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa yang lampau atau peristiwa penting yang benar-benar terjadi. Ilmu Hadits adalah ilmu yang mempelajari tentang sesuatu yang disandarkan Rasulullah Saw., baik sejumlah dalil dan kumpulan kaidah, maupun sesuatu yang diambil dari apa yang berasal dari Rasul saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Rasul.


PENDAHULUAN
Dewasa ini, pembahasan ilmu hadits telah menarik sebagian kalangan umat Islam dan non-muslim untuk mempelajari dan mengkaji lebih dalam tentang bagaimana perkataan, perbuatan dan taqrir hadits Nabi tersebut, sehingga menjadi kaidah atau aturan hidup umat Islam. Bahkan lebih dari itu, munculnya kajian atau fakultas-fakultas yang fokus mengkaji hadits Nabi, membuat ilmu hadits semakin luas dan kompleks dalam kajian wilayah keilmuannya. Oleh karena itu, penulis ingin mengungkapkan beberapa hal yang penting untuk dikaji dalam memberikan pemahaman yang mendalam tentang sejarah dan pengantar ilmu  hadits.
Hadits menurut bahasa (lughat) mempunyai beberapa arti, yaitu; 1) Jadid, lawan qadim; yang baru. Jama’nya; hidats, hudatsa’ dan huduts. 2) Qarib; yang dekat, dapat juga diartikan; yang belum lama lagi terjadi. 3) Khabar; warta, yakni sesuatu yang dipercakapkan dan diperpindahkan dari seseorang kepada seseorang. Sedangkan hadits menurut istilah ialah segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau dan segala keadaan beliau. Pengertian tersebut diperkuat dengan pengertian yang diungkapkan oleh ahli ushul hadits, bahwa hadits adalah segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir nabi, yang bersangkut paut dengan hukum. Jadi, Ilmu hadits secara istilah adalah sesuatu ilmu yang menerangkan segala yang dinukilkan  atau yang disandarkan kepada Nabi atau kepada Shahaby atau tabi’y, baik berupa perkataan, ataupun perbuatan, taqrir, maupun sifat.
Sunnah secara bahasa ialah jalan yang dijalani, terpuji atau tidak, sesuatu tradisi yang sudah dibiasakan. Sedangkan sunnah secara istilah muhadditsin ialah segala yang dinukilkan dari Nabi Saw., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakukan, perjalanan hidup baik sebelum nabi Saw diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya. Sunnah menurut istilah ahli ushul fiqh ialah segala yang dinukilkan dari Nabi Saw., baik perkataan, perbuatan, ataupun taqrir yang mempunyai hubungan dengan hukum. Contoh dari sunnah perkataan; “Innama al-a’malu bi al-niyyati” terjemahnya; segala amal itu mengikuti niat (orang yang meniatkan) (HR. Bukhari-Muslim). Contoh dari sunnah perbuatan; “Cara-cara mendirikan shalat, rakaatnya, cara-cara mengerjakan amalan haji, adab-adab berpuasa dan memutuskan perkara berdasarkan saksi dan berdasarkan sumpah”, seperti halnya sabda Nabi Saw; “Shallu kama ra’aitumuny ushally” terjemahnya; bersembahyanglah anda sebagaimana anda melihat saya bersembahyang (HR. Bukhari-Muslim dari Malik ibnu Huwairits).
Atsar secara bahasa ialah bekasan sesuatu atau sisa sesuatu. Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan hadits.
Hadits Qudsi ialah perkataan-perkataan yang disabdakan Nabi Saw. dengan mengatakan: “Allah berfirman…”, Nabi menyandarkan perkataan itu kepada Allah dengan meriwayatkan dari Allah Swt. Hadits Qudsi dinamakan juga Hadits Ilahi dan Hadits Rabbany, seperti halnya Rasulullah Saw bersabda: “Allah Swt berfirman: “Aku menurut persangkaan hamba-Ku dan Aku besertanya di mana saja dia menyebut (mengingat) Daku” (HR. Bukhari dan Abu Hurairah).”
Dengan demikian, hadits, sunnah, atsar dan hadits qudsi merupakan bagian integral dalam kajian ilmu hadits. Oleh karena itu, penulis akan membahas isi pokok dari buku karya Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang merupakan karya monumental yang secara luas dan mendetail dalam pembahasannya tentang sejarah dan pengantar ilmu hadits guna dapat dengan mudah dalam memahami sejarah dan pengantar ilmu hadits.

PEMBAHASAN
A.      Sejarah Perkembangan dan Pembukuan Hadits
Mempelajari sejarah ilmu hadits (perkembangannya) harus menitikberatkan kepada dua hal yang pokok, yaitu:
1.      Mempelajari periode-periode ilmu hadits dan nadhariyah-nadhariyahnya, serta memperhatikan keadaan masyarakat yang telah mendukung nadhariyah-nadhariyahnya dan lapangan-lapangan yang telah ditempu olehnya, dan
2.      Mempelajari pemuka-pemuka ilmu hadits dengan sedalam-dalamnya dan sehalus-halusnya.
Hadits Rasul sebagai dasar tasyri’ yang kedua telah melalui enam masa dan sekarang sedang menempuh periode ketujuh. Masa pertama, ialah: masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi diangkat menjadi Rasul hingga beliau wafat pada tahun 11 H (dari 13 SH-11 H). Masa Kedua, ialah masa membatasi riwayat, masa khulafa rasyidin (12 H-40 H). Masa ketiga, ialah masa berkembang riwayat dan perlawatan dari kota ke kota untuk mencari hadits, yaitu masa sahabat kecil dan tabi’in besar (41 H-akhir abad pertama H). Masa Keempat, ialah masa pembukuan hadits (dari permulaan abad ke 2 H hingga akhirnya). Masa Kelima, ialah masa mentashhihkan hadits dan menyaringnya (awal abad ke 3, hingga akhirnya). Masa Keenam, ialah masa menapis kitab-kitab hadits dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus; (dari awal abad keempat hingga jatuhnya Baghdad tahun 656 H). Masa Ketujuh, ialah masa membuat syarah, membuat kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadits-hadits hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum serta membahas hadits-hadits zawa’id, (656 hingga dewasa ini).
Ulama-ulama Mutaakhirin sependapat menetapkan bahwa terdapat lima buah kitab pokok, yaitu: 1) Shahih Al-Bukhari, 2) Shahih Muslim, 3) Sunan Abu Daud, 4) Sunan An-Nasai, dan 5) Sunan At-Turmudzi. Kitab yang lima tersebut di atas dinamakan “Al-Ushulu Al-Khamsah”. Sebagian ulama mutaakhirin, yaitu Abul Fadli ibn Thahir, memasukkan pula satu kitab pokok lagi, sehingga terkenallah di dalam masyarakat “Al-Kutubu Al-Sittah”, yaitu 6) Sunan Ibnu Majah. Kemudian para ulama menambahkan lagi beberapa kitab hadits, yaitu; 7) Sunan Ad-Darimy, 8) Al-Muntaqa (Muntaqa Ibnu Jarud), 9) Musnad Ahmad, 10) Muwatha’ Malik.

B.       Ilmu-ilmu Hadits
Ilmu hadits, yakni ilmu yang berpautan dengan hadits, banyak ragam dan macamnya. Jika dilihat dari garis besarnya, maka dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.
Menurut sebagian ulama tahqiq berpendapat bahwa, Ilmu hadits riwayah ialah ilmu yang membahas kelakuan persambungan hadits kepada shahibu ar-risalah, junjungan kita Muhammad Saw., dari; jurusan kelakuan para perawinya, mengenal kekuatan hafalan dan keadilan mereka, dan dari jurusan keadaan sanad, putus dan bersambungnya. Sedangkan ilmu hadits dirayah ialah sekumpulan kaidah dan masalah yang dengan kaidah dan masalah itu dapat diketahui keadaan marwi dan keadaan perawi, dari segi dapat tidaknya diterima riwayat mereka. Ibnu Al-Akfani mengungkapkan bahwa, Ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang dari padanya kita mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macamnya, hukum-hukumnya, keadaan perawi, syarat-syarat para perawi, macam-macam yang diriwayatkan dan segala yang berpautan dengan itu.
Selain itu, terdapat beberapa ilmu yang objek pembahasannya adalah hadits, sehingga ilmu-ilmu tersebut menjadi bagian dari ilmu-ilmu hadits yaitu sebagai berikut:
a)      Ilmu rijalil hadits ialah ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari perangkatan-perangkatan sesudahnya; Ilmu jarhi wat ta’dil, pada hakikatnya suatu bagian dari ilmu rijalil hadits. Akan tetapi menurut sebagian ulama, dipandang sebagai bagian yang berdiri sendiri;
b)      Ilmu jarhi wat ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang hal catatan-catatan yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penda’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu;
c)      Ilmu Fannul Mubhamat ialah ilmu yang dengan dia diketahui nama orang-orang yang tidak disebut namanya di dalam matan, atau di dalam sanad;
d)     Ilmu tashhrif wa tahrif ialah ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dirubah titiknya (yang dinamai mushahhaf), dan bentuknya yang dinamakan muharraf;
e)      Ilmu ‘llail hadits ialah ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat mencatatkan hadits. Yakni menyambung yang munqathi’, merafa’kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits ke dalam hadits yang lain dan yang serupa dengan itu;
f)       Ilmu gharibil hadits ialah ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sulit diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum;
g)      Ilmu nasikh wal mansukh ialah ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan yang menasikhkannya;
h)      Ilmu Asbabi wurudil hadits ialah ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu;
i)        Ilmu Talfieqiel hadits ialah ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadits-hadits yang berlawanan lahirnya; dan
j)        Ilmu mushthalah ahli hadits ialah ilmu yang menerangkan pengertian-pengertian (istilah-istilah) yang dipakai oleh ahli-ahli hadits.

C.      Ilmu Mushthalah Ahli Hadits
1.        Beberapa Pengertian dalam Ilmu Hadits
Sanad menurut bahasa adalah sandaran, yang dapat dipegangi, dipercayai. Kaki bukit atau gunung juga disebut sanad, jama’nya asnad dan sanadat. Menurut istilah ahli hadits sanad ialah jalan yang menyampaikan kepada matan hadits. Matan menurut bahasa adalah punggung jalan (muka jalan); tanah yang keras dan tinggi. Matan kitab ialah yang tidak bersifat komentar dan bukan tambahan-tambahan penjelasan. Matan lughat, berarti kata-kata tunggalnya, vocabularynya. Jama’nya mutun. Matan dalam ilmu hadits ialah penghujung sanad, yakni sabda Nabi Saw., yang disebut sesudah habis disebutkan sanad. Isnad menurut ilmu bahasa menyandarkan. Sedangkan isnad menurut istilah ialah menerangkan sanad hadits (jalan menerima hadits). Musnid adalah orang yang menerangkan hadits dengan menyebut sanadnya. Sedangkan musnad ialah hadits yang disebut dengan diterangkan sanadnya yang sampai kepada Rasulullah Saw,. Riwayat menurut bahasa ialah memindahkan dan menukilkan berita dari seseorang kepada orang lain. Riwayat menurut ilmu hadits ialah memindahkan hadits dari seorang guru kepada orang lain atau mendewankannya ke dalam dewan hadits. Rawi ialah orang yang meriwayatkan hadits.
Takhrij menurut bahasa ialah mengeluarkan sesuatu dari sesuatu tempat. Seangkan menurut istilah, takhrij ialah mengambil sesuatu hadits dari sesuatu kitab lalu mencari sanad yang lain dari sanad penyusun kitab tersebut. Orang yang mengerjakan hal ini, dinamakan mukharij dan mustakhrij.

2.        Nama-nama Hadits (Khabar)
Ath-Thiby menggolongkan hadits perkataan dan perbuatan dan taqrir shahabat dan tabi’in di bagi menjadi tiga, yaitu: marfu’, mauquf dan maqthu’. Marfu’ ialah hadits yang disandarkan pada Nabi, seperti; Berkata Nabi… Mauquf ialah hadits yang disandarkan kepada shahabi, seperti; berkata umuar… Maqthu’ ialah hadits yang disandarkan kepada tabi’i. seperti; berkata Sa’id ibnu Musaiyab,.
Para ahli hadits membagi hadits marfu’ kepada; 1) Marfu’ sharih (marfu’ haqiqi) yakni yang tegas-tegas disandarkan kepada Nabi, dan 2) Marfu’ ghairu sharih (marfu’ hukumi) yaitu yang tidak tegas disandarkan kepada Nabi. Marfu sharih (haqiqi) dibagi menjadi tiga, yaitu:
a)   Marfu’ qauli, seperti; Saya dengar Rasulullah bersabda; Diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda,
b)   Marfu’ fi’ly seperti perkataan sahabat; saya lihat rasulullah berbuat begini, atau diriwayatkan dari shahabat, bahwa shahabat itu menerangkan, bahwa nabi berbuat begini, dan
c)   Marfu’ taqriri ialah seperti seorang sahabat ataupun yang lainnya berkata; ada seorang sahabat berbuat begini… di hadapan Rasulullah, dan tidak menerangkan bahwa Nabi membatah perbuatan itu. Adapun marfu’ ghairu sharih ialah segala yang dipandang hadits marfu’ yang dalam hal ini tidak disandarkan pada Nabi. Hal tersebut dinamakan marfu’ ghairu sharih atau marfu’ hukmi.
Marfu’ ghairu sharih dibagi menjadi tiga, yaitu; 1) Perkataan seorang sahabat yang menerangkan bahwa seorang sahabat pernah berbuat sesuatu di masa Rasul. 2) Perkataan seorang sahabat yang bersifat menetapkan sesuatu pahala, atau sesuatu siksa. 3) Perkataan seorang sahabat bahwa yang demikian itu menurut sunnah.

3.        Tingkatan-tingkatan Hadits dan Nilai-nilainya
Ulama salaf membagi hadits dalam tiga bilangan, yaitu; mutawatir, masyhur dan ahad. Sedangkan dari pertalian sanad, hadits terbagi menjadi empat tingkat, yaitu; hadits yang mutawatir, hadits yang masyhur (hadits yang mustafidl), hadits ahad (hadits khashash) yang bersambung-sambung sanadnya, dan hadits yang dalam rangkaian sanadnya ada yang gugur tidak tersambung-sambung, yakni hadits mursal, munqathi’ dan sebagainya.
Hadits mutawatir ialah hadits hadits yang diriwayatkan oleh segolongan besar yang tidak terhitung jumlahnya dan tidak pula dapat diwahamkan, bahwa mereka telah sepakat berdusta. Keadaan itu terus-menerus hingga sampai kepada akhirnya. Hadits masyhur ialah hadits-hadits yang terdiri lapisan perawi yang pertama, atau lapisan kedua, dari seorang saja atau beberapa orang saja. Kemudian barulah tersebar luas, dinukilkan oleh segolongan orang yang tak dapat disangka bahwa mereka sepakat untuk berdusta. Hadits ahad ialah segala khabar yang diriwayatkan oleh seseorang, atau dua orang atau lebih tetapi tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya masyhur. Jumhur ulama hadits membagi ahad atau hadits khashash kepada tiga bagian, yaitu;
a) Mereka kehendaki dengan masyhur, ialah hadits yang diriwayatkan oleh lebih daripada dua orang, tetapi terbatas tidak banyak.
b) Mereka kehendaki dengan hadits aziz, ialah hadits yang rentetan perawinya terdiri dari dua dua orang atau pada suatu tingkat terdiri dari dua dua orang saja, dan
c) Mereka kehendaki dengan hadits gharib ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang saja.
Para ahli hadits menertibkan hadits-hadits ahad kepada tiga bagian, masing-masing bagian mempunyai beberapa nama, yaitu; 1) Hadits Shahih, 2) Hadits Hasan, dan 3) Hadits Dla’if.
Haits shahih ialah hadits yang bersambung-sambung sanadnya yang dipindahkan (diriwayatkan) oleh orang yang adil dan kokoh ingatan dari yang seumpamanya; tidak terdapat padanya keganjilan dan catatan-catatan yang memburukkannya. Hadits hasan ialah hadits yang bersambung-sambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh orang yang tidak mempunyai derajat kepercayaan yang sempurna. Hadits dha’if ialah hadits yang tidak didapati padanya syarat shahih dan tidak pula didapati padanya syarat hasan.
Pembagian hadits dilihat dari segi diterima dan ditolak dibagi menjadi dua bagian, yaitu; a) Maqbul, yaitu segala hadits yang diterima, dapat dijadikan hujjah,  dan b) Mardud, yaitu segala hadits yang ditolak, tidak dapat dijadikan hujjah dan wajib diingkari. Hadits maqbul terdiri dari beberapa bagian, yaitu:
a) Hadits mutawatir, yaitu segala perkataan Nabi, atau pekerjaannya yang didengar, atau dilihat oleh orang ramai, yang tidak mungkin menurut pendapat akal, bahwa orang ramai yang menyampaikan berita tersebut telah bersekutu berdusta dalam menerangkan kejadian itu,
b) Hadits ahad dan marfu’ lagi musnad dan shahih, yaitu segala hadits yang diterima oleh dua tiga orang saja dan disampaikan kepada dua tiga orang juga, dan
c) Hadits ahad yang marfu’ musnad hadan, yaitu segala hadits yang diterima oleh dua-tiga orang saja dan disampaikan kepada dua-tiga orang.

4.        Pembagian Hadits
Di antara hadits yang bersambung sanadnya ialah; a) Hadits musnad ialah tiap-tiap hadits marfu’ yang sanadnya muttashil, dan b) Hadits muttashil atau maushul ialah hadits yang bersambung-sambung sanadnya. Sedangkan hadits-hadits yang dha’if karena tidak bersambung sanadnya, yaitu:
a) Hadits mu’alaq ialah hadits yang gugur perawinya, baik seorang, baik dua orang, baik semuanya, pada awal sanad, yaitu guru dari seseorang imam hadits,
b) Hadits munqathi’ ialah hadits yang gugur seorang, atau dua orang dengan tiada berturut-turut di pertengahan sanad,
c) Hadits mu’dlal ialah hadits yang gugur dua orang perawi berturut-turut di pertengahan sanad, dan
d) Hadits mudallas ialah hadits yang tiada disebut di dalam sanad atau sengaja digugurkan oleh seorang perawi nama gurunya dengan cara yang member waham, bahwa dia mendengar sendiri hadits tersebut dari orang yang disebut namanya.
Di antara hadits dha’if karena cacat perawinya atau karena sesuatu yang lain, yaitu:
a) Hadits matruk, ialah hadits yang diriwayatkan oleh hanya seorang perawi yang tertuduh pendusta, baik dalam soal hadits ataupun dalam lainnya, ataupun tertuduh fasiq, atau banyak lalai dan banyak sangka,
b) Hadits munkar, ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang lemah yang menyalahi riwayat orang kepercayaan, atau riwayat orang yang kurang lemah daripadanya,
c) Hadits syadzdz, ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang kepercayaan yang menyalahi riwayat orang ramai yang kepercayaan pula,
d) Hadits mu’allal, ialah hadits yang terdapat padanya sebab-sebab yang tersembunyi yang diketahui sebab-sebab itu sesudah dilakukan pemeriksaan yang mendalam, sedang pada lahirnya dia tidak berpenyakit,
e) Hadits Mudhtharab, ialah hadits yang berlawanan riwayatnya atau matannya, baik dilakukan oleh perawi yang seorang atau oleh banyak perawi, dengan mendahulukan, mengemudiankan, menambah, mengurangi, ataupun mengganti, serta tidak dapat dikuatkan dalah satu riwayatnya atau salah satu matannya,
f) Hadits mudraj, ialah hadits yang disisipkan ke dalam matannya sesuatu perkataan orang lain, baik orang itu shahabat, ataupun tabi’i untuk menerangkan maksud makna,
g) Hadits maqlub, ialah sesuatu hadits yang telah terjadi padanya kesilapan pada seseorang perawi dengan mendahulukan yang kemudian, atau mengemudiankan yang dahulu,
h) Hadits mushahaf, ialah hadits yang telah terjadi padanya percobaan huruf sedang rupa tulisannya masih tetap,
i) Haidits muharraf, ialah hadits yang telah terjadi padanya perubahan baris, dan
j) Hadits mubham, ialah hadits yang terdapat dalam sanadnya seorang perawi yang tidak disebut namanya, baik laki-laki maupun perempuan.
Beberapa hadits dilihat dari segi sifat, riwayat dan sanad, yaitu:
a) Hadits mu’an’an, ialah hadits yang diriwayatkan dengan memakai lafadz, “an” yang diriwayatkan secara ‘an’anah seperti dikatakan, diriwayatkan oleh abu hurairah dari Nabi Saw.,
b) Hadits muannan, ialah hadits yang terdapat dalam sanadnya perkataan “anna” (bahwasanya), seperti; Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu hurairah bahwasanya Nabi saw.,
c) Hadits mudabbaj, ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang teman dari temannya yang masing-masing mereka ada meriwayatkan dari temannya,
d) Hadits ‘ali dan nazil, ialah hadits yang di antara seseorang dengan Rasul tidak banyak orang yang menjadi perantaranya,
e) Hadits musalsal, ialah hadits yang sepakat para perawi dalam memakai lafadz atau sifat dan cara menyampaikan hadits,
f) Hadits mutabi, ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang sesuai lafadznya dengan riwayat orang lain,
g) Hadits syahid, ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang semakna dengan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain, dan
h) Sabiq dan lahiq, ialah jika dua orang perawi bersekutu menerima hadits dari seorang guru dan lebih dahulu meninggal salah seorangnya, maka riwayat orang yang lebih dahulu meninggal, dinamakan sabiq, dan yang kemudian meninggalnya, dinamakan lahiq.
Tanda-tanda hadits maudhu’ terbagi menjadi dua, yaitu a) Tanda-tanda yang terdapat pada sanad, dan b) Tanda-tanda yang terdapat pada matan.
Di antara tanda-tanda pada sanad, yaitu; perawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tiada diriwayatkan hadits yang ia riwayatkan itu, oleh selainnya yang kepercayaan; pengakuan perawi sendiri; kenyataan sejarah mereka tak mungkin bertemu; keadaan perawi-perawi sendiri serta pendorong-pendorong yang mendorongnya yang membuat hadits. Sedangkan tanda-tanda yang terdapat pada matan yaitu; terdapat keburukan susunannya dan keburukan lafadznya; kerusakan maknanya; karena berlawanan dengan undang-undang umum bagi akhlaq atau menyalahi kenyataan; karena berlawanan dengan ilmu-ilmu kedokteran; karena menyalahi undang-undang (ketentuan-ketentuan) yang ditetapkan akal terhadap Allah; karena menyalahi undang-undang Allah dalam menjadikan alam; karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak dibenarkan akal sehat; menyalahi keterangan Al-Qur’an yang terang jelas, keterangan sunnah mutawatirah dan qaidah-qaidah kulliyah; menyalahi sharih al-qur’an dan tidak dapat ditakwilkan; menyalahi sunnah yang mutawatirah; menyalahi hakikat sejarah yang terkenal di masa Nabi Saw.; sesuai madzhab yang dianut oleh rawi, sedangkan rawi itu pula orang yang sangat fanatik kepada madzhabnya; mengandung (menerangkan) urusan yang menurut seharusnya, kalau ada, dinukilkan oleh orang ramai; menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan yang sangat kecil, atau siksa yang sangat besar, terhadap suatu perbuatan yang kecil.
Dengan demikian, terdapat golongan-golongan yang membuat hadits palsu, yaitu; zanadiqah (orang-orang zindiq); penganut-penganut bid’ah; orang-orang yang dipengaruhi fanatik kepartaian; orang-orang yang ta’ashub kepada kebangsaan, kenegerian dan keimaman; orang-orang yang dipengaruhi ta’ashub mazhab; para qushash (ahli riwayat dongeng); para tashawuf zuhud yang keliru; orang-orang yang mencari penghargaan (pembesar negeri); dan orang-orang yang ingin memegahkan dirinya dengan dapat meriwayatkan hadits-hadits yang tidak diperoleh orang lain.

D.      Ilmu Rijalul Hadits
Ilmu rijalul hadits adalah sejarah perawi-perawi hadits dengan madzhab-madzhab yang dipegang mereka yang dengan karena madzhab tersebut, dapat diterima atau ditolak riwayat mereka dan pegangan-pegangan mereka serta cara mereka menerima hadits. Perbedaan antara ilmu rijalul hadits dengan ilmu sejarah, ilmu thabaqat dan ilmu jarah dan ta’dil, yaitu:
1) Ilmu sejarah ialah ilmu yang di dalamnya dibahas tentang hari-hari kelahiran perawi dan hari wafatnya mereka;
2) Ilmu thabaqat ialah ilmu yang dibahas di dalamnya tentang orang-orang yang berserikat dalam suatu urusan (orang-orang yang semasa);  dan
3) Ilmu jarah wa ta’dil ialah ilmu yang dengannya dapat diketahui siapa yang diterima dan ditolak dari perawi-perawi hadits.
Perawi hadits yang paling pertama ialah para sahabat, karena sahabat merupakan mereka yang sungguh-sungguh menyertai Nabi, seduduk sejalan dengan Nabi dalam sebahagian waktunya, seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali dan yang seumpama mereka. Di antara cara mengenal bahwa ia sahabat, yaitu:
a) Mutawatir berita, bahwa orang tersebut adalah sahabat Nabi, seperti khalifah empat, dan sahabat sepuluh yang diakui mendapat surga dan orang-orang yang seumpama dengan mereka;
b) Masyhur dan berkembang berita, tetapi tidak sampai ke derajat mutawatir bahwa orang tersebut sahabat Nabi seperti Dlammah ibnu Tsa’labah dan ‘Ukasyah ibn Nisham;
c) Diakui oleh seorang sahabat yang tekenal persahabatannya, seperti Hamamah ibnu Abu hamamah Ad-Dausi yang diakui persahabatannya oleh Abu Musa Al-Asy’ari;
d) Pengakuan yang diberikan oleh seorang Tabi’in yang kepercayaan; dan
e) Dia mengakui bahwa dia adalah seorang sahabat, dari orang-orang yang semasa dengan Nabi, sedang dia orang yang dipandang adil.
Di antara sahabat yang banyak meriwayatkan hadits Nabi, yaitu; Abu hurairah yang meriwayatkan hadits sebanyak 5374 hadits; Abdullah ibnu Umar ibn Khathab yang meriwayatkan hadits sebanyak 2603 haidits; Annas ibnu Malik yang meriwayatkan hadits sebanyak 2286 hadits; Aisyah Ash-Shiddiqiyah yang meriwayatkan hadits sebanyak 2210 hadits; ‘Abdullah ibnu Abbas yang meriwayatkan hadits sebanyak 1660 hadits; Jabir ibnu Abdullah yang meriwayatkan hadits sebanyak 1540 hadits; dan Abu Sa’id Al-Khudri yang meriwayatkan hadits sebanyak 1120 hadits. Ada beberapa sahabat yang lebih banyak memberika fatwa, yaitu; Al-Bahar ibnu Abbas, ‘Umar, Ibnu Umar, ‘Aisyah, Ibnu Mas’ud, Zaid ibn Tsabit, dan Ali bin Abi Thalib. Sesudah sahabat yang tujuh tersebut, terdapat dua puluh sahabat yang fatwa mereka lebih kurang dari fatwa tujuh orang sahabat tersebut di atas. Fatwa masing-masing mereka dapat dikumpulkan dalam satu risalah, ialah; Abu bakar, Utsman, Abu Musa, Mu’adz, Sa’ad ibn Abi Waqash, Abu Hurairah, Jabir, Amir, Ibnu umar, salman, Abu Sa’id al-khudri, Thalhah, Az-zubair, Abdur rahman ibn auf, Imran ibnu Husain, abu bakrah, Ubaidah ibn Shamith, Muawiyah, Ibn Zubair, dan Ummu salamah. Sesudah mereka terdapat segolongan sahabat lagi yang mempunyai fatwa pula yang berjumlah 120 orang.
Selain sahabat yang meriwayatkan hadits, juga terdapat banyak sahabat yang menghafalkan Al-Qur’an yang jumlahnya lebih dari 30 sahabat, diantaranya yaitu, Khalifah yang empat, Abdullah empat (Abdullah ibnu Abbas, Abdullah ibnu Amir bin ‘Ash, Abdullah ibnu Zubair, Abdullah ibnu Mas’ud), Thalhah, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Abu Hurairah, Salim Abdullah Ibnu Sa’id, Ubadah ibnu Samit, ‘Aisyah, Hafshah, Ummi salamah, Ubay ibnu Ka’ab, Zaid ibnu Tsabit, Mu’adz bin Jabal, Abu Darda, Sa’id, Tamim Ad-Dari, Uqbah ibnu Amir, dan Abu Musa Al-Asy’ari.
Dalam meriwayatkan hadits, peran para tabi’in sangatlah penting, karena tabi’in merupakan manusia yang bertemu dengan shahabat dalam keadaan beriman dan wafat dalam keadaan muslim. Di antara tabi’in yang dikenal dalam dunia periwayatan hadits, yaitu Uwes ibnu Amir Al-Qarni, Sa’id ibnu Musayyab, Al-Qasim ibnu Muhammad ibnu Abi Bakar, Urwah ibnu Zubair, Kharijah ibnu zaid, Abu Ayyub Sulaiman ibnu Yassar Al-Hilali, Ubaidullah ibnu Abdullah ibnu Utbah, Salim ibnu Abdullah ibnu Umar ibnu Khathab, Bintu Sirin (Hafshah binti Sirin), Ummu Darda (Hujaimah) dan Abu Salamah ibnu Abdurrahman ibnu ‘Auf.
Tokoh-tokoh rijalul hadits dari kalangan sahabat, yaitu; Abu Hurairah (Abdurrahman ibnu Sakhr Ad-dausy At-tamimy), Abdullah ibnu Umar (Abu Abdurrahman Abdullah ibnu Umar ibnu Al-Khathab Al-Qurasy Al-Adawy, seorang sahabat Nabi yang memiliki kelapangan ilmu dan amal), Anas ibnu Malik (Abu Tsumamah atau Abu Hamzah) ibnu Nadzir ibnu Dlamdlam Al-Najjary Al-Anshary ialah seorang sahabat yang tetap selalu menemani Rasulullah Saw., selama 10 tahun, Aisyah Ash-Shiddiqiyah (‘Aisyah binti Abi Bakr Ash-Shiddiq), Abdullah ibnu Abbas (Abul Abas ibnu Abbas ibnu Abdil Muthalib, seorang putera dari paman Rasulullah), Jabir ibnu Abdullah (Abu Abdillah Jabir ibnu Abdullah ibnu ‘Amr Al-Anshary Al-Khajrajy, seorang sahabat Rasul yang menjadi mufti di madinah), Abu Sa’id Al-Khudry (Abu Sa’id Sa’ad ibnu Malik ibnu Sinan Al-Khudry Al-Khajrajy Al-Anshary, beliau terkenal dengan kunyahnya), Abdullah ibnu Mas’ud (Abdullah ibnu Mas’ud ibnu Ghafil ibnu Habib Al-Hudzaly, seorang sahabat nabi yang dahulu pernah bersumpah setia dengan bani Zuhra), Abu Thufail (Amir ibnu Wailah ibnu Abdullah ibnu Amr ibnu Jahasy Al-Kinany Al-Laitsy).
Tokoh-tokoh rijalul hadits dari kalangan tabi’in, yaitu Sa’id ibnu Al-Musayyab, Urwah ibnu Az-Zubair, Nafi’ Al-Adawy, Al-Hasan Al-Bishry, Muhammad ibnu Sirrin, Muhammad ibnu Muslim Az-Zuhry, Qatadah ibnu Di’amah, Sulaiman ibnu Mihran Al-A’masy, Sa’id ibnu Jubair, Mujahid ibnu Jabir, Asy-Sya’by, Zaid ibnu Ali, dan Ja’far Ash-Shadiq. Sementara tokoh-tokoh rijalul hadits abad kedua, yaitu; Muhammad ibnu As-Saib Al-Kalby, Ibnu Juraij, Muqatil ibnu Sulaiman, Muhammad ibnu Ishaq, Abu Hanifah, Malik ibnu Anas, Sufyan Ats-Tsaury, Sufyan ibnu Uyainah, Abdullah ibnu Lahi’ah, Al-Laits, Asy-Syafi’y, dan Syu’bah ibnu Al-Hajjaj. Sedangkan tokoh-tokoh rijalul hadits dari abad ketiga adalah Yahya ibnu Ma’ien, Ishaq ibnu Rahawaih, Ahmad ibnu Hambal, Al-Bukhary, Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, At-Turmudzy, An-Nasaiy, dan Ad-Darimy. Dan tokoh rijalul hadits abad ke empat, lima, enam dan tujuh adalah Ath-Thabarani, Al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandah, Ad-Daruquthny, Abu Nu’aim Al-Ashbahany, Ath-Thahawy, Ibnu Abdil Barr, Al-Khatib Al-baghdady, Al-Baihaqy, Ibnu Jauzy, dan An-Nawawy. Tokoh-tokoh rijalul hadits pada abad ke 8-12, yaitu; Al-Mizzy, Az-Zahaby, Ibnu Sayidinnas, Ibnu Jama’ah, Ad-Dimyathy, Al-Kirmany, Ibnu Katsir, Az-Zailayi, Ibnu Rajab, Al-Bulqiny, Ibnu Mulaqqin, Al-Iraqy, Al-Haitsamy, Abu Zur’ah Al-Iraqy, Az-Zarkasyi, Al-Asqalany, Al-‘Ainy, As-Sayuthy, Ash-Shan’any, Asy-Syaukany, dan Al-Manawy.

E.       Ilmul Jarhi Wa Ta’dil
Tajrih atau jarah dalam pengertian bahasa ialah melukai tubuh dengan menggunakan benda tajam, pisau, pedang dan sebagainya. Luka disebabkan pisau dinamakan jurh. Dan diartikan pula jarah dengan memaki dan menistai, baik di depan ataupun di belakang. Sedangkan tajrih atau jarah menurut istilah ialah menyebut sesuatu yang dengan karenanya tercacatlah si perawi (menampakkan keaiban yang dengan keaiban itu tertolaklah riwayat). Selain itu terdapat pembahasan ta’dil yang menurut bahasa ialah menyamaratakan, mengimbangi sesuatu dengan yang lain dan menagakkan keadilan atau berlaku adil. Sedangkan menurut istilah, ta’dil berarti menyifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dengan karenanya orang memandangnya adil, yang menjadi sumbu penerimaan riwayatnya.  Macam-macam qaidah jarah dan ta’dil terdapat dua macam, yaitu:
1) Bersandar kepada cara-cara periwayatan hadits, shahnya periwayatan, keadaan perawi dan kadar kepercayaan kepada mereka. Bagian ini dinamakan, “Naqdun Kharijiyyun” kritik yang dating dari luar hadits atau kritik yang tidak mengenai diri hadits.
2) Berpautan dengan hadits sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak dan apa jalan-jalan keshahihannya dan ketiadaan keshahihannya. Macam ini dinamakan “Naqdun Dakhiliyun” kritik dari dalam hadits.

KESIMPULAN
Hadits atau sunnah Nabi Saw., yang sekarang menjadi bagian integral kajian ilmu keislaman merupakan hasil dari pemikiran dan perjuangan keras dari para sahabat, tabi’in dari berbagai periode sampai kepada para ulama kontemporer, sehingga sumber pedoman umat Islam tersebut tetap dalam keadaan otentik sesuai dengan apa yang Nabi Saw., ucapkan, perbuat dan ketetapan beliau yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu, tanpa mempelajari sejarah dan pengantarnya secara sempurna, maka pemahaman dari pedoman hidup yang kedua ini akan keliru, sehingga berdampak pada ibadah dan bermuamalah dalam kehidupan seorang muslim. Pembahasan dalam kajian sejarah dan pengantar ilmu hadits antara lain, mencakup sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, sejarah ilmu-ilmunya; Riwayat Perkembangan dan Pembukuan Hadits dari Masa ke Masa hingga sampai ke Masa Terhimpunnya dalam Dewan-dewan Hadits yang Mu’tabar; Macam-macam Ilmu Hadits dan Sejarah Perkembanganya; Pokok-pokok Ilmu Mushthalah Hadits; Cara dan Shighah Hadits; Sifat-sifat Perawi yang Diterima dan yang Ditolak Riwayatnya; Tokoh-tokoh dari Pemuka-pemuka Sahabat, Perawi Hadits dan Sejarah Ulama-ulamanya.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

thanks untuk ilmu pengantar haditsnya