--- SELAMAT DATANG DI WEBSITE LEMBAGA STUDI ISLAM MADANI --- PESANTREN MADANI KOTA CIMAHI --- YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM MADANI KOTA CIMAHI JAWA BARAT INDONESIA --- TELP. 085624018800 ATAU 082117533596 ---

Sabtu, 04 Februari 2012

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM (DALAM MEMECAHKAN PERSOALAN (AGENDA) PENDIDIKAN MELALUI KOMPONEN-KOMPONEN PENDIDIKAN)


FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
(DALAM MEMECAHKAN PERSOALAN (AGENDA) PENDIDIKAN MELALUI KOMPONEN-KOMPONEN PENDIDIKAN)


MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat
Ujian Akhir Semester Pada Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Program Studi Pendidikan Islam
Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam



Oleh:
Khambali
NPM 20010011005



Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Ahmad Tafsir, MA
Sobar Al Ghazal, Drs., M.Pd













PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
B A N D U N G
1433 H / 2012 M



FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAMI
(DALAM MEMECAHKAN PERSOALAN (AGENDA) PENDIDIKAN MELALUI KOMPONEN-KOMPONEN PENDIDIKAN)
Oleh Khambali
NPM 20010011005
  

ABSTRAK

Pendidikan merupakan topik pembicaraan yang tak pernah ada ujungnya. Selalu ada usaha untuk memperbaiki dalam setiap persoalannya. Ada yang berhasil, tetapi tidak sedikit yang gagal. Dalam upaya memecahkan persoalan (agenda) pendidikan, khususnya pendidikan Islami, maka diperlukan upaya yang dapat merancangbangun dan memperbaiki pendidikan Islami dewasa ini. Penulis mencoba merumuskan formula pendidikan dengan maksud dapat merancabangun dan memperbaiki melalui kajian komponen-komponen pendidikan (hakikat manusia, hakikat pendidikan, dasar pendidikan, tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, peserta didik, kelembagaan pendidikan, proses pendidikan, dan pengembangan pendidikan). Rumusan formula pendidikan dalam upaya memecahkan persoalan (agenda) pendidikan yang dimaksud adalah sebagai berikut: a) pendidikan merupakan suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen penting yang saling berhubungan. Oleh karena itu, dalam upaya memecahkan persoalan (agenda) pendidikan, maka komponen-komponen pendidikan tersebut harus dipahami dan diinternaslisasi secara integral dan sesuai dengan perkembangan zaman saat ini, baik itu dilihat dari sisi keilmuan, teknologi informasi, maupun dilihat dari sisi manusia itu sendiri, yakni makhluk sosial, religius dan lain sebagainya; b) perlu adanya upaya memupuk pemahaman yang sesuai dengan kebutuhan dan persoalan yang harus dijawab oleh pendidikan tentang apa, siapa, mengapa dan bagaimana  manusia itu? sehingga harapan dalam pendidikan itu sendiri dapat tercapai, disebabkan pendidikan dapat membantu manusia dalam memanusiakan manusia. Dengan kata lain bahwa pengetahuan, pemahaman dan pemaknaan akan hakikat manusia itu sendiri merupakan komponen pendidikan yang harus diperbaiki; c) Untuk merealisasikan tujuan pendidikan, yakni memanusiakan manusia, haruslah memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri, memiliki pengetahuan. Intinya manusia harus mampu berpikir benar, baik dan indah; d) pendidikan akan selalu diwarnai oleh pandangan hidup (way of life). Maka mendesain pandangan hidup sesuai dengan kebutuhan dan harapan perkembangan zaman merupakan salah satu faktor yang penting, dengan menetapkan dan mempertimbangkan norma-norma atau nilai nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan; e) sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam, maka tujuan pendidikan yang diselenggarakan adalah tujuan yang memiliki orientasi untuk memanusiakan manusia secara kenegaraan (Indonesia), lebih jauh lagi memanusiakan manusia Indonesia dengan tujuan memiliki kepribadian Islami; f) perlu mendesain model kurikulum. Model kurikulum harus didesain berdasakan paradigma dengan mengutamakan pendidikan akhlak (pendidikan Agama); g) perubahan yang terjadi terhadap istilah dan bahkan makna dari istilah murid menjadi peserta didik, menyebabkan pendidik/guru tidak dapat berperan penuh dalam melakukan pembimbingan dan pelatihan terhadap peserta didik. Oleh karena itu perlu adanya mendesain/memperbaiki istilah tersebut yang merepresentasi dari tugas pendidik terhadap peserta didik; h) lembaga pendidikan (sekolah) dibentuk untuk melakukan proses pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan. Tiga tujuan setidaknya ingin dicapai melalui sekolah yakni moralitas (akhlak), civic (cinta tanah air), dan berpengatahuan; j) proses pendidikan pada dasarnya mambangun sebuah internalisasi content pendidikan, Baik itu terkait dengan internalisasi pengetahuan terlebih lagi internalisasi nilai. Ada rambu-rambu penting yang perlu diperhatikan agar sebuah proses sukses melakukan internalisasi. Ada tiga tujuan pembelajaran, yaitu 1) tahu (knowing); 2) mampu melaksanakan apa yang diketahui (doing); dan 3) menjadi apa yang telah dilaksanakan itu (being). Untuk itu ada dua langkah penting yang perlu dipersiapkan dan didesain oleh sebuah proses pendidikan, yaitu keteladanan dan pembiasaan; dan k) pengembangan pendidikan merupakan komponen pendidikan yang terakhir, yang menjadi tonggak akhir dalam upaya memperbaiki dan memajukan pendidikan saat ini. Maka terdapat dua langkah penting yang harus segera diambil, yaitu: Pertama, mengubah paradigma dengan mengutamakan agama. Jadikan agama sebagai core sistem pendidikan. Kedua, mendesain model kurikulum. Model kurikulum harus didesain berdasakan paradigm, dan harus memperhatikan fitrah manusia dan perkembangan dunia modern. Ini berarti harus mengandung muatan lokal, nasional, dan global.

KATA KUNCI: Filsafat Pendidikan Islam dan Komponen.


PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen penting yang saling berhubungan. Kompenen-komponen yang ada pada sistem tersebut merupakan bagian-bagian yang mendukung satu salama lain, sehingga jika komponen/bagian tersebut mengalami kerusakan atau tidak berjalan dengan baik, maka yang menjadi cita-cita pendidikan akan tidak tercapai. Dewasa ini, pengkajian terhadap komponen-komponen pendidikan tersebut, memang menjadi bahan diskusi yang tetap aktual dan menarik, sebab kesemuanya memiliki peran dan fungsi yang urgen dalam mendukung dan menentukan keberhasilan pendidikan dan dalam  memecahkan persoalan (agenda) pendidikan. Untuk itu, kajian dan diskusi tentang bagaimana filsafat pendidikan Islam dalam  untuk memecahkan persoalan (agenda) pendidikan melalui kajian komponen-komponen pendidikan sangat dibutuhkan harus dikembangkan secara dinamis sesuai dengan kebutuhan pelaku pendidikan Islam  sesuai dengan tuntutan zaman.
Pengembangan dan pengkajian dalam diskusi atau seminar pendidikan Islam, mengenai  filsafat pendidikan Islam dalam memecahkan persoalan (agenda) pendidikan melalui kajian komponen-komponen pendidikan tersebut harus dilakukan, khususnya para pelaksana pendidikan Islam. Karena jika dalam  memecahkan persoalan (agenda) pendidikan melalui kajian komponen-komponen pendidikan yang digunakan masih bersifat taqlid, statis dan cenderung tidak mengalami perubahan yang signifikan sesuai dengan perkembangan zaman, maka akan berdampak terhadap kualitas pendidikan umat Islam, terlebih lagi kualitas kehidupan umat Islam itu sendiri yang akan terus terbelakang dan menjadi bulan-bulanan institusi atau lembaga pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan selain Islam, lebih lagi institusi pendidikan yang tidak mengatasnamakan Islam. Memang ada kecenderungan selama ini, bahwa dinamika pendidikan Islam dalam tataran pelaksanaanya kurang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lain. Hal itu tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu di antaranya adalah faktor dalam merumuskan atau merencanakan dan prosedur yang diterapkan dalam perencanaan tersebut, yang seharusnya mengadopsi dari konsepsi filsafat pendidikan Islami yang utuh dan sesuai dengan tuntutan perkembanagan zaman, sehingga dapat merancangbangun dan menyelenggarakan pendidikan yang baik atau memperbaiki pendidikan yang selalu menjadi perhatian khalayak para pelaksana pendidikan untuk dipecahkan.
Untuk mengetahui lebih jelas tentang apa, bagaimana dan mengapa persoalan (agenda) pendidikan melalui kajian komponen-komponen pendidikan menjadi tokoh atau pemeran utama dalam makalah ini? maka perlu dilakukan kajian yang komprehensif dan mendalam tentang persoalan (agenda) pendidikan melalui kajian komponen-komponen pendidikan dalam perspektif filsafat pendidikan Islam. Makalah ini sengaja disusun dengan harapan, kajian ini memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang konsep filsafat pendidikan Islam dalam  memecahkan persoalan (agenda) pendidikan melalui kajian komponen-komponen pendidikan, sehingga memberikan kontribusi yang jelas terhadap pengembangan keilmuan di bidang pendidikan Islam, khususnya di wilayah kajian filsafat Pendidikan Islam. Namun, apa yang tertulis secara eksplisit dalam makalah ini tentu kurang memadai untuk memenuhi harapan tersebut tanpa adanya kritik, saran dan diskusi lebih lanjut tentang gagasan-gagasan yang ada. Maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari pembaca sehingga apa yang diharapkan dapat terpenuhi dengan baik.


PEMBAHASAN
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAMI (DALAM MEMECAHKAN PERSOALAN (AGENDA) PENDIDIKAN MELALUI KOMPONEN-KOMPONEN PENDIDIKAN)

Dalam upaya memecahkan persoalan (agenda) pendidikan, maka terlebih dahulu yang harus dipahami adalah apa, siapa, di mana, kapan, mengapa dan bagaimana persoalan pendidikan dewasa ini? Sehingga menurut hemat penulis, persoalan yang terjadi dewasa ini, dapat ditemukan titik-titik fokus yang menjadi sumber permasalahan yang selalu dinamis dan semakin kompleks. Penulis berasumsi bahwa persoalan (agenda) pendidikan saat ini adalah dampak dari pemahaman, perumusan, pelaksanaan dan pengendalian (evaluasi) yang tidak dapat menjawab kebutuhan dan kesesuaian dalam pendidikan dewasa ini.
Penulis mencoba membuat titik-titik fokus yang menjadi sumber persoalan yang termuat dalam komponen-komponen pendidikan itu sendiri, meliputi; hakikat manusia, hakikat pendidikan, dasar pendidikan,  tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, peserta didik, kelembagaan pendidikan, proses pendidikan, dan pengembangan pendidikan yang pada makalah ini, penulis akan menjabarkan secara padat dan utuh dengan harapan dapat menjawab persoalan pendidikan dewasa ini.

A.    HAKEKAT MANUSIA
Setiap orang memiliki filsafat yang berbeda-beda, baik itu yang berupa ide-ide tentang benda-benda, sejarah, arti kehidupan, mati, Tuhan, benar atau salah, maupun tentang keindahan atau kejelekan dan sebagainya. Namun bagaimana persepsi filsafat terhadap apa yang menjadi subyek dan kadang menjadi obyek dalam berfilsafat tersebut? Oleh karena itu, penulis akan mengungkapkan hakikat dari subjek/obyek yang berfilsafat (manusia) yang merupakan subjek/obyek yang menjadi bagian integral dalam komponen-komponen pendidikan dan menjadi subjek/obyek dalam  memecahkan persoalan (agenda) pendidikan.
Ahmad Tafsir (2006) menyatakan bahwa karena pendidikan adalah usaha untuk membantu manusia untuk memanusiakan dirinya, maka pada pembahasan kali ini, akan dibahas tentang hakekat manusia. Ada dua sudut pandang yang digunakan; manusia menurut manusia, dan manusia menurut Tuhan, yang pada kesempatan ini akan dijelaskan sebagai berikut:

1.      Manusia Menurut Manusia
a)      Socrates mengungkapkan bahwa manuisa adalah sentral segalanya. Dia akan mengatur dirinya dan alam dengan peraturan yang dia buat sendiri.
b)      Plato (murid Socrates) menyebutkan bahwa manusia perlu mengetahui siapa dirinya sebelum mengetahui yang ada di luar dirinya. Dan untuk mengetahui sesuatu itu, manusia perlu bertanya. Untuk itu dia perlu bantuan orang lain untuk menjawab pelbagai pertanyaannya. Manusia terdiri dari jiwa (ada sebelum kelahiran) dan tubuh (fisik). Jiwa akan abadi sedangkan tubuh akan musnah. Jiwa manusia terdiri dari 3 elemen; kuda putih (roh), kuda hitam (nafsu), dan kusir (rasio). Kuda hitam dan putih secara bersama menarik kereta. Rasio bertugas mengendalikan kereta. Pendidikan bertugas membantu rasio dalam mengendalikan kereta tersebut.
c)      Rene Descartes (1596-1650) mengartikan ciri rasional pada manusia adalah adanya kebebasan memilih dalam bertingkah laku. Pada binatang kebebasan itu tidak ada. Maka berfikir itu sangat sentral pada manusia.
d)     Immanuel Kant (1724-1804) memberi definisi bahwa manusia itu adalah makhluk rasional yang bertindak berdasarkan alasan moral yang bukan hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Jadi ciri manusia adalah berfikir baru bertindak. Pada binatang itu tidak terjadi.


2.      Manusia Menurut Tuhan
Ahmad Tafsir (2006) menyatakan bahwa penjelasan terbaik tentang siapa manusia itu berasal dari pencipta manusia. Dan karena Al-Quran adalah kitab yang masih asli dari Tuhan, maka dari sanalah kita mengetahui apa yang Tuhan katakan tentang manusia. Menurut Tuhan manusia adalah diciptakan oleh Tuhan. Al-Quran menyebutkan bahwa manusia memiliki unsur jasmani, maka perlu makan dan minum (QS. 7:31). Juga memiliki unsur akal, dan ruh.  Menurut Al Syaibani, jasmani, akal, dan ruhani membangun manusia laksana segitiga sama sisi. Ketiganya sama pentingnya untuk dikembangkan.
Dalam al-Qur’an, ada tiga kata yang digunakan dalam menunjukkan tentang manusia, yakni: insan, basyar dan bani Adam. Basyar banyak mengacu pada pertian manusia dari segi fisik dan nalurinya yang berbeda dengan makhluk lainnya. Sementara insan menunjukkan manusia dengan segala totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia (insan) yang berbeda antara seorang dengan seorang yang lain karena perbedaan fisik, mental dan kecerdasan. Bani Adam menunjukkan pada semua manusia sebagai makhluk sosial (M. Quraish Shihab, 1997 : 278).
Konsep manusia dalam Islam juga dapat diambil dari QS. Al-Mu’minun ayat 12-14 menunjukkan bahwa manusia diciptakan Allah dari saripati tanah yang dijadikan sperma (nuthfah) dan disimpan di tempat yang kokoh. Kemudian nuthfah itu dijadikan segumpal darah. Segumpal darah itu dijadikan segumpal daging. Lalu segumpal daging dijadika tulang. Tulang dibalut dengan daging yang kemudian dijadikan Allah sebagai makhluk. Sedangkan dalam QS. As-Sajadah ayat 7-9 ditegaskan pula bahwa setelah kejadian manusia dalam kandungan mengambil bentuk, ditiupkan oleh Allah ruh ke dalam tubuhnya, dan dijadikannya pendengaran, penglihatan dan perasaan. Dengan demikian, QS. Al-Mu’minun ayat 12-14 dan QS. As-Sajdah ayat 7-9 jelas menegaskan bahwa manusia tersusun dari dua unsur materi dan immateri, jasmani dan rohani. Unsur materi (tubuh) manusia berasal dari tanah dan ruh manusia berasal dari subtansi immateri. Tubuh mempunyai daya-daya fisik jasmani, yaitu mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium, dan daya gerak. Ruh mempunyai dua daya, yakni daya berpikir yang disebut akal yang berpusat di kepala, dan daya rasa yang berpusat di hati (Rohiman Notowidagodo, 1996 : 17). Unsur-unsur immateri yang lain yang ada pada manusia itu terdiri dari ruh, aqal, dan nafsu (Mustafa Zahri, 1976 : 121).
Dari uraian yang singkat tentang hakikat manusia, maka penulis menyebutkan bahwa upaya yang pertama dan menjadi dasar dari pemecahan persoalan (agenda) pendidikan adalah sejauh mana pendidikan dapat memanusiakan manusia dengan pendidikan itu sendiri? Oleh karena itu, perlu adanya upaya memupuk pemahaman yang sesuai dengan kebutuhan dan persoalan yang harus dijawab oleh pendidikan tentang apa, siapa, mengapa dan bagaimana  manusia itu? sehingga harapan dalam pendidikan itu sendiri dapat tercapai, disebabkan pendidikan dapat membantu manusia dalam memanusiakan manusia. Dengan kata lain bahwa pengetahuan, pemahaman dan pemaknaan akan hakikat manusia itu sendiri merupakan komponen pendidikan yang harus diperbaiki.

B.     HAKEKAT PENDIDIKAN
1.      Arti Pendidikan
Komponen pendidikan yang menjadi tolak ukur dalam keberhasilan pendidikan adalah bagaimana memaknai hakikat pendidikan itu sendiri. Ahmad Tafsir (2006) menyatakan bahwa orang Yunani (600 SM) telah mengatakan bahwa pendidikan adalah usaha mambantu manusia menjadi manusia. Pengertian ini sesungguhnya masih sangat relevan hingga saat ini. Juga sangat relevan dengan konsep Al-Quran.
Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan komperhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna, Islam memili sumber ajaran yang termuat di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran.Nabi Muhammad Saw., telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup (long life education). Dengan demikian, Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia dan memecahkan persoalan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, Islam menegaskan bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.
Selanjutnya bagaimanakah pandangan para ahli dari Barat mengenai pendidikan dalam arti yang lazim digunakan dalam praktek pendidikan? A. Yunus (1999:7) mengemukakan beberapa definisi pendidikan menurut para ahli, diantaranya adalah :
a)   Juhn Dewey, pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup;
b)   H. Horne, pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia;
c)   Frederick J. Mc Donald, pendidikan adalah suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat (behavior) manusia. Yang dimaksud dengan behavior adalah setiap tanggapan atau perbuatan seseorang, sesuatu yang dilakukan oleh sesorang; dan
d)  M.J. Langeveld, pendidikan adalah setiap pergaulan yang terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan lapangan atau suatu keadaan dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung.

2.      Pendidikan, Masalah yang Tidak Pernah Selesai
Ahmad Tafsir (2006)  menyatakan bahwa kapanpun dan di Negara manapun baik negara berkembang maupun negara yang sudah maju sekalipun, pendidikan selalu menjadi topik pembicaraan yang tak pernah selesai. Selalu ada usaha untuk memperbaikinya. Ada yang berhasil tetapi tidak sedikit yang gagal. Hal ini sesuai dengan sifat manusia yang tidak pernah puas dan cenderung menyukai hal baru (J.P. Sartri).
Sajjad Husein & Ali Ashraf (1986:98) mengungkapkan bahwa dewasa ini dunia Islam tengah menghadapi berbagai permasalahan seputar krisis pendidikan Islam serta problem lain yang sangat menuntut upaya pemecahan secara mendesak. Sejalan dengan hal ini, Khursid Ahmad menyatakan bahwa di antara persoalan-persoalan yang dihadapi dunia Islam masa kini tentang persoalan pendidikan adalah tantangan yang paling berat. Masa depan Islam akan sangat tergantung pada bagaimana dunia itu menghadapi tantangan ini (Machnun Hussein, 1983:ix). Oleh karena itu, inilah yang menuntut agar selalu dilakukan pembaharuan (modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan kehidupan umat Islam.
Dari uraian di atas tentang hakikat pendidikan yang merupakan bagian integral dari komponen-komponen pendidikan, maka penulis berpendapat bahwa terdapat dua kata yang perlu digarisbawahi mengenai hakikat pendidikan yaitu “membantu” dan “manusia” dan ini yang menjadi tujuan pendidikan itu sendiri untuk memanusiakan manusia. Untuk merealisasikan tujuan ini manusia haruslah memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri, memiliki pengetahuan. Karena itulah manusia itu menjadi tujuan pendidikan yang harus memiliki pengetahuan yang tinggi. Intinya manusia harus mampu berpikir benar, baik dan indah. Selain itu, dalam proses pendidikan, yakni memanusiakan manusia, maka tidak dapat dipungkiri keberadaannya bahwa masalah-masalah dalam proses pendidikan akan selalu ada, terlebih lagi bagi pendidikan Islam. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus mampu dan dapat bersaing dalam memajukan kualitas mansia itu sendiri sesuai dengan tujuan pendidikan, lebih khusus lagi sesuai dengan tujuan pendidikan Islam.

C. DASAR PENDIDIKAN
Dasar pendidikan merupakan konsepsi awal berpijaknya pendidikan dimanapun, kapanpun dan siapapun. Ia merupakan komponen pendidikan yang menyatu dan beriringan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Dasar pendidikan terletak pada bagaimana ia berpandangan? Ketika yang menjadi pandangan hidupnya adalah agama, maka dasar dari pendidikannya pun akan sesuai dengan pendangan hidupnya. Demikian pula, jika pandangan hidupnya adalah Pancasaila dan UUD 1945, maka dasar pendidikannya pun akan selaras dengan pandangan hidupnya.
Konsep Dasar pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 yaitu :

Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang; Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan n penyelenggaraan pendidikan nasional; dan Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Berdasarkan UUD 1945 pasal 31 di atas, maka sistem pendidikan nasional dituangkan dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Demikian pula Ahmad Tafsir (2006) menyatakan bahwa dasar pendidikan yang digunakan, tidak keluar dari dasar negara Pancasila. Namun, Pancasila belum diturunkan 100% ke dalam UU Sisdiknas 2003 yang dipakai saat ini oleh pendidikan di Indonesia. Lebih lanjut Ahmad tafsir mengungkapkan bahwa sebelum mengetahui apakah dasar pendidikan dewasa ini sudah mengacu kepada Pancasila? Maka terlebih dahulu pahamilah istilah berikut ini, sebagai gambaran dasar pendidikan saat ini, yaitu sebagai berikut:
1.      Rasionalisme
Rasionalisme berpegang pada prinsip bahwa akal adalah pencari kebenaran. Dan kebenaran diukur dengan akal. Kebenaran harus dimiliki agar derajat kemanusiaan semakin tinggi. Manusia yang sebenarnya adalah yang derajat kemanusiaannya tinggi.
2.      Memperkuat Dasar Bagi Nilai-nilai
Terdapat 3 nilai dasar dalam hidup, yaitu benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah. Seiap orang meninginkan nilai yang diyakininya dapat lestari. Munculnya budaya yang beragam di masyarakat merupakan bukti keinginan itu. Jadi budaya tidak lain adalah bukti nyata adanya nilai. Nilai atau budaya mana yang ingin dikembangkan oleh pendidikan? Setidaknya ada dua aliran budaya yang tengah berebut pengaruh di dunia pendidikan kita. Pertama, budaya yang berdasar pada nilai falsafah bangsa Pancasila yang core nilainya Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua budaya Barat. Budaya Barat yang falsafahnya dibangun dari Humanisme dan Realisme yang melahirkan Positivisme yang menghasilkan metode ilmiah dan metode riset. Seluruh produk metode riset digunakan untuk mengatur kehidupan manusia maupun mengatur alam. Inti dari budaya Barat adalah budaya mendewakan akal. Apakah budaya barat memang pilihan, ataukah Pancasila? Tidak jarang sebagian para pendidik secara tidak sadar talah memuja Barat. Padahal sesungguhnya Barat sendiri mengakui bahwa budaya mereka adalah budaya yang tidak memanusiakan manusia karena manusia yang unik telah demikian disederhanakan. Manusia dianggap (diperlakukan) seperti barang-barang produksi mesin.
Dari uraian singkat tentang dasar pendidikan yang masih terikat menjadi bagian dari komponen-komponen pendidikan, maka penulis berasumsi bahwa pendidikan akan selalu diwarnai oleh pandangan hidup (way of life). Salah satu pandangan hidup adalah rasionalisme, yang beranggapan bahwa kebenaran itu diperoleh melalui akal, atau dengan kata lain akal itulah alat pencari dan pengukur kebenaran, orang-orang sophis dalam penggunaan akal amatlah radikal. Sekalipun akal yang berperan tetapi bukan merupakan satu-satunya jalan. Bagi bangsa Indonesia, pandangan hidup yang harus dijadikan pegangan adalah Pancasila, dan bukan hanya akal yang menjadi pandangan hidup. Terlebih lagi bagi Muslim, tentunya tidak hanya akal yang mereka gunakan saja melainkan potensi hati dan jasad yang dapat mendesign pendidikan menjadi lebih baik. Selanjutnya ketika  membicarakan mengenai design pendidikan tidak akan terlepas dari nilai atau norma yang akan diterapkan. Biasanya nilai baik dan buruk digunakan untuk menetapkan nilai, adapun nilai indah dan tidak indah biasanya dikaitkan dengan seni.

C.    TUJUAN PENDIDIKAN
Tujuan pendidikan merupakan tempat perhentian dari seluruh komponen pendidikan, tanpa tujuan pendidikan yang menjadi ruh pada komponen-komponen pendidikan, maka pendidikan hanya tinggal nama, karena tidak memiliki arah dan tujuan ke mana akan berlabunya pendidikan. Oleh karena itu dalam pendidikan. wajib hukumnya menentukan tujuan pendidikan sesuai dengan apa, di mana, kapan, siapa, mengapa dan bagaimana manusia itu akan menjalani kehidupan dengan diiringi proses pendidikan.
Ahmad Tafsir (2006) menyatakan bahwa tujuan pendidikan merupakan wujud dari pandangan hidup (why of life) dari orang yang merumuskannya. Karena rumusan pendidikan dibuat oleh para manusia (salah satunya wakil rakyat, DPR) maka pandangan hidup mereka turut mewarnai bahkan tidak jarang terjadi perdebatan diantara mereka. Asalkan rumusannya tidak terlalu jauh dari Pancasila dan tidak mengancam keutuhan bangsa.
Lebih lagi bagi Islam, yang merupakan dien yang sempurna yang telah menjawab segala macam permasalahan pendidikan dari dulu hingga sekarang. Oleh karena itu sebagai seorang muslim tentunya harus yakin akan sistem pendidikan yang berlandaskan Islam tentunya akan membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Salah satu yang menjadi landasan berpijak dalam sistem pendidikan Islam adalah tujuan pendidikan. Tujuan dari pendidikan Islam yang diselenggarakan adalah memiliki lulusan yang diharapkan seharusnya, memiliki; badan yang sehat, sehinga menjadi manusia produktif;  cerdas, sehingga dapat menyelesaikan persoalan dengan cepat dan tepat; dan beriman kuat, karena tidak semua masalah bersifat rasional (dapat diselesaikan dengan kecerdasan). Ketiga karakter tersebut dapat diuraikan lagi menjadi; lulusan harus disiplin; jujur; kreatif; ulet; berdaya saing; dapat hidup berdampingan (living together); demokratis; menghargai waktu; dan mampu mengendalikan diri.
Secara umum tujuan pendidikan adalah manusia yang baik yang akan membentuk masyarakat yang baik. Normatif memang. Lalu apa ciri normarifnya? Masyarakat yang baik sering disebut sebagai masyarakat madani dengan tiga ciri utama, yakni adanya hukum yang manusiawi; adanya masyarakat yang taat hukum dan kesamaan dimuka hukum; dan adanya penegak hukum yang berwibawa. Selain itu, bagaimana tujuan pendidikan Islami itu? Tujuan pendidikan Islam adalah dalam hal ini mempunyai upaya yang terstruktur dan terprogram dalam manjalankan sistem pendidikannya yang tidak lain bertujuan membentuk manusia yang memiliki hal-hal sebagaimana penulis akan kemukakan berikut, yaitu:
1.   Berkepribadian Islam
Tujuan ini merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim, yakni seorang muslim harus dapat memegang tegas identitasnya sebagai seorang muslim dalam seluruh aspek kehidupan. Yaitu mempunyai pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang berlandaskan Islam. Ada tiga langkah yang pernah diterapkan Rasulullah Saw. dalam membentuk pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) Islam yaitu: Pertama, menanamkan aqidah Islam dengan metode yang tepat, yakni sesuai dengan kategori aqidah aqliyah (aqidah yang keyakinannya dicapai dengan melalui proses berfikir); Kedua, mengajaknya untuk senantiasa menegakkan bangunan cara berfikir dan berprilaku berlandaskan pondasi Islam; dan Ketiga, mengembangkan kepribadiannya dengan cara membakar semangatnya untuk bersungguh-sungguh dalam memperdalam tsaqofah Islam dan mengamalkannya di seluruh aspek kehidupan sebagai wujud ketakwaan terhadap Allah Swt.


2.   Menguasai Tsaqafah Islam
Tujuannya yaitu tidak lain merupakan konsekuensi kemusliman seseorang. Islam mendorong setiap muslim untuk menjadi manusia yang penuh ilmu. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin membagi ilmu dalam dua kategori dilihat dari sisi kewajibannya yaitu: Pertama, Ilmu yang digolongkan sebagai fardlu ‘ain, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim yaitu ilmu-ilmu tsaqafah Islam seperti: pemikiran Islam, ide dan hukum (fiqh) Islam, bahasa arab, Al-Qur’an dan Al-Hadist dan sebagainya; dan Kedua, Ilmu yang digolongkan sebagai fardlu kifayah, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian dari umat Islam seperti ilmu kedokteran, pertanian, teknik, matematika dan sebagainya.
3.   Menguasai Ilmu Kehidupan (Iptek dan Keahlian)
Kewajiban untuk menguasai ilmu kehidupan seperti iptek dan keahlian sangat diperlukan agar umat Islam dapat mencapai kemajuan material, sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi. Sementara banyak dalam ayat Al-Qur’an yang menyerukan untuk menggunakan akal untuk memikirkan segala penciptaan Allah Swt. sehingga bisa didapat sains dan aplikasinya berupa teknologi. Dari situlah akan membuahkan tambahan keimanan kepada Allah Swt., terhadap semua penciptaan Allah Swt. dan keagungan-Nya.
Dengan demikian, dari uraian singkat di atas tentang tujuan pendidikan (bagian dari komponen pendidikan), maka penulis menyatakan bahwa sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam, maka tujuan pendidikan yang ditekankan pun bukan hanya menjadi manusia yang berjiwa Pancasila, namun lebih dari itu, yakni menjadi manusia yang memiliki kepribadian Islami dari sisi aqidah, syariah dan akhlak, serta menguasai ilmu-ilmu khazanah Islami. Selain itu, ia juga harus menguasai ilmu dan teknologi yang sedang berkembang saat ini. Jadi, tujuan pendidikan yang diselenggarakan adalah tujuan yang memiliki orientasi untuk memanusiakan manusia secara kenegaraan (Indonesia), lebih jauh lagi memanusiakan manusia Indonesia dengan tujuan memiliki kepribadian Islami.




D.    KURIKULUM PENDIDIKAN
Kurikulum merupakan komponen pendidikan yang sangat mempengaruhi keberhasilan tujuan pendidikan, karena setiap apa yang menjadi kebijakkannya adalah menghasilkan tercapai tidaknya tujuan pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam merumuskan kurikulum perlu juga mengamati dan mempertimbangkan komponen-komponen yang lain, sehingga komponen pendidikan yang satu dengan komponen pendidikan yang lain dapat berjalan dengan benar, baik dan indah.
Ahmad Tafsir (2006) menyatakan bahwa kurikulum sering diartikan sebagai program. Istilah ini sangat popular di dunia pendidikan. Biasanya berisi daftar mata pelajaran. Tetapi sebenarnya tidak harus demikian. Kurikulum dapar saja berisi daftar kegiatan misalnya kegiatan mengelas, berlari, menulis, dan seterusnya. Yang tidak kalah penting di sini adalah paradigma dan pendekatan yang akan digunakan guna mencapai tujuan kurikulum. Sebagaimana pembagian jenis ilmu, maka paradigma dalam mengembangkan ilmu juga harus tepat. Ilmu pengetahuan sain dapat dicapai dengan metode ilmiah – empiris, ilmu yang bersifat filsafat maka paradigmanya adalah rasional (tanpa empiris), demikian juga ilmu mistik memiliki paradimnanya sendiri (suprarasional dan metarasional paradigma). Jangan pernah memberikan pengetahuan tetapi menggunakan paradigma yang tidak tepat. Pendidikan Barat contohnya, telah melakukan kesalahan fatal ketikan mengkaji ilmu agama dengan paradigma  sain – empirik. Tentu saja kebanyakan mereka akan gagal.
Kurikulum ialah program dalam mencapai tujuan pendidikan. Hal penting pertama yang harus diperhaikan ialah kurikulum itu ditentukan oleh tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Sementara tujuan pendidikan itu mesti ditetapkan berdasarkan kehendak manusia yang membuat kurikuum itu. Tatkala, hendak merancang kurikulum pendidikan, yang terbayang pada ialah apa indikator manusia yang baik itu. Manusia yang baik ialah manusia yang akhlaknya baik; memiliki pengetahuan yang benar; dan Menghargai keindahan. Tiga pilar ini yang menjadi isi semua kurikulum.
Dalam memandang persoalan kurikulum Islami, maka masih sering hanya dimaknai secara parsial dan tidak integral (mencakup berbagai aspek kehidupan), sehingga peran pendidikan Islam di era global sering hanya difahami sebagai pemindahan pengetahuan (knowladge) dan nila-nilai (value) ajaran Islam yang tertuang dalam teks-teks agama, sedangkan ilmu-ilmu sosial (Social Science) dan ilmu-ilmu alam (Nature Science) dianggap pengetahuan yang umum. Padahal Islam tidak pernah mendikotomikan (memisahkan dengan tanpa terikat) antara ilmu-ilmu agama dan umum. Semua ilmu dalam Islam dianggap penting asalkan berguna bagi kemaslahatan umat manusia (M. Shofan, 2004:109)
Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu, persoalan dikotomik; tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, dan persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan ini saling interdependensi antara satu dengan lainnya, yang pada kesempatan ini akan diuraikan sebagai berikut:
Pertama, persolan dikotomik pendidikan Islam, yang merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah Swt. (Suroyo, 1991:45). Mengenai persoalam dikotomi, tawaran Fazlur Rahman, salah satu pendekatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk “mengislamkan”nya - yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Lebih lanjut Fazlur Rahman, mengatakan persoalannya adalah bagaimana melakukan modernisasi pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterkaiatan yang serius kepada Islam (Fazlur Rahman, 1982 :155,160). A.Syafi’i Ma’arif (1991 : 150), mengatakan bahwa jika konsep dualisme dikotomik berhasil ditumbangkan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi; Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam (Anwar Jasin, 1985:15) yang ada; dan Ketiga, persoalan kurikulum atau materi Pendidikan Islam, meteri pendidikan Islam “terlalu dominasi masalah-maslah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi disampaikan dengan semangat ortodoksi kegamaan, suatu cara dimana peserta didik dipaksa tunduk pada suatu “meta narasi” yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal untuk menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Mencermati persoalan yang dikemukakan di atas, maka perlu menyelesaikan persoalan internal yang dihadapi pendidikan Islam secara mendasar dan tuntas. Sebab pendidikan sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni bagaimana pendidikan mampu mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat yang begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompetitif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern.

E.     PESERTA DIDIK
Peserta didik dan pendidik merupakan satu kesatuan dalam komponen-komponen pendidikan itu sendiri. Peserta didik tidak akan dapat terdidik dan menjadi manusia seutunya, jika tanpa dorongan, arahan dan bimbingan pendidik dalam upaya tercapainya tujuan pendidikan.
Ahmad Tafsir (2006) menyatakan bahwa ada tiga istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan peserta didik yakni murid, anak didik, dan peserta didik. Ahmad Tafsir menanalisa alasan masing-masing penggunaan istilah dan merekomendasikan untuk (tetap) menggunakan istilah ‘murid’. Adapun perbedaan istilah tersebut adalah sebagai berikut:
Murid
Mengandung makna kesungguhan belajar, keprihatinan guru, pembelajaran lebih barokah dan manusiawi. Seorang murid mestilah mendahulukan kesucian jiwa, mengurangi keterkaitan dengan kesibukan duniawiyah, dan tidak sombong terhadap orang-orang berilmu.
Anak didik
Diharapkan guru mencintainya seperti mencintai anak sendiri.
Peserta didik
Istilah paling mutakhir yang sangat mementingkan ‘proses’ belajar. Peran guru semakin dikurangi hingga menjadi 25% saja atau jika mungkin 0%
Secara etimologi peserta didik dalam bahasa arab disebut dengan tilmidz jamaknya adalah talamid, yang artinya adalah “murid”, maksudnya adalah “orang-orang yang menginginkan pendidikan”. Dalam bahasa arab dikenal juga dengan istilah thalib, jamaknya adalah thullab, yang artinya adalah “mencari”, maksudnya adalah “orang-orang yang mencari ilmu”. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw: “Siapa yang menuntut ilmu dan mendapatkannya, maka Allah mencatat baginya dua bagian”. (HR. Thabrani)
Namun secara definitif yang lebih detail para ahli teleh menuliskan beberapa pengertian tentang peserta didik, yaitu sebagai berikut:
1.    Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memilki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan (Samsul Nizar, 2002:25).
2.    Pasal 1 ayat 4 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
3.    Abu Ahmadi (Abu Ahmadi, 1991:26)  mengungkapkan bahwa peserta didik adalah orang yang belum dewasa, yang memerlukan usaha, bantuan, bimbingan orang lain untuk menjadi dewasa, guna dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Tuhan, sebagai umat manusia, sebagai warga Negara, sebagai anggota masyarakat dan sebagai suatu pribadi atau individu
Dari definisi-definisi yang diungkapkan oleh para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik adalah orang yang mempunyai fitrah (potensi) dasar, baik secara fisik maupun psikis, yang perlu dikembangkan, untuk mengembangkan potensi tersebut sangat membutuhkan pendidikan dari pendidik.
Samsul Nizar (2002:20) sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis (2008:36) mengklasifikasikan peserta didik sebagai berikut:
1.      Peserta didik bukanlah miniature orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri.
2.      Peserta didik memiliki periodisasi perkembangan dan pertumbuhan.
3.      Peserta didik adalah makhluk Allah SWT yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
4.      Peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur jasmani memiliki daya fisik dan unsur rohani memiliki daya akal hati nurani dan nafsu.
5.    Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis
Abdul Mujib dalam Ramayulis (2004: 98) mengungkapkan bahwa Al-Ghozali memberikan penjelasan tentang kewajiban peserta didik, yaitu sebagai berikut:
1.      Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqoruh kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela. Allah SWT berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Ad- Dzariat: 56) “Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al- An’am: 163)
2.      Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrowi. Allah SWT berfirman: “Dan Sesungguhnya hari Kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)”(QS. Adh-Dhuha: 4).
3.      Bersikap tawadhu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya.
4.      Menjaga pikiran dan pertantangan yang timbul dari berbagai aliran.
5.      Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrowi maupun untuk duniawi.
6.      Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar.
7.      Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8.      Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9.      Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10.  Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dinia akherat.
11.  Anak didik harus tunduk pada nasehat pendidik.

Selanjutnya, siapakah pendidik sebenarnya? Orang tua adalah pendidik paling utama. Kepolisian, LSM, parpol, termasuk (juga) guru adalah sebagai pendidik pada batas-batas wewenangannya masing-masing. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam UU No.20 Tahun 2003, Pasal 39 ayat 2 dijelaskan bahwa Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Selanjutnya dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 BAB 1 tentang Ketentuan umum menyebutkan bahwa Tenaga Kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

F.     LEMBAGA PENDIDIKAN
Lembaga pendidikan merupakan komponen pendidikan yang menjadi tempat atau lingkungan pendidikan, yang menurut hemat penulis bahwa lembaga pendidikan di sini adalah dapat diistilahkan dengan lingkungan pendidikan yang meliputi, lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah. Namun dengan berjalannya pengertian-pengertian baru, maka lembaga pendidikan yang dimaksud saat ini lebih cenderung kepada lembaga pendidikan dalam bentuk sekolah. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Ahmad Tafsir (2006) yang menyatakan bahwa secara konseptual lembaga pendidikan (sekolah) dibentuk untuk melakukan proses pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan. Tiga tujuan setidaknya ingin dicapai melalui sekolah yakni moralitas (akhlak), civic (cinta tanah air), dan berpengatahuan. Lebih lanjut, Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa untuk pendidikan untuk masa depan dan kecenderungan abad ke-21 ialah terjadinya globalisasi dan pasar bebas menuntut tambahan kemampuan lulusan sebuah lembaga pendidikan. Dunia yang tanpa batas (borderless word), pasar bebas (WTO-word trade organization) telah diciptakan, dan tatanan dunia baru telah lahir. Namun demikian, dunia pendidikan Indonesia masih menghadapi tiga masalah besar, yaitu; sistem yang terlalu kaku, budaya korup (peringkat 2 dunia), dan belum berorientasi pada pemberdayaan dan mengantisipasi abad 21. Model Sekolah abad 21 haruslah menekankan pada kompetensi, pendidikan agama sebagai landasan terbentuknya karakter dan kepribadian; bahasa Inggris aktif; pendidikan sains; dan pendidikan keterampilan.

G.    PROSES PENDIDIKAN
Proses pendidikan merupakan salah satu dari komponen pendidikan yang menurut Ahmad Tafsir (2006) adalah satu hal yang penting untuk diperhatikan yang menjadi topik dalam pembahasan ranah filsafat bahwasanya sebuah proses pendidikan mestilah mambangun sebuah internalisasi content pendidikan. Baik itu terkait dengan internalisasi pengetahuan terlebih lagi internalisasi nilai. Ada rambu-rambu penting yang perlu diperhatikan agar sebuah proses sukses melakukan internalisasi. Ada tiga tujuan pembelajaran, yaitu 1) tahu (knowing); 2) mampu melaksanakan apa yang diketahui (doing); dan 3) menjadi apa yang telah dilaksanakan itu (being). Tiga hal tersebut berlaku untuk semua disiplin ilmu baik ilmu yang tidak bersifat nilai, apalagi yang bersifat nilai. Untuk itu ada dua langkah penting yang perlu dipersiapkan dan didesain oleh sebuah proses pendidikan, yaitu keteladanan dan pembiasaan.
Pada pendidikan nilai, khususnya agama (Islam) dalam  pelaksanaan keteladanan dan pembiasaan, mestilah ada action nyata. Untuk itu perlu juga diketahui dan diperhatikan tahap-tahap berikut khususnya ketika menginternalisasi praktik ibadah. Menurut Al-Ghazali, ibadah itu melalui tahapan sebagai berikut:
  1. Tahap ilmu, beribadah harus dengan ilmu sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
  2. Tahap taubat, dengan taubat maka dosa akan diampuni, akan mendapat pertolongan, dan ibadah akan diterima.
  3. Tahap godaan, godaan dapat berupa dunia, makhluk, syetan, hawa nafsu.
  4. Tahap penghalang, penghalang dapat berupa rezeki dan tuntutan hawa nafsu, kurang ridho, dan musibah.
  5. Tahap pendorong, khauf dan raja’.
  6. Tahap perusak, riya’ dan ujub.
  7. Tahap puji dan syukur, jika semua tahap 1-6 dapat dilalui dengan baik, maka seorang akan dapat merasakan nimatnya beribadah. Maka pantaslah ia bersyukur dengan memuji kebesaran Allah.
Satu lagi hal penting yang perlu diperhatikan dan dipraktikkan dalam proses pendidikan yaitu doa. Doa adalah kekuatan yang efektif. Doa yang paling efektif adalah yang dilakukan oleh orang lain untuk saudaranya.
Terkait dengan biaya pendidikan, maka Ahmad Tafsir (2006) menyatakan bahwa sumber daya terbesar yang harus dikeluarkan dalam  pendidikan sesungguhnya adalah pada proses. Di Indonesia, pendidikan Islam khususnya, seringkali menjadikan biaya yang besar sebagai alibi keterbalakangan. Tetapi penulis kurang sependapat jika dikatakan kita ini miskin. Yang benar adalah kita tidak mampu mengelola harta, kurang bisa membuat skala prioritas dalam beribadah. Ambil contoh, misalnya ibadah haji. 200.000 orang setiap tahunnya menunaikan haji ke Baitullah. 4% diantaranya adalah orang yang sudah pernah berhaji. Jika 4 persen (8.000 orang) ini mau menyisihkan uangnya untuk invertasi pendidikan, maka akan ada 8.000 orang x Rp30.000.000 = 240 milyar. Bagaimana jika 10 tahun uang itu dideposito, maka akan bertambah 200%. Belum lagi deposito tahun ke-2, ke-3, dst. Dan masih ada lagi potensi lain; zakat, infaq, dll. Sayangnya, ummat Islam – meminjam istilah Sutan Takdir Alisyahbana – masih sangat menganut budaya ekspresif (rasa) dari pada progresif.



H.    PENGEMBANGAN PENDIDIKAN
Pengembangan pendidikan merupakan komponen pendidikan yang terakhir, yang menjadi tonggak akhir dalam upaya memperbaiki dan memajukan upaya-upaya pendidikan.
Pengembangan pendidikan jika ditinjau dari sisi filsafat pendidikan Islam, maka akan sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Ahmad Tafsir (2006) yang menyatakan bahwa pancasila adalah dasar Negara dan harus mampu diturunkan ke dalam UUD. Selanjutnya harus diturunkan secara konsisten ke dalam semua UU, termasuk UU Sisdiknas. Jika dilihat dari sisi filsafat, sesungguhnya Pancasila memiliki 4 ide (bukan 5 ide), yaitu; (1) Kemanusiaan yang berdasarkan keimanan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) Persatuan yang berdasarkan keimanan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, (3) Kerakyatan yang berdasarkan keimanan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan (4) Keadilan sosial yang berdasarkan keimanan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. UU Sisdiknas haruslah menjadi salah satu wujud dari empat ide tersebut. UU Sisdiknas yang baru no. 20 tahun 2003, setidaknya telah mencoba menerjemahkan ide tersebut. Pada UU tersebut tertuang tujuan pendidikan yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, … (BAB II pasal 3). Persoalanya adalah kalimat “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” belum amat jelas maksudnya. Ini menjadi pangkal persoalan untuk kemudian terjadi inkonsistensi.  Jikapun ini dianggap telah konsisten, tetapi pada tataran teknis inkonsistensi terulang lagi. Tidak adanya spirit “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa” begitu terasa dalam permen-permen, maupun PP tentang pendidikan Indonesia. Untuk menyempurnakan kurikulum pendidikan, diusulkan agar ditegaskan bahwa “keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah core (inti) sistem pendidikan Indonesia” dan sekaligus dijadikan sebagai paradigma pendidikan Indonesia.
Ahmad Tafsir lebih lanjut mengungkapkan bahwa persoalan pendidikan saat ini begitu kompleks, sehingga membutuhkan perbaikan secara signifikan. Ia menyebutkan bahwa untuk memperbaiki pendidikan saat ini terdapat dua langkah penting yang harus segera diambil, yaitu: Pertama, mengubah paradigma dengan mengutamakan pendidikan akhlak. Ini berarti pendidikan agama. Jadikan agama sebagai core sistem pendidikan. Kedua, mendesain model kurikulum. Model kurikulum harus didesain berdasakan paradigm, dan harus memperhatikan fitrah manusia dan perkembangan dunia modern. Ini berarti harus mengandung muatan lokal, nasional, dan global.
Ahmad Tafsir pun menggugat pendidikan saat ini, yang masih menghasilkan lulusan yang suka menang sendiri dan memaksakan kehendak, suka narkoba dan tawuran, suka curang dan tidak punya kepekaan sosial, bahkan suka serakah dan korupsi. Padahal itu semua, termasuk koruptor adalah orang yang gagal menjadi manusia sekalipun dia seorang pejabat atau pengusaha sukses. Jadi kegagalan pendidikan bukan hanya tidak memenuhi standar lapangan kerja. Masalah yang lebih besar adalah pendidikan saat ini belum dapat menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia. Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengungkapkan bahwa, bangsa-bangsa yang dimusnahkan Tuhan itu bukan karena tidak menguasai iptek atau kurang pandai, tapi karena buruknya akhlak. Bukankah orang yang tidak berakhlak itu derajatnya lebih rendah dari binatang. Oleh karena itu, kata para filosof, pendidikan dimakudkan untuk membantu memanusiakan manusia. Pendidikan tersebut harus mencakup unsur jasmani, rohani dan kalbu, perpaduan ketiga unsur itu dalam desain pendidikan akan menghasilkan lulusan dengan nilai kemanusiaan yang tinggi Insya Allah.
Selanjutnya, dalam persoalan tantangan paradigma pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zaman modern dan memasuki era millennium ketiga, yang seakan-akan menyudutkan dan menganaktirikan sistem pendidikan Islami klasik, maka para ahli pendidikan Islam sudah seharusnya memiliki formula dalam merancabangun dan memperbaiki pendidikan saat ini. Hal tersebut terungkap dengan sebuah pertanyaan, yaitu desain pendidikan Islami yang bagaimana, yang mampu menjawab tantangan perubahan ini? Desain pendidikan Islami yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama, lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah (a) model pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk mempersiapkan dan melahirkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid tangguh dalam bidangnya dan mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan zaman, (b) model pendidikan umum Islami, kurikulumnya integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif, (c) model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam, (d) atau menolak produk pendidikan barat, berarti harus mendisain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia, dan (e) pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah, artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat berupa kursur-kursus, dan sebagainya.
Kedua, disain “pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi”, yakni : (a) dimensi dialektika (horisontal), pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan (b) dimensi ketunduhan vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri kehidupan yang abadi dengan maha pencipta. Berati pendidikan harus disertai dengan pendekatan hati (M. Irsyad Sudiro, 1995:2).
Ketiga, sepuluh paradigma digunakan untuk membangun paradiga baru pendidikan Islam, yakni (a) pendidikan adalah proses pembebasan; (b) pendidikan sebagai proses pencerdasan; (c) pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak; (d) pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian; (e) pendidikan adalah proses pemberdayaan potensi manusia; (f) pendidikan menjadikan anak berwawasan integrative; (g) pendidikan wahana membangun watak persatuan; (h) pendidikan menghasilkan manusia demokratik; (i) pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan; dan (j) sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan (Djohar, 1999:12).
Tiga hal yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun paradigma pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zaman modern dan memasuki era milenium ketiga. Karena, “kecenderungan perkembangan semacam dalam mengantisipasi perubahan zaman merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat sekarang ini lebih bersifat praktis-pragmatis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap pendidikan” (S.R.Parker, 1990), sehingga tidak statis atau hanya berjalan di tempat dalam menatap persoalan-persoalan yang dihadapi pada era masyarakat modern dan post masyarakat modern.
Untuk itu, Pendidikan dalam masyarakat modern, pada dasarnya berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah dengan cepat, dan pada saat yang sama, pendidikan secara sadar juga digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik, ekonomi secara keseluruhan. Pendidikan sekarang ini seperti dikatakan oleh Ace Suryadi dan H.A.R. Tilar (1993), tidak lagi dipandang sebagai bentuk perubahan kebutuhan yang bersifat konsumtif dalam pengertian pemuasan secara langsung atas kebutuhan dan keinginan yang bersifat sementara. Tetapi, merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia (human investment) yang merupakan tujuan utama; pertama, pendidikan dapat membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan untuk bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatkan penghasilan kerja lulusan pendidikan di masa mendatang. Kedua, pendidikan diharapkan memberikan pengaruh terhadap pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan (equality of education opportunity) (A. Malik Fadjar, 1995:1).
Selain itu dalam menghadapi era milenium ketiga ini nampaknya pendidikan Islam harus menyiapkan sumber daya manusia yang lebih handal yang memiliki kompotensi untuk hidup bersama dalam era global. Menurut Djamaluddin Ancok (1998:5), “salah satu pergeseran paradigma adalah paradigma di dalam melihat apakah kondisi kehidupan di masa depan relatif stabil dan bisa diramalkan (predictability). Pada milenium kedua orang selalu berpikir bahwa segala sesuatu bersifat stabil dan bisa diprediksi. Tetapi, pada milenium ketiga semakin sulit untuk melihat adanya stabilitas tersebut. Apa yang terjadi di depan semakin sulit untuk diprediksi karena perubahan menjadi tidak terpolakan dan tidak lagi bersifat linier”. Maka, pendidikan Islam sekarang ini desainnya tidak lagi bersifat linier tetapi harus didisan bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat dan tidak terpolakan.
Untuk itu, lebih lanjut Djamaluddin Ancok yang mengutip Hartanto, Raka & Hendroyuwono (1998) mengatakan bahwa pendidikan (termasuk pendidikan Islam) harus mempersiapkan ada empat kapital yang diperlukan untuk memasuki milenium ketiga, yakni kapital intelektual, kapital sosial, kapital lembut, dan kapital spritual. Tantangan ini tidak muda untuk penyelesaiannya, tidak seperti membalik telapak tangan. Untuk itu, pendidikan Islam sangat perlu mengadakan perubahan atau mendesain ulang konsep, kurikulum dan materi, fungsi dan tujuan lembaga-lembaga, proses, agar dapat meneuhi tuntatan perubahan yang semakin cepat.
Dari pembahasan di atas mengenai perkembangan pendidikan pada abad modern, maka dapat disimpulkan bahwa : (1) Dalam menghadapi perubahan masyarakat modern, secara internal pendidikan Islam harus menyelesaikan persoalan dikotomi, tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, dan persolalan kurikulum atau materi yang sampai sekarang ini belum terselesaikan. (2) Lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendesain ulang fungsi pendidikan, dengan memilih model pendidikan yang relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. (3) Pendidikan Islam didesain untuk dapat membantu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan untuk bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatan kerja lulusan pendidikan di masa datang. Selain itu perlu disain pendidikan Islam yang tidak hanya bersifat linier saja, tetapi harus bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat. (4) Pendidikan Islam harus mengembangkan kualitas pendidikannya agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang selalu berubah-berubah. Lembaga-lembaga pendidikan Islami harus dapat menyiapkan sumber insani yang lebih handal dan memiliki kompotensi untuk hidup bersama dalam ikatan masyarakat modern.

KESIMPULAN
Sesuai dengan apa yang menjadi permasalahan dalam penulisan makalah ini, yaitu penulis ungkapkan dalam bentuk pertanyaan; bagaimana filsafat pendidikan Islami dalam upaya memecahkan persoalan (agenda) pendidikan Islami melalui kajian komponen-komponen pendidikan? Dan bagaimana upaya komponen-komponen pendidikan dalam merancangbangun dan memperbaiki pendidikan Islam dewasa ini? Dari kedua pertanyaan tersebut, maka penulis mencoba merumuskan formula pendidikan untuk menjawab pertanyaan seputar pendidikan tersebut dengan maksud dapat merancabangun dan memperbaiki melalui komponen-komponen pendidikan (hakikat manusia, hakikat pendidikan, dasar pendidikan, tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, peserta didik, kelembagaan pendidikan, proses pendidikan, dan pengembangan pendidikan). Rumusan formula pendidikan dalam upaya memecahkan persoalan (agenda) pendidikan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.      Pendidikan merupakan suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen penting yang saling berhubungan. Oleh karena itu, dalam upaya memecahkan persoalan (agenda) pendidikan, maka komponen-komponen pendidikan tersebut harus dipahami dan diinternaslisasi secara integral dan sesuai dengan perkembangan zaman saat ini, baik itu dilihat dari sisi keilmuan, teknologi informasi, maupun dilihat dari sisi manusia itu sendiri, yakni makhluk sosial, religius dan lain sebagainya.
2.      Perlu adanya upaya memupuk pemahaman yang sesuai dengan kebutuhan dan persoalan yang harus dijawab oleh pendidikan tentang apa, siapa, mengapa dan bagaimana  manusia itu? sehingga harapan dalam pendidikan itu sendiri dapat tercapai, disebabkan pendidikan dapat membantu manusia dalam memanusiakan manusia. Dengan kata lain bahwa pengetahuan, pemahaman dan pemaknaan akan hakikat manusia itu sendiri merupakan komponen pendidikan yang harus diperbaiki.
3.      Terdapat dua kata yang perlu digarisbawahi mengenai hakikat pendidikan yaitu “membantu” dan “manusia” dan ini yang menjadi tujuan pendidikan itu sendiri untuk memanusiakan manusia. Untuk merealisasikan tujuan ini manusia haruslah memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri, memiliki pengetahuan. Intinya manusia harus mampu berpikir benar, baik dan indah.
4.      Pendidikan akan selalu diwarnai oleh pandangan hidup (way of life). Maka mendesain pandangan hidup sesuai dengan kebutuhan dan harapan perkembangan zaman merupakan salah satu factor yang penting, dengan mempertimbangkan norma-norma atau nilai nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan.
5.      Sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang beragama Islam, maka tujuan pendidikan yang diselenggarakan adalah tujuan yang memiliki orientasi untuk memanusiakan manusia secara kenegaraan (Indonesia), lebih jauh lagi memanusiakan manusia Indonesia dengan tujuan memiliki kepribadian Islami.
6.      Perlu mendesain model kurikulum. Model kurikulum harus didesain berdasakan paradigm dengan mengutamakan pendidikan akhlak (pendidikan Agama),
7.      Perubahan yang terjadi terhadap istilah dan bahkan makna dari istilah murid menjadi peserta didik, menyebabkan pendidik/guru tidak dapat berperan penuh dalam melakukan pembimbingan dan pelatihan terhadap peserta didik. Oleh karena itu perlu adanya mendesain/memperbaiki istilah tersebut yang merepresentasi dari tugas pendidik terhadap peserta didik.
8.      Lembaga pendidikan (sekolah) dibentuk untuk melakukan proses pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan. Tiga tujuan setidaknya ingin dicapai melalui sekolah yakni moralitas (akhlak), civic (cinta tanah air), dan berpengatahuan.
9.      Proses pendidikan pada dasarnya mambangun sebuah internalisasi content pendidikan, Baik itu terkait dengan internalisasi pengetahuan terlebih lagi internalisasi nilai. Ada rambu-rambu penting yang perlu diperhatikan agar sebuah proses sukses melakukan internalisasi. Ada tiga tujuan pembelajaran, yaitu 1) tahu (knowing); 2) mampu melaksanakan apa yang diketahui (doing); dan 3) menjadi apa yang telah dilaksanakan itu (being). Untuk itu ada dua langkah penting yang perlu dipersiapkan dan didesain oleh sebuah proses pendidikan, yaitu keteladanan dan pembiasaan.
10.  Pengembangan pendidikan merupakan komponen pendidikan yang terakhir, yang menjadi tonggak akhir dalam upaya memperbaiki dan memajukan pendidikan saat ini. Maka terdapat dua langkah penting yang harus segera diambil, yaitu: Pertama, mengubah paradigma dengan mengutamakan agama. Jadikan agama sebagai core sistem pendidikan. Kedua, mendesain model kurikulum. Model kurikulum harus didesain berdasakan paradigm, dan harus memperhatikan fitrah manusia dan perkembangan dunia modern. Ini berarti harus mengandung muatan lokal, nasional, dan global.


DAFTAR PUSTAKA
A. Malik Fadjar. (1995). Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN, Cirebon. 

A. Yunus. (1999). Filsafat Pendidikan, Bandung: CV. Citra Sarana Grafika.

A. Syafi'i Ma'arif. (1991). Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana. 

Abdul Mujid. (2004). Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia.

Abu Ahmadi. (1991). Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Ahmad Tafsir. (2006). Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Anwar Jasin. (1985). Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam Tinjauan Filosofis, Jakarta: Conference Book, London.

Depag RI. (1994). Al-Qur’an dan Terjemah. Semarang: PT Kumudasmoro Gragindo.

Djamaluddin Ancok. (1998). Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, UII. 

Djohar. (1990). Omong Kosong, Tanpa Mengubah UU No. 2/89, Koran Harian "Kedaulatan Rakyat".

Fazlur Rahman. (1982). Islam and modernity, Transformation Intelectual Tradition. Chicago: The University Chicago Press.

H.A.R. Tilar. (1998). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia. 
Himpunan Peraturan Perundangan-undangan. (2009). Undang-undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). Bandung: Fokusmedia.

Husain, Sajjad, dan Ali Ashraf. (1986). Crisis Muslim Education (Krisis Pendidikan Islam), terj., Rahmani Astuti. Bandung: Risalah.

M. Irsyad Sudiro. (1995). Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon.

M. Shofan. (2004). Pendidikan Berparadigma Profetik. Yogyakarta: Ircisod-UMG Press.

M. Quraish Shihab. (1997). Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung : Penerbit Mizan.

Machnun Husein. (1983). Pendidikan Agama Dalam Lintasan Sejarah , Cet. 1. Mustafa Zahri. (1976). Kunci Memahami Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu.

Ramayulis. (2008). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Rohiman Notowidagdo. (1996). Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al Qur'an dan Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

S.R. Parker, et.al. (1991). Sosiologi Industri. Jakarta: Rineka Cipta. 

Samsul Nizar. (2002). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.

Soroyo. (1991). Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Buku: Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana.