--- SELAMAT DATANG DI WEBSITE LEMBAGA STUDI ISLAM MADANI --- PESANTREN MADANI KOTA CIMAHI --- YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM MADANI KOTA CIMAHI JAWA BARAT INDONESIA --- TELP. 085624018800 ATAU 082117533596 ---

Kamis, 20 Oktober 2011

STUDI AL-QUR'AN


KONSEP TAWADHU DALAM ISLAM
Oleh Khambali

 A.  Pengertian Tawadhu
Tawadhu adalah seorang yang mengerti kedudukan dirinya dan menjauhi sifat takabur. Takabur adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia, sebagaimana sabda Nabi saw dalam hadits yang diriwayatkan Muslim bahwa: ”Takabur adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang”. Yakni menolak kebenaran dan merendahkan manusia dalam segala persoalan mereka.
Tawadhu pada asalnya adalah untuk orang besar yang dikhawatirkan merasa besar dalam pandangan matanya sendiri, maka saat itu dikatakan padanya: “Meredahlah, niscaya kau jadi seperti bintang yang nampak di atas permukaan air oleh si pemandang padahal ia tinggi.” Adapun orang biasa, maka tidak dikatakan padanya: “Tawadhulah”, tetapi dikatakan padanya “kenalilah kedudukanmmu, dan jangan letakan ia pada selain tempatnya”.

Dan di antara sikap tawadhu adalah:
1.      Berlaku tawadhu terhadap sahabat-sahabatnya
Sering terjadi, perselisihan yang timbul di antara kawan dan musuh adalah disebabkan karena semangat munafasah (rivalitas) dan tahaasud (saling dengki). Boleh jadi karena seseorang merasa lebih tinggi daripada kawannya. Kadang semangat munafasah atau tahaasud tersebut muncul dalam bentuk rupa: Nasehat, pelurusan dan catatan komentar”. Jika perkara-perkara ini dinamai dengan nama-nama aslinya, niscaya akan dikatakan sebagai “kecemburuan”.
Allah swt telah berfirman:


“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,” (QS. Asy-Su’araa : 214)



“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman”. ,” (QS. Asy-Su’araa : 215)

Setelah memerintahkan Nabi Muhammad saw, menghindari kemusyrikan, yang tujuan utamanya adalah semua yang berpotensi disentuh oleh kemusyrikan, kini ayat di atas berpesan lagi kepada beliau bahwa: Hindarilah segala hal yang dapat mengundang murka Allah, dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat tanpa pilih kasih, dan rendahkanlah dirimu yakni lemah lembut dan rendah hatilah terhadap orang-orang yang bersungguh-sungguh mengikutimu, yaitu orang-orang mukmin baik kerabatmu maupun bukan.
Bagi Ibn ‘Asyur ayat ini tertuju kepada nabi Muhammad saw, Ia adalah uraian khusus setelah ayat sebelumnya merupakan urutan umum menyangkut siapa saja. Demikian tulisannya.
Kata ‘asyarah berarti anggota suku yang terdekat. Ia terambil dari kata ‘asyara yang berarti saling bergaul, karena anggota suku yang terdekat adalah keluarga orang-orang yang sehari-hari saling bergaul.
Kata al-aqrabiin yang menyifati kata ‘asirah, merupakan penekanan sekaligus guna mengambil hati mereka sebagai orang-orang dekat dari mereka yang terdekat.
Kata janaah pada mulanya berarti sayap. Pengalan ayat ini mengilustrasikan sikap dan perilaku seseorang seperti halnya seekor burung yang merendahkan sayapnya pada saat ia hendak mendekat dan bercumbu kepada betinanya, atau melindungi anak-anaknya. Sayap terus dikembangkan dengan merendah dan merangkul, serta tidak beranjak meninggalkan tempat dalam keadaan demikian sampai berlalunya bahaya. Dari sini ungkapan itu dipahami dalam arti kerendahan hati, hubungan harmonis dan perlindungan serta ketabahan dan kesabaran bersama kaum beriman, khususnya pada saat-saat sulit dan krisis.
Kata ittaba’aka / mengikutimu yakni dalam melaksanakan tuntunan agama . Ibn ‘Asyur memahami kata ini dalam arti “beriman”, sedang penyebutan kata al-mu’miniin menurutnya adalah untuk menjelaskan mengapa Nabi saw, diperintahkan untuk berendah diri kepada mereka, seakan-akan ayat ini berkata: “Hadapilah mereka dengan kerendahan hati karena keimanan mereka.” Demikian Ibn ‘Asyur.
Az-Zamakhsyari mempertanyakan mengapa kata muminiin dikemukakan lagi padahal telah ada sebelumnya kata “yang mengikutimu”? Bukankah yang mengikuti beliau adalah mukmin dan yang mukmin pasti mengikuti beliau? Pertanyaan itu dijawabnya sendiri dengan dua kemungkinan jawaban. Pertama, yang dimaksud dengan  orang-orang mukmin adalah yang akan beriman. Ayat ini – menurutnya – menamai mereka demikian, karena mereka sedah hampir beriman. Kemungkinan jawaban kedua, orang-orang mukmin dimaksud adalah yang beriman dengan lidahnya. Mereka ini ada dua kelompok, ada yang membenarkan Rasul saw, dan mengikuti ajaran beliau, dan ada juga yang hanya beriman dan membenarkan saja. Kelompok ini ada juga yang fasik. Terhadap keduanya tidak perlu di hadapi dengan kerendahan hati. Demikian Az-Zamakhsyari.
Al-Biqa’i, sebelum menjelaskan pandangannya, terlebih dahulu menggarisbawahi asal dari kata ittaba’aka yaitu tabi’a  yang kemudian dibubuhi huruf ta’ yang mengandung makna kesungguhan. Menurutnya penambahan itu, untuk mengeluarkan orang-orang yang belum beriman, atau hanya beriman secara lahiriah, atau lemah imannya dan munafik, dan arena itu – tulis al-Biqa’i – lafadz itu dilanjutkan dengan penjelasan yaitu minal mu’miniin  dari orang-orang mukmin yang telah mantap imannya.
Ada kesan lain yang lebih baik, yaitu kesan yang dikemukakan oleh Sayyid Quthub – bukan ketika menafsirkan ayat ini, tetapi ketika menafsirkan QS. Al-A’raaf {7}: 158 yang memerintahkan Nabi Muhammad saw, menyampaikan kepada seluruh manusia bahwa beliau adalah utusan Allah Yang Maha Esa. Ayat ini berlanjut dengan firman-Nya “maka berimanlah kepada Allah dan rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” Ketika menafsirkannya, Sayyid Quthub menggarisbawahi tiga catatan penting. Salah satu di antaranya adalah yang merupakan konsekuensi dari perintah beriman yaitu firman-Nya: “Ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. Dengan demikian – tulis ulama yang syahid itu: “Agama ini bukan sekadar akidah yang bersemai di dalam hati, bukan juga sekadar syiar-syiar agama atau ritual, tetapi agama ini adalah ikutan secara sempurna kepada rasulullah saw, menyangkut apa yang beliau sampaikan dari Tuhannya dan apa yang beliau syariatkan dan sunnahkan. Beliau menyampaikan syariat Allah dengan ucapan dan perbuatan beliau.” Agama Islam tidak lain kecuali apa yang digambarkan oleh penggalan terakhir ini ayat: ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk setelah sebelumnya memerintahkan agar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Seandainya agama ini semata-mata hanya akidah saja, maka tentu cukup sudah bila ayat di atas berhenti pada firman-Nya. Fa aaminu billahi wa rusuulihi / maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Demikian tulis Sayyid Quthub dengan sedikit penyingkatan.
Ketika ayat ini turun, Rasul saw, naik ke puncak bukit Shafa di Mekah, lalu menyeru keluarga dekat beliau dari keluarga besar ‘Ady dan Fihr yang berinduk pada suku Quraisy. Semua keluarga hadir atau mengirim utusan. Abu lahab pun datang, lalu Nabi saw, bersabda: “Bagaimana pendapat kalian, jika aku berkata bahwa di belakang lembah itu ada pasukan berkuda bermaksud menyerang kalian, apakah kalian mempercayai aku?” Mereka berkata : “Ya, kami belum pernah mendapatkan darimu kecuali kebenaran.” Lalu Nabi bersabda: “Aku menyampaikan kepada kamu semua sebuah peringatan, bahwa di hadapan sana (masa datang) ada siksa yang pedih.” Abu Lahab yang mendengar sabda beliau itu, berteriak kepada Nabi saw, berkata: “Celakalah engkau sepanjang hari, apakah untuk maksud itu engkau mengumpulkan kami?” Maka turunlah surah Tabbat yadaa Abii Lahab” (HR. Bukhari-Muslim, Ahmad dan lain-lain melalui Ibn Abbas)
Riwayat lain mengatakan bahwa ketika itu Nabi saw, bersabda: “Wahai suku Quraisy, tebuslah dari kamu. Aku tidak dapat membantu kamu sedikit pun di hadapan Allah; Wahai Shafiah (saudara perempuan ayah Rasulullah) aku tidak dapat membantumu sedikit pun di hadapan Allah; Wahai ‘Abbaas putra Abdul Muthalib, aku tidak dapat membantumu sedikit pun di hadapan Allah; Wahai Fathimah putri Muhammad, mintalah apa yang engkau kehendaki dari hartaku, aku tidak dapat membantumu sedikit pun di hadapan Allah” (HR. Bukhari, Muslim, An-Nasa’I dan lain-lain melalui Abu Hurairah).
Demikian ayat ini mengajarkan kepada Rasul saw, dan umatnya agar tidak mengenal pilih kasih, atau memberi kemudahan kepada keluarga dalam hal pemberian peringatan. Ini berarti nabi saw, dan keluarga beliau tidak kebal hukum, tidak juga terbebaskan dari kewajiban. Mereka tidak memiliki hak berlebih atas dasar kekerabatan kepada Rasul saw, karena semua adalah hamba Allah, tidak ada perbedaan antara keluarga atau orang lain. Bila ada kelebihan yang berhak mereka peroleh, maka itu disebabkan karena keberhasilan mereka mendekat kepada Allah dan menghiasi diri dengan ilmu serta akhlak yang mulia.

2.      Berlaku tawadhu pada orang yang ada di bawah tingkatanmu
Apabila kamu menemui seseorang yang lebih muda umurnya darimu, atau lebih rendah kedudukannya darimu, maka janganlah kamu meremehkanya. Boleh jadi orang tadi lebih sehat hatinya daripadamu, atau lebih sedikit dosanya daripadamu, atau lebih besar taqarubnya kepada Allah daripadamu.
Bahkan sekiranya kamu melihat seorang fasik dari kamu kelihatan lebih shaleh daripadanya, maka janganlah kamu berlaku sombong terhadapnya. Pujilah Allah lantaran Dia telah menyelamatkanmu dari ujian yang Dia berikan padanya, dan hendaknya kamu senantiasa ingat bahwa boleh jadi dalam amal-amal shalehnu terdapat unsur riya dan ujub yang bisa menghapuskannya, atau boleh jadi pada diri pendosa tersebut terdapat rasa penyesalan. Perasaan remuk redam dan ketakutan terhadap dosa-dosanya, yang bisa menjadi  sebab diampunkannya dosa-dosanya.
Dari Jundab ra, bahwa rasulullah saw, bersabda: “Ada seorang lelaki yang berkata: “Demi Allah, Alah tidak akan mengampuni si fulan” Lantas Allah ta’ala berfirman: “Siapa gerangan yang berani bersumpah atas nama-Ku kalau Aku tidak akan mengampuni si fulan? Sesungguhnya Aku ampuni si fulan dan Aku hapuskan amal-amal  (baik)mu.
Jadi kamu jangan bersikap sombong terhadap seseorang, bahkan sekiranya kamu melihat orang fasik, maka kamu jangan merasa lebih tinggi darinya, atau kamu mempergaulinya dengan sikap seorang yang sombong.
Allah swt, telah berfirman:


 “Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Hjr: 88)

Boleh jadi apa yang ditegaskan oleh ayat yang lalu tentang tujuan penciptaan langit dan bumi, menimbulkan pertanyaan: mengapa kaum musyrikin dapat bergelimang dalam kenikmatan hidup, padahal mereka mendurhakai Allah? Mengapa mereka yang telah diancam oleh Allah, masih dibiarkan dan diulur dengan aneka kenikmatan? Nah, ayat ini menjawab pertanyaan yang timbul dalam benak itu. Demikian Thahir Ibn Asyur. Dan itu pula sebabnya – tulisnya lebih jauh – ayat ini tidak menggunakan kata wa / dan  sebelum kata laa tanuddanna  karena jika didahului oleh dan – sebagaimana dalam QS. Thaha [20]: 131 walaa tamuddanna – maka ia sekedar sebagai larangan yang tidak mempunyai hubungan dengan ayat sebelumnya.
Dapat juga dikatakan bahwa karena apa yang telah dianugrahkan oleh Allah kepada Nabi Muhamad saw, begitu juga apa yang dianugrahkan –Nya kepada beliau sedemikian besar, maka sangat wajar jika beliau diingatkan agar janganlah sekali-kali engkau mengarahkan matamu yakni jangan memberi perhatian yang besar serta tergiur kepada apa yang dengannya kami telah senangkan untuk sementara lagi cepat berlalunya untuk golongan-golongan di antara mereka orang-orang kafir itu, karena apa yang mereka peroleh dan cara penggunaannya adalah batil dan bukan “haq”, dan janganlah engkau bersedih hati terhadap mereka karena keengganan mereka beriman, atau akibat jatuhnya siksa atas mereka dan kesudahan buruk yang akan mereka alami. Adapun terhadap sesama kaum beriman, maka jalinlah hubungan harmonis dengan mereka dan rendahkanlah sayapmu yakni bersikap rendah hatilah kepada orang-orang mukmin. Dan katakanlah kepada mereka yang durhaka itu bahkan kepada semua orang bahwa ”Aku tidak akan bersedih dan marah karena orang-orang kafir menolak ajaran yang kusampaikan, karena sesungguhnya aku hanyalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada siapa pun yang durhaka atau tenggelam dalam kenikmatan duniawi dengan melupakan akhiratnya.” Pesan ayat ini harus dipahami sejalan dengan firman-Nya dalam QS. Al-Qashash [28]: 77: “Carilah melalui apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jangan lupakan nasibmu dari (kenikmatan) dunia, serta berbuat baiklah karena Allah telah berbuat kepadamu.”
Kata tamuddanna terambil dari kata madda yang berarti memperpanjang atau menambah. Memang mata tidak dapat diperpanjang tetapi dia dapat diarahkan karena kata ini di sini berarti mengarahkan.
Kata azwaaj adalah bentuk jamak zauj yang berarti pasangan. Pasangan adalah satu yang menggenapakan dua hal berbeda tetapi keberpasangan menjadikannya menyatu dalam fungsi dan tujuan. Yang dimaksud adalah pasangan-pasangan kekufuran, khususnya tokoh-tokohnya. Mereka, walaupun berbeda-beda, tetapi menyatu dalam kedurhakaan kepada Allah swt. Ada juga yang memahami kata tersebut dalam arti pasangan suami istri. Memang kenikmatan akan semakin sempurna jika kehidupan duniawi dinikmati oleh sepasang pria dan wanita, tetapi sekali lagi hanya keikmatan semu bila tdak disertai oleh haq.
 Kata janaah pada mulanya berarti sayap. Pengalan ayat ini mengilustrasikan sikap dan perilaku seseorang seperti halnya seekor burung yang merendahkan sayapnya pada saat ia hendak mendekat dan bercumbu kepada betinanya, atau melindungi anak-anaknya. Sayap terus dikembangkan dengan merendah dan merangkul, serta tidak beranjak meninggalkan tempat dalam keadaan demikian sampai berlalunya bahaya. Dari sini ungkapan itu dipahami dalam arti kerendahan hati, hubungan harmonis dan perlindungan serta ketabahan dan kesabaran bersama kaum beriman, khususnya pada saat-saat sulit dan krisis. Al-Quran yang dianugrahkan itu, serta sikap tidak tergiur oleh kenikmatan duniawi sebagaimana halnya orang durhaka, merupakan bekal yang sangat berharga untuk melaksanakan tuntunan Allah swt, di atas antara lain memberi pemaafan yang baik kepada kaum pendurhaka itu.
Kata ana / aku setelah sebelumnya telah disebut kata innii yang bermakna sesungguhnya aku, mengandung makna pengkhususan yakni aku hanyalah – tidak lebih dari itu – dan karena Rasul saw, juga tidak hanya berfungsi sebagai pemberi peringatan, tetapi juga pemberi kabar gembira, maka pemberi peringatan yang dimaksud tertuju hanya kepada para pendurhaka saja.

3.      Jangan sampai amalmu nampak besar dalam pandangan matamu, apabila kamu berbuat kebaikan, atau kamu melakukan taqarrub kepada Allah dengan satu ketaatan, sebab bisa jadi amal kebaikan tersebut tidak diterima
Dan di antara sikap tawdhu adalah kamu mau mendengar nasehat, karena syetan akan menghasutmu untuk menolaknya dan berprasangka buruk terhadap si pemberi nasehat. Oleh karena makna nasehat adalah saudaramu mengatakan padamu: “Sesungguhnya pada dirimu ada aib begini dan begitu”. Adapun orang yang dilindungi Allah maka bila ada yang menasehatinya dan menunujukan aib-aibnya, maka dia akan menundukkan nafsyunya, menerima nasehatnya, mendo’akannya dan berteriama kasih kepadanya.
Jadi orang sombong adalah orang yang merasa dirinya besar, hampir-hampir tak mau memuji seseorang atau menyebut kebaikannya. Dan jika terpaksa harus menyebut kebaikan orang, maka dia membubuinya dengan menyampaikan sebagian dari aib-aib kekurangannya. Adapun jika dia mendengar orang lain menyebut sebagian dari aibnya, maka mana mungkin, mana mungkin dia mau kembali segera atau bersikap lunak. Sikap yang demikian itu adalah dikarenakan perasaan rendah dirinya. Maka dari itu, termasuk di antara kesempurnaan pribadi manusia adalah dia menerima kritik dan komentar tanpa rasa cemas atau perasaan malu dan rendah diri. Inilah dia Amirul Mu’miniin ‘Umar bin Khatab, mengusung bendera dan meninggikan syi’ar: “Semoga Allah merahmati seseorang yang mau menunjukan aib kekuranganku.”
Allah swt, telah berfirman:



“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu.” (QS. Al-Israa: 37-38)

Al-Biqa’i menekankan tanggung jawab pendengaran, penglihatan dan hati yang disebut oleh ayat yang lalu terutama dalam penggunaannya sebagai alat-alat ilmu pengetahuan, dari sini pakar hubungan antar ayat ini berpendapat bahwa ayat 37 ini menampilkan larangan angkuh, karena keangkuhan merupakan aral yang paling besar dalam memperoleh ilmu yang mengantar kepada kebajikan serta penyakit parah yang melahirkan kebodohan sehingga mengantar pelakunya menuju kejahatan.
Anda juga dapat berkata bahwa setiap larangan yang disebut dalam kelompok ayat-ayat ini saling berhubungan. Ia dihubungkan oleh keadaannya sebagai keburukkan yang dipraktekkan dalam masyarakat jahiliah, sehingga satu demi satu disinggung silih berganti.
Allah swt, berfirman melanjutkan larangan-larangan yang lalu bahwa: Dan janganlah engkau – siapa pun engkau – berjalan di muka bumi ini dengan penuh kegembiraan yakni kegembiraan yang menghasilkan keangkuhan dan menjadikanmu merasa yang terbesar. Itu hanya dapat engkau lakukan jika engkau benar-benar dapat hidup sendiri tanpa bantuan siapa dan apapun, padahal tidak satu makhluk pun dapat menjadi demikian. Sungguh engkau adalah makhluk lemah, karena sesungguhnya meskipun engkau berusaha sekuat tenaga dan menyombongkan diri  sebesar apapun engkau  yakni kakimu sekali-kali tidak dapat menembus bumi walau sekeras apapun hentakannya dan meskipun engkau telah merasa setinggi apapun sekali-kali engkau yakni kepalamu tidak akan sampai setinggi gunung. Nah, jika demikian, mengapa engkau sombong? Semua itu yakni hal-hal terlarang yang disebut sebelum ini adalah keburukan yang kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu yang selama ini selalu berbuat baik kepadamu, sehingga seharusnya engkau mensyukurinya dan mengindahkan tuntunan-Nya.
Thabaathabaa’i memahami ayat 37 di atas dalam arti kiasan, yakni kesombongan yang engkau lakukan untuk menampakkan kekuasaan dan kekuatanmu pada hakikatnya adalah hanya waham dan ilusi, sebab sebenarnya ada yang lebih kuat dari engkau yakni bumi, terbukti kakimu tidak dapat menembus bumi, dan ada juga yang lebih tinggi darimu yakni gunung, buktinya engkau tidak setinggi gunung. Maka akuilah bahwa engkau sebenarnya rendah lagi hina. Tidak ada sesuatu yang dikehendaki dan diperebutkan manusia dalam hidup ini seperti kerajaan, kekuasaan, kemuliaan, harta benda dan lain-lain kecuali hal-hal yang bersifat waham yang tidak mempunyai hakikat di luar batas pengetahuan manusia.. Itu semua diciptakan dan ditundukkan Allah untuk diandalkan manusia guna memakmurkan bumi dan penyempurnaan kalimat (ketetapan) Allah. Tanpa hal yang tidak memiliki hakikat itu, manusia tidak hidup di dunia, dan kalimat Allah yang menyatakan: “Bagi kamu ada tempat kediaman sementara di bumi dan matha (Kesenangan hidup) sampai waktu yang ditentukan” (QS. Al-Baqarah [2] : 36). Demikian lebih kurang Thabaathabaa’i.
Firman-Nya kullu dzaalikai dipahami oleh sementara ulama sebagai mencakup dua puluh lima tuntunan. 1) jangan menjadikan bersama Allah tujuan yang lain. 2) Dan Tuhanmu telah menetapkan supaya jangan menyembah selain Dia. Penggalan ini menyangkut dua tuntunan, pertama mengesakan Allah dan kedua melarang mempersekutukan-Nya. 3) Dan hendaknya (kamu berbakti) kepada ibu-bapak. 4) Janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” 5) Janganlah kamu membentak keduanya 6) ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia. 7) Rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua. 8) Ucapkanlah: “Tuhanku! Kasihilah keduanya. 9) Berikanlah kepada keluarga yang dekat akan haknya. 10) Juga berikan kepada orang miskin. 11) Dan kepada yang dalam perjalanan. 12) jangan menghambur secara boros. 13) Katakanlah ucapan yang mudah. 14) Jangan jadikan tanganmu terbelenggu. 15) Jangan terlalu mengulurkannya. 16) Jangan membunuh anak-anakmu. 17) Jangan mendekati zina. 18) Jangan membunuh jiwa. 19) Jangan melampaui batas dalam membunuh. 20) Janganlah kamu mendekati harta anak yatim. 21) Sempurnakan janji. 22) Sempurnakan timbangan. 23) Timbanglah dengan adil. 24) Jangan mengikuti apa yang tiada bagimu pengetahuan. 25) Jangan berjalan di bumi dengan sombong. Semua yang disebut di atas adalah  tuntunan yang pelanggarannya merupakan keburukan yang dibenci oleh Allah swt.


 
DAFTAR PUSTAKA

-          Al-Hayy, Al-Farmawi. Dr. Abd. 1994. Metode Tafsir Maudhuiy. Jakarta Utara: PT. Raja Grafindo Persada.
-          Shaleh, Q. K.H, dkk. 2000. Asbaabun Nuzuul. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro.
-          Al-Maktabah Asy-Syaamilah- Digital
-          Al-Qur-an Digital

Tidak ada komentar: