--- SELAMAT DATANG DI WEBSITE LEMBAGA STUDI ISLAM MADANI --- PESANTREN MADANI KOTA CIMAHI --- YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM MADANI KOTA CIMAHI JAWA BARAT INDONESIA --- TELP. 085624018800 ATAU 082117533596 ---

Kamis, 20 Oktober 2011

TAFSIR DARI REDAKSI ULUL ALBAB DALAM QS. ALI IMRAN AYAT 190-191, QS. AR-RA'DU AYAT 19-22 DAN QS. AZ ZUMAR AYAT 17-18

TAFSIR DARI REDAKSI ULUL
ALBAB DALAM QS. ALI IMRAN AYAT 190-191,
QS. AR-RA'DU AYAT 19-22 DAN QS. AZ ZUMAR  AYAT 17-18

Oleh Khambali 
(ust.hambali@gmail.com)
A.       Ayat dan Terjemah QS. Ali Imran Ayat 190-191
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka{QS. Ali Imran : 190-191}.
             
B.       Pendapat Mufassir tentang QS. Ali Imran Ayat 190-191
1.      Ibnu Katsir
Ayat 190-191 surat Ali Imran merupakan penutup surat Ali Imran. Ini antara lain terlihat pada uaian-uraiannya yang bersifat umum. Setelah dalam  ayat-ayat  lalu mengurai hal-hal yang rinci, sebagaimana terbaca pada ayat 189 yang menegaskan kepemilikan Allah Swt. Atas alam raya. Maka pada ayat yang ke-190-191 Allah menguraikan sekelumit dari penciptaan-Nya, serta memerintahkan agar memikirkannya.
Salah satu bukti kebenaran bahwa Allah merupakan Sang Pemilik atas alam raya ini, dengan adanya undangan kepada manusia untuk berpikir, karena sesungguhnya dalam penciptaan, yakni kejadian benda-benda angkasa, seperti matahari, bulan dan jutaan gugusan bintang-bintang yang terdapat dilangit, atau dalam pengaturan sistem kerja langit yang sangat teliti serta kejadian dan perputaran bumi pada porosnya yang melahirkan silih bergantinya malam dan siang, perbedaannya baik dalam masa maupun panjang dan pendeknya terdapat tanda-tanda kemahakuasaan Allah bagi ulul albab, yakni orang orang yang memiliki akal yang murni.
            Kata (الباب) al-bab adalah bentuk jamak dari (لب) lub yaitu “saripati” sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai lub. Ulul albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berpikir. Orang yang merenungkan tentang penomena alam raya akan dapat sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah Swt.
            Ayat ini mirip dengan ayat 164 surat Al-Baqarah, hanya saja di sana disebutkan delapan macam ayat-ayat Allah, sedang di sini hanya tiga. Bagi kalangan sufi, pengurangan ini disebabkan karena memang pada tahap-tahap awal, seorang salik yang berjalan menuju Allah membutuhkan banyak argumen akliyah. Akan tetapi, setelah melalui beberapa tahap, yakni ketika kalbu telah memperolah kecerahan, maka kebutuhan akan argumen aqliyah semakin berkurang, bahkan dapat menjadi halangan bagi kalbu untuk terjun ke samudra ma’rifat. Selanjutnya, kalau bukti-bukti yang disebutkan di sana adalah hal-hal yang terdapat di langit dan di bumi, maka penekanannya di sini adalah pada bukti-bukti yang terbentang di langit. Ini karena bukti-bukti di langit lebih menggugah hati dan pikiran, seta lebih cepat mengantar seseorang meraih rasa keagungan ilahi.
Disisi lain, ayat 164 Al-Baqarah ditutup dengan menyatakan bahwa yang demikian itu merupakan “tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (لايت لقوم يعقلون) la ayatin liqaumin ya’qilun, sedangkan pada ayat ini, karena mereka telah berada pada tahap yang lebih tinggi dan juga telah mencapai kemurnian akal, maka sangat wajar ayat ini ditutup dengan (لايت لالي الالباب) la ayatin  liulil albab.
            Sejumlah riwayat menyatakan bahwa rasul Saw. Seringkali membaca ayat ini dan ayat-ayat berikutnya saat beliau bangun shalat tahajud dimalam hari. Imam bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata bahwa, “Suatu malam aku tidur dirumah bibiku, Maemunah. Rasul Saw. berbincang-bincang dengan keluarga beliau, beberapa saat kemudian pada sepertiga malam terakhir beliau bangkit dari pembaringan dan duduk memandang ke arah langit sambil membaca ayat ini lalu beliau berwudhu,. Dan shalat sebelas rakaat. Kemudian adzan subuh, maka belau shalat dua rakaat, lalu menuju ke mesjid untuk mengimami jama’ah shalat subuh.
            Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan melalui Atha bahwa, “Suatu ketika ia bersama rekannya, mengunjungi Aisyah Ra. istri Nabi Saw, untuk bertanya tentang peristiwa apa yang paling mengesankan beliau dari rasul Saw. Aisyah menangis sambil berkata: “Semua yang beliau lakukan mengesankan kalau hanya menyebut satu, maka satu malam, yakni di malam giliran beliau tidur berdampingan denganku, kulitnya menyentuh kulitku lalu beliau bersabda,”wahai aisyah, izinkanlah aku beribadah kepada Tuhanku” dan aku berkata berkata, “demi Allah, aku senang berada disampingmu, tetapi aku senang juga engkau beribadah kepada Tuhan.” Maka beliau pergi berwudhu, tidak banyak air yang beliau gunakan lalu berdiri melaksanakan shalat dan menangis hingga membasahi jenggot beliau lalu sujud dan menangis hingga membasahi lantai, lalu berbaring dan menangis. Setelah itu bilal datang untuk adzan subuh bilal bertanya kepada rasul tentang apa gerangan yang membuat beliau menangis sedang Allah telah mengampuni dosanya yang lalu dan yang akan datang. Rasul Saw menjawab, “aduhai bilal, apa yang dapat membendung tangisku sedang semalam Allah telah menurunkan ayat, “inna fil khalkissama waati.., sungguh celaka siapa yang membaca tapi tidak memikirkannya” .
2.      Quraisy Shihab
Ayat ini dan ayat-ayat selanjutnya menjelaskan sebagian dari ciri-ciri orang yang dinamai ulul albab yang telah disebutkan pada ayat yang lalu. Mereka adalah orang-orang baik laki-laki maupun perempuan yang terus mengingat Allah dengan ucapan atau hati, dan dalam seluruh situasi dan kondisi, saat bekerja sambil berdiri atau duduk atau keadaan berbaring atau bagaimanapun, dan mereka memikirkan tentang penciptaan yakni kejadian dan sistem kerja langit dan bumi, dan setelah itu berkata sebagai kesimpulan; Tuhan kami tiadalah engkau menciptakan alam raya dan segala isinya ini dengan sia-sia tanpa tujuan yang hak. Apa yang kami alami, atau dengar dari keburukan atau kekurangan, Maha Suci Engkau dari semua itu. Itu adalah ulah atau dosa dan kekurangan kami yang dapat menjerumuskan kami kedalam siksa neraka, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Karena, Tuhan kami “Kami tahu dan sangat yakin bahwa sesungguhnya siapa yang engkau masukan kedalam neraka, maka sungguh telah engkau hinakan ia dengan mempermalukannnya di hari kemudian seabagai seorang serta menyiksanya dengan siksa yang pedih. Tidak ada satupun yang dapat membelanya, dan tidak ada bagi orang-orang yang dzalim. Siapapun ia, satu penolongpun”.
            Di atas terlihat bahwa objek dzikir adalah Allah, sedang objek pikir adalah makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam. Ini berarti bahwa pengenalan kepada Allah lebih banyak dilakukan oleh kalbu. Sedangkan pengenalan alam raya didasarkan pada penggunaan alam, yakni berpikir. Akal memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam, tetapi ia memiliki keterbatasan dalam memikirkan Dzat Allah. Hal ini dipahami dari sabda Rasullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim melalui Ibnu Abbas: “Berpikirlah tentang makhluk Allah dan jangan berpikir tentang Allah“.
            Manusia yang membaca lembaran alam raya niscaya akan mendapatkan Allah sebelum manusia mengenal peradaban mereka yang menempuh jalan ini telah menemukan kekuatan itu (Allah Swt). Walau nama yang disandangkan untuknya bermacam-macam seperti; Penggerak Pertama, Yang Maha Mutlak, Pencipta Alam, Kehendak Mutlak, Yang Maha Kuasa, dan sebagainya. Bahkan seandainya mata tidak mampu membaca lembaran alam raya, maka mata hati dan cahayanya akan menemukannya karena memandang atau mengenal Tuhan ada dalam jangakauan kemampuan manusia melalui lubuk hatinya. Bahkan, bila manusia mendengar suara nuraninya dengan “telinga terbuka” pasti ia akan mendengar “suara Tuhan” yang menyerunya ini disebabkan karena kehadiran Allah dan keyakinan akan keesaannya, adalah fitrah yang menyertai jiwa manusia.
Fitrah itu tidak bias dipisahkan dari manusia meskipun mungkin tingkatannya berbeda sekali waktu pada seseorang ia sedemikian kuat, terang cahayanya melebihi sinar matahari dan pada saat yang lain atau pada orang lain ia begitu lemah dan redup. Namun demikian sumbernya tidak lenyap, akarnyapun mustahil tercabut.
Suatu ketika menjelang ruh manusia dicabut dari tubuhnya fitrah keagamaan itu muncul sedimikian kuat dan jelas.  Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah ) agama yang lurus; tetapi kabanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Fathir ayat 30)        
            Seandainya manusia merasa puas dengan perasaan atau informasi jiwa dan intuisinya dalam mencari dan berkenalan dengan Tuhan, niscaya banyak jalan yang dapat disingkirkannya tetapi manusia tidak semuanya mampu berbuat demikian. Banyak juga orang yang menempuh jalan yang berliku-liku, memasuki lorong-lorong yang sempit untuk melayani rayuan akal yang sering mengajukan aneka pertanyaan “ilmiah” sambil mendesak untuk memperoleh jawaban yang memuaskan nalar.
            Bagi yang puas degan informasi intuisi, ia akan merasakan ketenangan dan kedamaian bersama kekuatan yang Maha Agung, siapapun yang dyakininya tanpa mendiskusikan apakah pengenalan mereka benar apa keliru.
            Islam tidak menolak melayani desakan akal atau dorongan nalar. Bukankah telah beragam argumen akliyah yang dipaparkan bersamaan dengan sentuhan-sentuhan rasa guna membuktikan keesaannya? Bukanya Al-qur’an menguji ulul albab yang berdzikir dan berpikir tentang kejadian langit dan bumi?   bukankah dia telah memerintahkan untuk memandang alam dan fenomenanya dengan pandangan nadzar atau nalar serta memikirkannya?  Bukankah bukti-bukti kehadirannya dipaparkan sedemikian jelas melalaui berbagai pendekatan? Tetapi  sekali lagi akal manusia sering kali tidak puas hanya sampai pada titik dimana wujudnya terbukti akal manusia sering kali mengenal dzat dan hakikatnya, bahkan ingin melihatnya dengan mata kepala, seakan-akan Tuhan adalah sesuatu yang dapat terjangkau oleh panca indra.
            Oleh karena itu, disinilah letak kesalahan bahkan letak bahaya. Karena inilah banyak pemikir jatuh tersungkur ketika mereka menuntut kehadirannya melebihi kehadiran bukti-bukti wujudnya seperti kehadiran alam raya dan teraturanya  bahakan disanalah bergelimpangan korban orang-orang yang tidak puas dengan pengenalan rasa atau yang mendesak meraih pengetahuan tentang Tuhan melebihan informasi Tuhan sendiri seandainya mereka menempuh cara yang mereka gunakan ketika merasa takut kepada harimau, tanpa melihat wujudnya  cukup degan mendengar raungnya atau seandainya mereka berinteraksi dengan Tuhan sebagai mana berinteraksi dengan matahari mendapatkan kemanfaatan dan kehangatan cahayanya tanpa harus mengenal hakekatnya, maka banyak daya dan waktu yang dapat digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat tapi sekali lagi tidak semua manusia sama.
            Di atas telah dijelaskan makna firman-Nya, rabbana maa khalakta hadza batthilan / Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, bahwa ia adalah sebagai natijah dan kesimpulan upaya dzikir dan pikir. Dapat juga dipahami dzikir dan pikir tersebut mereka lakukan sambil membayangkan dalam benak mereka bahwa alam raya tidak diciptakan Allah sia-sia.
            Penggalan ayat tersebut dipahami juga sebagai bagian dari ucapan mereka dengan ucapan: sesungguhnya siapa yang engkau masukkan ke dalam neraka… dan seterusnya, sehingga berarti bahwa mereka berdzikir dan berpikir seraya berkata Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Memang pendapat ini dapat dibantah dengan menyatakan: “Bukankah ulul albab itu banyak sehingga bagaimana mungkin mereka sepakat mengucapkan kata itu?” keberatan ini ditampak oleh pendukung pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa ucapan itu mereka tiru atau diajarkan oleh Rasul Saw.
            Quraish Shihab memahami kalimat tersebut sebagai hasil dzikir dan pikir, dengan demikian ia tidak dapat dihadang oleh keberatan di atas. Di sisi lain, hasil itu akan sangat serasi dengan permohonan mereka selanjutnya. Yakni karena semua makhluk tidak diciptakn sia-sia, karena ada makhluk yang baik dan yang jahat, ada yang durhaka dan ada pula yang taat, di mana tentu saja yang durhaka akan dihukum maka mereka memohon perlindungan dari siksa neraka mereka selanjutnya berusaha untuk menjadi makhluk yang baik dan taat.
            Ayat di atas mendahulukan dzikir atas pikir karena dzikir mengingat Allah dan menyebut nama-nama dan keagungannya. Hati akan menjadi tenang dengan ketenangan pikiran akan menjadi cerah bahkan siap untuk memperoleh limpahan ilham dan bimbingan ilahi.
            Didahulukannya kata “subhanaka” yang diterjemahkan sebagai “maha suci engkau“, atas permohonan terpelihara dari siksa neraka. Mengajarkan bagaimana seharusnya bermohon, yaitu mendahulukan pensucian Allah dari segala kekurangan dengan memujinya sebelum mengajukan permohonan. Hal ini dimaksudkan agar si pemohon menyadari nikmat Allah yang telah melimpah kepadanya sebelum adanya permohonan sekaligus untuk menampi segala perasangka ketidakadilan dan kekurangan terhadap Allah apabila ternyata permohonan belum diperkenankannya.
            Ayat di atas juga menunjukan bahwa semakin banyak hasil yang diperoleh dari dzikir dan pikir dan semakin luas pengetahuan tentang alam raya akan semakin dalam pula rasa takut kepadanya, hal ini antara lain tercemin pada permohonan untuk dihindarkan dari siksa neraka. Seperti firman-Nya: “sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambanya hanyalah para ulama/ cendekiawan “(QS. Fathir : 28)
            Ayat 192 yang menjelaskan sebab permohonan agar dihindarkan dari siksa neraka, adalah untuk menggambarkan betapa mereka paham ajaran agama dan betapa mereka mendesak dalam bermohon, karena siapa yang menjelaskan dengan rinci sesuatu atau kehebatannya, maka itu pertanda bahwa ia sangat butuh, sehingga ketulusannya bermohon lebih dalam dan dengan demikian harapannya untuk dikabulkan lebih besar.

C.       Kesimpulan QS. Ali Imran Ayat 190-191
Kesimpulan dari isi QS. Ali Imran ayat 190-191 yang berdasarkan penjelasan mufassir yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa Allah menegaskan kepada umat manusia dengan memberikan perumpamaan agar dapat dipetik hikmah atau pelajaran dengan menjelaskan sebagian dari ciri-ciri orang yang dinamai-Nya ulul albab, yakni (1) orang orang yang memiliki akal yang murni baik laki-laki maupun perempuan yang merenungkan tentang fenomena alam raya akan dapat sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah Swt. (2) Orang-orang yang terus mengingat Allah dengan ucapan atau hati, dan dalam seluruh situasi dan kondisi, saat bekerja sambil berdiri atau duduk atau keadaan berbaring atau bagaimanapun, dan mereka memikirkan tentang penciptaan yakni kejadian dan sistem kerja langit dan bumi, dan (3) Orang-orang setelah melihat dan memikirkan itu semua, mereka berkata sebagai kesimpulan terhadap ciptaan-Nya, yakni “Tuhan kami tiadalah engkau menciptakan alam raya dan segala isinya ini dengan sia-sia tanpa tujuan yang hak”.
D.      Ayat dan Terjemah QS. Ar-Ra'du ayat 19-22


Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik) (QS. Ar-Ra'du : 19-22).


E.   Pendapat Mufassir tentang QS. Ar-Ra'du ayat 19-22
1. Ibnu Katsir
            Allah Swt. berfirman, “Tidaklah sama antara manusia yang mengetahui bahwasannya apa yang "diturunkan kepadamu", hai muhammad, "dari Tuhanmu itu" merupakan kebenaran yang tidak diragukan dan diperselisihkan lagi, justru semuanya merupakan kebenaran, sebagiannya membenarkan sebagian yang lain, dan aneka perintah serta larangannya adalah adil dengan orang yang buta, tidak mendapat petunjuk untuk menjadi kebenaran, dan tidak memahami kebenaran itu. Jika dia memahaminya, maka dia tidak mengikutinya, tidak membenarkannya, dan tidak menaatinya”. Penggalan ini seperti firman Allah Swt, "Tidaklah sama antara penghuni neraka dengan para penghuni syurga. para penghuni syurga adalah orang -orang yang beruntung." Yakni, tidaklah sama antara orang yang ini dengan yang itu. Firman Allah Swt, "Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran." yang dapat mengambil nasihat dan memahami hanyalah kaum pemilik akal yang sehat dan waras.
            Allah Swt. memberitahukan orang-orang yang memiliki sifat-sifat terpuji bahwasanya bagi mereka kesudahan dan pertolongan di dunia dan akhirat. "Orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian". Yakni, mereka tidak seperti kaum munafikin. Jika salah seorang di antara mereka berjanji, maka dia berkhianat. jika berperkara, berbuat aniaya, jika berbicara, maka berdusta, dan jika diberi kepercayaan, maka dia berkhianat. “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan”. Berupa silaturrahmi, berbuat baik kepada kerabat, kepada kaum miskin, dan orang yang membutuhkan, serta memberikan kema'rufan. Mereka takut kepada Tuhannya dalam setiap amal yang mereka kerjakan dan tinggalkan, mereka takut kepada perhitungan yang buruk diakhirat. Oleh karena itu, mereka menempatkan segala persoalannya dalam kaseluruhan dan keistiqamahan di dalam seluruh prilakunya.
            "Dan orang-orang yang sabar" dalam menahan diri dari berbagai keharaman dan dosa "Karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat" sesuai dengan segala batasan dan ketentuan waktunya serta melakukan ruku', sujud, dan khusyuk yang sesuai dengan ketentuan syara' yang diridhai, "Menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka", menafkahkan kepada orang yang wajib diberi infaq sepeti istri, kerabat, orang lain yang miskin, membutuhkan, dan fakir, secara rahasia maupun terang-terangan, yakni dalam keadaan rahasia maupun terang-terangan, tengah malam atau pada penghujung siang, "Dan menolak kejahatan dengan kebaikan", yakni mereka membalas keburukan dengan kebaikan, membalas gangguan dengan kesabaran yang baik, tahan uji, lapang dada, dan makan. penggalan ini seperti firman Allah Swt., "Balaslah dengan cara yang lebih baik."
            Oleh karena itu, Allah memberitahukan keadaan orang-orang yang bahagia yang memiliki sifat-sifat yang baik, bahwa bagi mereka tempat kesudahan yang baik. kemudian “Kesudahan yang baik ini”. Dijelaskan dengan firman Allah Swt. "Syurga 'Adn" Yakni syurga untuk kediaman mereka tinggal di sana dengan kekal bersama para rasul, para nabi, para syuhada, dan para imam yang beroleh petunjuk. "Mereka memasukinya, juga orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya, dan anak cucunya." yakni, mereka dipersatukan bersama orang-orang yang dicintainya seperti bapak, istri, dan anak agar menjadi gembiralah orang bahagia tersebut dengan adanya mereka, hingga Allah meninggikan derajat yang rendah menjadi derajat yang tinggi sebagai anugrah dan kebaikan dari Allah.
            Firman Allah Swt, "Sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, Salaamun 'alaikum bimaa shabartum. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu." Yakni, para malaikat menemui mereka dari sana sini untuk mengucapkan selamat atas masuknya mereka ke dalam syurga.
2. Quraisy Shihab
Demikianlah perbedaan antara kebenaran dan kebatilan, karena itu adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu wahai Muhammad mengetahuinya bahwa ia adalah kebenaran dan yang di ibaratkan  denga air atau logam murni itu, sama dengan orang yang buta yang serupa dengan buih dan kotoran logam itu? pastilah tidak sama! hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat menyadari perumpamaan dan mengambil pelajaran.
            Ayat di atas menggunakan kata buta untuk mereka yang menolak apa yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad Saw., yakni al-qur’an, karena firman- firman Allah itu sedemikian jelas bagaikan terlihat dengan mata kepala sehingga dapat dijangkau oleh siapapun walau hanya memiliki mata saja. Namun demikian, karena mereka menolaknya maka mereka adalah orang yang buta mata hatinya.
            Sayyid Quthub menggarisbawahi penggalan ayat ini yang memperhadapkan orang yang mengetahui dengan orang yang buta bukan memperhadapkannya dengan “orang yang tidak mengetahui”. Ini menurutnya mengisyaratkan bahwa hanya kebutaan hati yang menjadikan seseorang menolak hakikat yang sangat jelas yang ditawarkan oleh ajaran Islam. Manusia ketika menghadapi hakikat kebenaran terdiri dari dua kelompok, “melihat sehingga mengetahui” dan “buta hingga tidak mengetahui.” Demikin tulisnya
Kata al-albab adalah bentuk jamak dari lubb yaitu saripati sesuatu. Kacang –misalnya- memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai lubb. Ulul albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni yang tidak diselubugi oleh “kulit”, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir. Istilah yang digunakan al-qur’an ini mengisyaratkan bahwa sari pati serta hal yang terpenting pada manusia adalah akalnya yang murni yang tidak diselubungi oleh nafsu. Ulul albab bukan sekedar yang memiliki kemampuan berfikir cemerlang, tetapi kemampun berfikir yang disertai dengan kesucian hati sehingga dapat mengantar pemiliknya meraih kebenaran dan mengamalkannya serta menghindar dari kesalahan dan kemungkaran. Itulah saripati manusia. Adapun jasmaninya, maka ia tidak lain kecuali kulit yang menutupi saripati itu. Namun demikian, tentu saja kulitpun harus dipelihara agar saripati tersebut tidak terganggu.
            Ayat-ayat ini menjelaskan sebagian dari ciri-ciri dan sifat ulul albab, yaitu orang-orang yang selalu memenuhi janji yang diikatnya atau dikukuhkan dengan nama Allah dan tidak membatalkan perjanjian, baik menyangkut waktu dan tempatnya maupun pelaksanaannya. Dan orang-orang yang senantiasa menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan seperti silaturahmi serta menjalin hubungan harmonis dengan binatang dan lingkungan, dan mereka selalu takut kepada Tuhan mereka dan takut kepada hisab, yakni perhitungan hari kemudian yang berakibat buruk. Dan orang-orang yang sabar melaksanakan perintah,  menjauhi larangan serta menghadapi petaka demi wajah Tuhan mereka, yakni mencari keridhaan Allah, dan melaksanakan shalat secara bersinambung dan memenuhi syarat, rukun dan sunahnya, dan menafkahkan sebagaian rezeki yang kami berikan kepada mereka, baik secara secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak diketahui oleh siapapun atau terang-terangan dan diketahui oleh orang lain guna menghindarkan mereka sangka buruk atau memberi contoh baik atau ketika menunaikan zakat wajib serta menolak dengan sungguh-sungguh serta penuh hikmah kejahatan dengan kebaikan baik penolakan itu dengan lisan maupun perbuatan, dan orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan yang baik.
Firman-Nya (يوفون بعهدالله) yufuna bi’ahd Allah/ memenuhi janji Allah antara lain mengisyaratkan perjanjian antara manusia dengan Allah SWT. Sesungguhnya ada perjanjian antara manusia dengan Allah, yakni mereka mengakui keesaan Allah, serta tunduk patuh kepada-Nya. Perjanjian itu terlaksana melalui nalar dan fitrah manusia sebelum dikotori oleh kerancuan. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa perjanjian itu telah terlaksana pada suatu ketika di suatu alam sebelum masing-masing manusia hadir di pentas dunia.
Kata (يكشون) yakhsyauna dan (يخافون) yakhafuna yang keduanya diterjemahkan dengan takut adalah berdasarkan pemahaman. Sementara ulama yang menilai dua kata tersebut sinonim tanpa perbedaan. Ayat ini, menurut mereka, menggunakan untuk tujuan penganekaragamaan redaksi. Namun ada juga ulama yang membedakannya, yakni kata yakhsyauna adalah takut yang disertai dengan penghormatan dan penggangguan dan lahir dari adanya pengetahuan tentang yang ditakuti itu, sedang yakhafuna adalah sekedar takut yang boleh jadi disertai degan kebencian, atau tanpa mengetahui yang ditakuti itu. Selanjutnya terbaca di atas, bahwa objek kata yakhsyauna  adalah Allah yang ditunjuk dengan kata Rabbahum. Kata yang dipilih menjadi objek  tersebut mengesankan adanya harapan dari takut karena ditakutinya adalah Allah yang juga Rabb, yakni pemelihara, pendidik yang selalu berbuat baik, bukan Allah yang dilukiskan dengan perkasa, atau yang amat pedih siksa_Nya. Ini serupa juga dengan firman-Nya dalam QS. Yasiin: 11 (وخشي الرحمن بالغيب) wakhasyiya arrahmana bi al-ghaib/ yang takut kepada Ar-Rahman (Allah yang mencurahkan rahmat).
Thabathaba’i memahami kata yakhsyauna mengandung makna terpengaruh jiwa akibat kekhawatiran tentang akan datangnya suatu keburukan atau suatu yang negatif dan semacamnya. Sedang yakhafuna mengandung makna adanya upaya mempersiapkan sesuatu guna menghadapi dan berlindung dari keburukan yang diduga akan menimpa, walaupun ketika itu hati yang bersangkutan tidak tersentuh. Ini dilakukan oleh Thabathaba’I dengan ayat-ayat yang berbicara  tentang “ketakutan” para nabi. Dari satu sisi mereka dinyatakan sebagai  (لا يخشون ابدا الاالله) la yakhsyauna Abadan illa Allah / mereka tidak takut kepada sesuatupun kecuali kepada Allah (QS. Al-Ahzab: 39), dan disisi lain mereka dilukiskan disentuh oleh khauf, dan dengan demikian, tentulah mereka yakhafun seperti keadaan nabi Musa AS yang dilukiskan dalam (QS. Thaha: 67) atau dugaan khauf yang boleh jadi dialami oleh nabi Muhammad Saw. Karena penghianatan lawan-lawan beliau (QS. Al-Anfal: 58). Pakar tafsir Al-Alusi berpendapat bahwa pada umumnya perbedaan-perbedan makna antara satu lafadz dengan yang lain, adalah perbedaan yang bersifat umum, bukan perbedaan yang pasti dan menyeluruh. Setiap perbedaan yang dijelaskan oleh ulama, akan ditemukan satu dua contoh mengecualikannya.
Kata (صبروا) shabaru tidak menyebut salah satu aspeknya. Ini berarti kesabaran-kesabaran yang dimaksud mencakup segala aspek kesabaran, antara lain ketika menghadapi musibah, kesabaran dalam ketaatan dan pelaksanaan tugas, kesabaran menghindari kedurhakaan dan lain-lain.
Firman-Nya (ممارزقناهم) mimma razaqnaahum / sebagian rezeki yang Kami erikan kepada mereka  dapat dipahami sebagai isyarat bahwa mereka tidak dituntut untuk menafkahkan semua rezeki yang diperolehnya. Sebagian rezeki yang tidak dinafkahkan itu agar mereka tabung. Pelaksanaan tuntunan ini menurut upaya dan kerja keras sehingga rezeki yang diperoleh melebihi kebutuhan agar kelebihan itu dapat ditabung. Penggalan ayat ini dapat juga bermakna bahwa sebanyak apapun yang dinafkahkan seseorang, hal tersebut baru merupakan sebgaian dari anugrah Allah. Bukankah wujud serta sarana kehidupan, seperti bumi tempat berpijak dan udara yang dihirup, kesemuanya adalah rezeki dari Allah SWT.
Kata (يدرعون) yadra’un berarti menolak. Dalam hal ini adalah menyingkirkan dampak yang terjadi atau akan terjadi dari suatu keburukan dengan cara yang baik. Memang salah satu cara terbaik untuk menampik keburukan serta perselisihan adalah dengan berbuat baik kepada lawan. Dalam kontks ini Allah berfirman: “dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”. ( QS. Fushilat: 34). Di sisi lain, membrantas keburukan harus pula dengan cara yang baik. Jangan sampai upaya mebrantasnya menimbulkan dampak yang lebih buruk daripada keburukan yang ingin disingkirkan. Di sisi lain Rasulullah SAW. Bersabda: “Bertakwalah kepada Allah dan dimana dan kapan saja, dan susulkanlah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu menghapus keburukan itu.”
Perlu digarisbawahi bahwa pemaafan dengan cara yang baik dalam menghadapi keburukan, tentu saja bukan dengan mengorbankan kebaikan atau prinsip-prinsip ajaran agama, dan tidak juga yang akhirnya memberi peluang bagi tersebarnya keburukan itu secara lebih luas. Oleh sebab itu sekian banyak ulama menggaris bawahi ayat ini adalah tuntunan dalam konteks hubungan pribadi dengan pribadi, ataupun pribadi dengan Allah SWT. Dalam rangka meraih pengampuan-Nya, bukan dalam persoalan agama.

F.   Kesimpulan QS. Ar-Ra'du ayat 19-22
Kesimpulan dari isi QS. Ar-Ra’du ayat 19-22 yang berdasarkan penjelasan mufassir yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa Allah menegaskan bahwa yang dapat mengambil nasihat, pelajaran/hikmah dan memahami dari ciptaan-Nya hanyalah kaum pemilik akal yang sehat. Allah Swt. juga menjelaskan sebagian dari ciri-ciri dan sifat ulul albab, yaitu (1) orang-orang yang selalu memenuhi janji yang diikatnya atau dikukuhkan dengan nama Allah dan tidak membatalkan perjanjian, baik menyangkut waktu dan tempatnya maupun pelaksanaannya. (2) Orang-orang yang senantiasa menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan seperti silaturahmi serta menjalin hubungan harmonis dengan binatang dan lingkungan, (3) mereka selalu takut kepada Tuhan mereka dan takut kepada hisab, yakni perhitungan hari kemudian yang berakibat buruk. (4) Orang-orang yang sabar melaksanakan perintah,  menjauhi larangan serta menghadapi petaka demi wajah Tuhan mereka, yakni mencari keridhaan Allah, (5) Orang-orang yang melaksanakan shalat secara bersinambung dan memenuhi syarat, rukun dan sunahnya, (6) Orang-orang yang menafkahkan sebagaian rezeki yang kami berikan kepada mereka, baik secara secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak diketahui oleh siapapun atau terang-terangan dan (7) Orang-orang yang menafkahkan rezeki dengan diketahui oleh orang lain guna menghindarkan mereka sangka buruk atau memberi contoh baik atau ketika menunaikan zakat wajib serta menolak dengan sungguh-sungguh serta penuh hikmah kejahatan dengan kebaikan baik penolakan itu dengan lisan maupun perbuatan, dan orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan yang baik, yakni “Syurga ‘Adn”.

G.  Ayat dan Terjemah QS. Az Zumar  ayat 17-18

Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembah-nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku. Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.


H.  Pendapat Mufassir tentang QS. Az Zumar  ayat 17-18
1.      Ibnu Katsir
Ath-Thaghut, yakni Setan. Kata-kata ini disebutkan dalam arti mufrad dan jamak. penyembahan kepada patung-patung disebut ibadah kepada syaitan, apabila syaitan itu menyuruh menyembah patung-payung dan membuat penyembahan kepada patung-patung sebagai sesuatu yang baik. Maksud ayat tersebut ialah, “Dan orang-orang yang menghindari penyembahan kepada patung-patung dan menghadapkan diri kepada Tuhan dengan memalingkan diri dari selain Allah, mereka mendapatkan kabar gembira, bahwa mereka akan memperoleh pahala besar dari Allah yang disampaikan lewat lidah para rasul-Nya. Yaitu, ketika mereka menghadapi maut dan ketika mereka dihimpun dari kubur untuk menghadapi hisab”. Sesudah itu, Allah memuji mereka, bahwa mereka adalah orang-orang yang kritis dalam beragama, mereka dapat membedakan antara yang baik dan yang lebih baik, dan antara yang utama dengan yang lebih utama. firman-Nya:
Maka berilah kabar gembira kepada orang-orang yang menghindari penyembahan kepada thaghut dan kembali kepada Tuhan mereka, serta mendengarkan perkataan, lalu mengikuti perkataan yang paling patut diterima. berilah kabar gembira, bahwa mereka akan mendapatkan kenikmatan yang kekal dalam syurga-syurga yang penuh kenikmatan.
            Mereka itulah orang-orang yang mendapat taufik Allah kepada jalan yang benar dan tepat sasaran, bukan orang-orang yang berpaling dari mendengarkan kebenaran dan menyembah sesuatu yang tidak memberi bahaya maupun manfaat.

            Dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat dan fitrah yang lurus, yang tidak taat kepada hawa nafsu dan tidak dikalahkan oleh waham. Mereka memilih yang terbaik diantara dua perkara dalam agama maupun dalam dunia mereka.
            Ada sebuah riwayat mengatakan bahwa kedua ayat ini turun mengenai tiga orang lelaki; yaitu ziad bin amr, Abu Dzar Al-Ghifari dan Salman Alfarisi. Waktu jahiliyah, mereka sudah mengatakan La ilahaillallah.
            Sesungguhnya kamu hai rasul, benar-benar menyaksikan air yang turun dari langit. lalu mengalir sebagai hujan dengan air itu, maka diairilah bermacam tumbuh-tumbuhan seperti gandum, padi dan lain-lain. kemudian mereka masak, kering dan menjdi kening telah asalnya hiju segar. sesudah itu, menjadi hancur berderai-derai. alangkah mirip keadaan dunia ini dengan keadaantumbuh-tumbuhan tersebut. Dunia ini begitu cepat selesai dan segera sirna. maka hal itu hendaklah diambil pelajaran oleh orang-orang yang berakal, dan hendaklah mereka tahu bahwa dunia ini bagai pasar yang terselenggara sesudah bubar. Dan jangan sampai mereka terpedaya dengan keelokan dunia. dan jangan tergoda dengan keindahannya.
            Semakna dengan ayat ini ialah firman Allah Ta'ala :
Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan dimuka bumi. Kemudian tumbu-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu {QS.Al Kahfi 18:45}


2.      Quraisy Shihab
            Sebagaimana kebiasaan Al-Quran menyandingkan sesuatu dengan lawannya atau yang serasi dengannya, maka setelah ayat yang lalu menguraikan sanksi yang menanti bagi mereka yang menyembah selain Allah, ayat di atas berbicara tentang lawan mereka yaitu yang menyembah Allah  dan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ayat di atas menyatakan, Dan orang-orang yang  bersungguh-sungguh menjauhi thaghut  yakni segala yang disembah selain Allah, yakni tidak menyembahnya  sama sekali dan kembali kepada Allah  tunduk patuh kepada-Nya dalam segala urusan mereka, bagi mereka berita gembira  yang disampaikan oleh Rasul dalam kehidupan dunia ini dan oleh malaikat menjelang ruhnya akan berpisah dengan badannya, bahwa mereka sedikitpun tidak  akan merugi; sebab itu gembirakanlah hamba-hamba-Ku yang mengarahkan perhatiannya kepada-Ku, yaitu mereka yang mendengarkan secara tekun dan bersungguh-sungguh pula apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah yang sungguh-sungguh tinggi kedudukannya - merekalah bukan selain mereka- orang-orang yang telah Allah tunjuki jalan lebar yang lurus dan mereka itulah- merekalah- secara khusus yang dinamai Ulul Albab yakni yang memilih pikiran yang cerah, tidak diliputi oleh kejenuhan.
            Kata (الطاغوت) ath-thaghut mencakup segala yang melampaui batas dalam kekufuran atau penganiayaan dan juga siapapun yang disembah selain Allah SWT, seperti berhala-hala dan para tirani yang dipatuhi oleh manusia.
            Ayat di atas menggabung antara menafikan penyembahan thaghut dengan penegasan tentang kembali kepada Allah. Ini mengisyaratkan bahwa sekedar menafikan dan tidak menyembah, belum lagi cukup untuk menyelamtakan manusia, tetap bersama itu harus pula ada upaya beribadah dan patuh secara murni kepada Allah SWT. Membersihkan diri dari kekotoran belum cukup, tetapi itu harus disertai dengan menghiasi diri, walau membersihkannya harus mendahului penghiasannya, karena apa artinya seseorang memakai pakaian yang indah jika badannya penuh kotoran.
            Berbeda-beda pendapat para ulama tentang makna kata (القول) al-qaull pekataan  pada ayat di atas. Ada yang memahaminya dalam arti ajaran Islam baik yang bersumber dari Al-Quran maupun As-Sunah. Sedang yang dimaksud dengan (الاحسن) al-ahsan/terbaik adla yang wajib dan yang utama, walaupun tidak menutup kemungkinan menjalankan yang baik dan yang sunnah. Misalnya tidak mebalas kejahatan dengan kejahatan serupa, tetapi memaafkan-walau membalasnya diperbolehkan. Dengan demikian ayat di atas bagaikan menyatakan mereka itu mendengar dengan tekun perkataan yang baik dan yang terbaik, tetapi mereka selalu berusaha mengambil yang terbaik.
            Ada juga yang berpendapat bahwa (القول) al-qaul / perkataan yang dimaksud adalah segala macam ucapan, yang baik dan yang tidak baik. Mereka mendengarkan semuanya lalu memilah-milah, dan mengambil serta mengamalkan yang baik saja. Tidak menghiraukan bahkan membuang yang buruk. Ini serupa dengan tuntunan: “Lihatlah kepada ucapan dan jangan lihat pengucapannya.” Yakni nilailah sesuatu berdasar factor-faktor intern yang ada padanya, bukan factor ekstern.
            Thabathaba’I memahami arti (القول) al-qaul ­– berdasar adanya kalimat megikuti dengan sungguhsungguh – dalam arti sesuatu yang berkaitan dengan pengalaman. Dengan demikian ahsan al-qaul / perkataan yang paling baik  adalah yang paling tepat mengenai hak dan tertarik kepada kecantikan, akan semakin tertarik setiap bertambah kebaikan itu. Jika ia menghadapi dua hal, yang satu baik dan yang lainnya buruk, maka ia akan mengarah kepada yang lebih baik. Kalau seandainya ia tidak tertarik kepada yang lebih baik, dan terpaku pada yang baik, maka itu mebuktikkan bahwa ia tidak tertarik kepadanya karena kebaikan/keindahannya, sebab seandainya  ia tertarik, pastilah semakin bertambah ketertarikannya kepada kebaikan. Dengan demikian – tulis Thabathaba’I lebih lanjut – keterangan ayat di atas menyatakan bahwa mengikuti secara sungguh-sugguh yang terbaik berarti bahwa perangai mereka telah dibentuk sedemikian rupa sehingga mereka selalu mengejar kebenaran dan terus menerus menginginkan petunjuk dan mengenai sasaran kenyataan. Dari sini setiap mereka menemukan hak dan batil, atau petunjuk dengan kesesatan, mereka bersungguh-sungguh mengikuti hak dan petunjuk itu, sambil meninggalkan yang batil dan sesat. Demikian juga, setiap mereka menemukan yang benar dan yang lebih benar, atau petunjuk dan sesuatu yang lebih banyak dan tepat petunjuknya, maka mereka akan mengambil yang lebih benar dan lebih banyak petunjukknya. Kebenaran dan petunjuklah yang selalu mereka dambakan, dan karena itu mereka bersungguh-sungguh mendengarkan perkataan. Mereka tidak menolah suatu ucapan, saat ucapan itu mnegtuk telinga mereka – tidak menolaknya – karena mengikuti hawa nafsu dan tanpa memikirkan dan memahaminya. Demikian lebih kurang Thabathaba’I.
            Firman-Nya, ulaaika al-ladzina hadaahum Allah/ mereka itulah – merekalah – orang-orang yang telah Allah tunjuki,  mengisyaratkan bahwa sifat itulah yang merupakan hidayah Allah, dan hidayah itu yakni mendambakan kebenaran serta kesiapan penuh untuk mengikutinya dimanapun ditemukan – itulah hidayah ilahi secara global, dan kesanalah bermuara semua hidayah Ilahi yang rinci.
            Kata (هم) hum / mereka,  setelah sebelumnya disebut kata ulaaika/mereka itu, berfungsi mengkhususkan hidayah dimaksud hanya bagi mereka yang dibicarakan ayat ini. Seakan-akan selain mereka yang tidak dibicarakan disini – walau memperoleh pula hidayah, tetapi kadar dan kualitas hidayah yang mereka peroleh tidak dapat dibandingkan dengan hidayah yang diperoleh mereka yang dibicarakan, sampai-sampai seakan-akan yang lainnya itu, belum memperoleh hidayah-Nya. 
I.     Kesimpulan QS. Az-Zumar  ayat 17-18
Kesimpulan dari isi QS. Az-Zumar ayat 17-18 yang berdasarkan penjelasan mufassir yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pada ayat ini Allah Swt. menggambarkan ciri dari ulul albab, yakni orang-orang yang mendengarkan secara tekun dan sungguh-sungguh, dan diberi petunjuk serta memperoleh berita gembira sebagai balasannya, karena orang-orang tersebut telah memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan upaya beribadah dan patuh secara murni kepada Allah Swt.  
J.    Kesimpulan dari QS. Ali Imran Ayat 190-191, QS. Ar-Ra'du
Ayat 19-22 dan QS. Az-Zumar  Ayat 17-18
Keseluruhan kesimpulan dari beberapa ayat Al-Qur’an yang mengangkat tema ulul albab di atas yang diambil dari mufassir, maka penulis menyimpulkan bahwa Allah Swt. dengan firman-Nya yang menunjukkan ajaran dan perintah-Nya dengan perumpamaan, hikmah/pelajaran, perbandingan yang hak dan bathil dengan mengangkat dan menampilkan sosok yang di sebut “ulul albab”. Allah Swt. memberikan ciri-ciri yang sangat istimewa kepada manusia yang disebut sebagai “ulul albab”. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
1.      Orang-orang yang memiliki akal yang murni baik laki-laki maupun perempuan yang merenungkan tentang fenomena alam raya akan dapat sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah Swt.
2.      Orang-orang yang terus mengingat Allah dengan ucapan atau hati, dan dalam seluruh situasi dan kondisi, saat bekerja sambil berdiri atau duduk atau keadaan berbaring atau bagaimanapun, dan mereka memikirkan tentang penciptaan yakni kejadian dan sistem kerja langit dan bumi.
3.      Orang-orang setelah melihat dan memikirkan kekuasaan Allah Swt., mereka berkata sebagai kesimpulan terhadap ciptaan-Nya, yakni “Tuhan kami tiadalah engkau menciptakan alam raya dan segala isinya ini dengan sia-sia tanpa tujuan yang hak”.
4.      Orang-orang yang selalu memenuhi janji yang diikatnya atau dikukuhkan dengan nama Allah dan tidak membatalkan perjanjian, baik menyangkut waktu dan tempatnya maupun pelaksanaannya.
5.      Orang-orang yang senantiasa menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan seperti silaturahmi serta menjalin hubungan harmonis dengan binatang dan lingkungan.
6.      Orang-orang yang selalu takut kepada Allah Swt. dan takut kepada hisab, yakni perhitungan hari kemudian yang berakibat buruk.
7.      Orang-orang yang sabar melaksanakan perintah,  menjauhi larangan serta menghadapi petaka demi wajah Allah Swt., yakni mencari keridhaan Allah Swt.
8.      Orang-orang yang melaksanakan shalat secara bersinambung dan memenuhi syarat, rukun dan sunahnya.
9.      Orang-orang yang menafkahkan sebagaian rezeki yang kami berikan kepada mereka, baik secara secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak diketahui oleh siapapun atau terang-terangan.
10.  Orang-orang yang menafkahkan rezeki dengan diketahui oleh orang lain guna menghindarkan mereka sangka buruk atau memberi contoh baik atau ketika menunaikan zakat wajib serta menolak dengan sungguh-sungguh serta penuh hikmah kejahatan dengan kebaikan baik penolakan itu dengan lisan maupun perbuatan, dan orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan yang baik, yakni “Syurga ‘Adn”.
11.  Orang-orang yang mendengarkan secara tekun dan sungguh-sungguh, dan diberi petunjuk serta memperoleh berita gembira sebagai balasannya, karena orang-orang tersebut telah memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan upaya beribadah dan patuh secara murni kepada Allah Swt.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Syukron untuk artikelnya,,membantu skali :)