--- SELAMAT DATANG DI WEBSITE LEMBAGA STUDI ISLAM MADANI --- PESANTREN MADANI KOTA CIMAHI --- YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM MADANI KOTA CIMAHI JAWA BARAT INDONESIA --- TELP. 085624018800 ATAU 082117533596 ---

Kamis, 20 Oktober 2011

STUDI AL-QUR'AN


TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG MASYARAKAT
Oleh Khambali

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ .
Terjemah:
“(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri[1], dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.(Q.S. Al-Anfal: 53)
[1]. Allah tidak mencabut nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada sesuatu kaum, selama kaum itu tetap taat dan bersyukur kepada Allah.

Arti kosa kata:
مُغَيِّرًا     : merubah                   
نِعْمَةً      : sesuatu nikmat
أَنْعَمَهَا    : telah dianugerahkan-Nya
حَتَّى يُغَيِّرُوا : hingga kaum itu meubah
بِأَنْفُسِهِمْ              : diri mereka sendiri
سَمِيعٌ عَلِيمٌ          : Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

(Penanfsiran) – Mengenai ayat tersebut, menurut al-Biqa’i bahwa yang demikian yakni siksaan baik menyangkut waktu, kadar, maupun jenisnya ditetapkan Allah berdasar perbuatan mereka mengubah diri mereka. Sebenarnya Allah dapat menyiksa mereka berdasar pengetahuan-Nya tentang isi hati mereka, yakni sebelum mereka melahirkannya dalam bentuk perbuatan yang nyata, tetapi Allah tidak melakukan itu karena  sunnah atau ketetapan-Nya adalah sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat sedikit atau besar yang telah dianugrahkan-Nya kepada suatu kaum, tidak juga sebaliknya mengubah kesengsaraan yang dialami oleh suatu kaum menjadi kebahagiaan hingga kaum itu sendiri terlebih dahulu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, yakni untuk memperoleh nikmat tambahan bagi mereka harus menjadi lebih baik, sedangkan perolehan siksaan adalah akibat mengubah fitrah kesucian mereka menjadi keburuklan dan kedurhakaan dan sesungguhnya Alah Maha Medengar apa pun yang  disuarakan makhluk lagi Maha Mengetahui apapun sikap dan tingkah laku mereka.
kata لَمْ يَكُ / lam yaku, tidak akan pada mulanya berbunyi (لَمْ يَكُن) / lam yakun. Penghapusan huruf nun itu untuk mempersingkat sekaligus mengisyaratkan bahwa peringatan dan nasehat yang dikandung ayat ini hendaknya segera disambut dan jangan diulur-ulur, karena mengulur dan memperpanjang hanya mempercepat siksa. Demikian kesan yang diperoleh al-Biqa’i.
Ayat ini serupa dengan firman-Nya: ” Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan  yang ada pada diri mereka sendiri.”. (Al-Ra’d:11). Kedua ayat tesebut - ayat ini dan ayat ar-Ra’d – itu berbicara tentang perubahan, tetapi ayat pertama berbicara tentang perubahan nikmat, sedang ayat ar-ra’d menggunakan kata (مَا) maa / apa sehingga mencakup perubahan apapun, yakni baik dari nikmat / murka ilahi / negatif, maupun dari negatif ke positif.
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut kedua ayat tersebut.
1.      Ayat-ayat tersebut berbicra tentang perubahan sosial yang berlaku bagi masyarakat masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Keduanya berbicara tentang hukum-hukum kemasyarakatan, bukan menyangkut orang perorang atau individu. Ini dipahami dari pengguanaan kata kaum / masyarakat pada kedua ayat tersebut.
2.      Karena ayat tersebut berbicara tentang kaum, maka ini berarti bahwa ketetapan atau sunnatullah yang dibicarakan ini berkaitan dengan kehidupan duniawi, bukan ukhrawi. Hal ini mengantar kita berkata bahwa ada pertanggungjawaban yang bersifat pribadi, dan ini akan terjadi di akhirat kelak, berdasar firman-Nya: ”Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri”.(Q.S. Maryam: 95), dan ada juga tanggung jawab sosial yang bersifat kolektif. Inilah yang ditunjuk oleh firman-Nya: ” Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.(Q. S. Al-Anfal: 25). Rasul Saw. Juga pernah ditanya: “Apakah kita akan binasa, padahal orang-orang shaleh / baik ada di tengah-tengah kita? Beliau menjawab singkat, ”Ya, kalau kebejatan telah merajalela!”.
3.      Kedua ayat di atas juga berbicara tentang dua pelaku perubahan. Yang pertama adalah, Allah yang mengubah nikmat seperti bunyi ayat al-Anfal ini atau apa saja yang dialami oleh satu masyarakat, atau katakanlah sisi luar / lahirah masyarakat, (seperti bunyi ar-ra’d). sedang pelaku kedua adalah manusia dalam hal ini masyarakat yang melakukan perubahan pada sisi dalam mereka atau dalam istilah kedua ayat di atas apa yang terdapat dalam diri mereka.
Perubahan yang terjadi akibat campur tangan Allah atau yang diistilahkan oleh ayat di atas dengan apa menyangkut banyak hal seperti kekayaan, kemiskinan, kesehatan, penyakit, kemuliaan, kehinaan, persatuan, perpecahan, dan lain-lain yang berkaitan dengan masyarakat secara umum, bukan yang secara individu. Jika demikian, bisa saja ada di antara anggota masyarakat yang kaya, tetapi jika mayoritas miskin, maka masyarakat tersebut dinamai masyarakat miskin, demikian seterusnya.
Kedua ayat itu juga menekankan bahwa perubahan yang dilakukan oleh masyarakat. Tanpa perubahan yang dilakukan masyarakat dalam diri mereka terlebih dahulu, maka mustahil akan terjadi perbahan sosial. Memang boleh saja terjadi perubahan penguasa, atau bahkan sistem, tetapi jika sisi dalam masyarakat tidak berubah, maka keadaan akan tetap bertahan sebagaimana sediakala. Jika demikian, yang paling pokok dalam keberhasilan perubahan sosial adalah perubahan sisi dalam manusia, karena sisi dalam manusia itulah yang melahirkan aktivitas, baik positif maupun negatif.
Al-Qur-an menjelaskan bahwa manusia memiliki sisi dalam yang dinamainya (َنْفُسِ) nafs/diri, bentuk jamaknya (أَنْفُسِ) anfus dan juga manusia mempunyai sisi luar yang dinamainya antara lain jism / badan yang dijamak ajsaam.  Sisi dalam, tdak selau sama dengan sisi luar. Al-Qur-an melukiskan orang-orang munafik dengan firman-nya: ” ”Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka”. (QS. Al-Munaafiqun: 4).
Adapun nafs atau sisi dalam  manusia, maka ia mengandung dua hal pokok. Kalau kita ibaratkan nafs dengan satu wadah, maka nafs adalah wadah besar yang di dalamnya ada kotak / wadah yang berisi segala sesuatu yang disadari  oleh manusia. Al-Quran menamai kotak itu qalb/kalbu. Apa yang telah dilupakan manusia dan yang sesekali muncul dan yang dinamai oleh ilmuan bahwa sadar juga berada di dalam wadah nafs, tetapi di luar kota kalbu. Al-quran mengisyaratkan hakikat di atas dengan firman-nya: ” Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi”. (QS. Thaha: 7).
Mengeraskan ucapan, salah satu aspek dari sisi luar manusia. Rahasia  adalah sisi dalam manusia yang disadarinya. Adapun yang lebih tersembunyi adalah hal-hal yang telah dilupakan dan atau tidak diketahui lagi dan berada dalam bawah sadar manusia. orang lain dapat mengetahui yang pertama saja, sedang yang bersangkutan dapat mengetahui dan menyadari yang pertama dan yang kedua, tidak yang ketiga. Anya Allah yang mengetahui ketiganya. Dari sini dapat dipahami mengapa yang dituntut untuk dipertanggungjawabkan adalah isi kalbu bukan isi nafs. Firman-Nya: ” (QS. Al-Baqaah: 225). Namun demikian dinyatakan-Nya bahwa: “Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu” (QS. Al-Isra: 25).
Jika demikian tidak keliru jika dikatakan bahwa apa yang terdapat dalam masyarakat adalah cerminan dari sisi dalam masyarakat itu sendiri, sehingga jika mereka tidak senang terhadap sesuatu, maka mereka memiliki potensi untuk mengubahnya, dan perubahan yang terjadi itu akan lahir sesuai dengan sisi dalam mereka, bukan sisi dalam seorang atau sekelompok kecil dari mereka.

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Terjemah:
”Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan
di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[2]. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[3] yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (Q.S. Al-Ra’d:11)
[2]. Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa malaikat yang mencatat amalan-amalannya. Dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut malaikat Hafazhah.
[3]. Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.

Arti kosa kata:
مُعَقِّبَاتٌ   : mengikuti bergiliran
خَلْفِهِ       : di belakangnya
يَحْفَظُونَ  : menjaga      
أَمْرِ اللَّهِ   :  perintah Allah
لَا يُغَيِّرُ    : tidak merobah
أَرَادَ       : menghendaki
سُوءًا     : keburukan                
مَرَدَّ       : menolak


(Asbab Nuzul Ayat) - Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Arbad bin Qais dan ’Amir bin Ath-Thufail menghadap Rasulullah Saw, di Madinah. Amir berkata: ”Hai muhammad! Jabatan apa yang engkau berikan kepadaku apabila aku masuk Islam?” Rasul menjawab: ”Hakmu sama dengan hak kaum Muslimin, dan kewajibanmu serupa dengan kewajiban mereka.” Ia berkata lagi: ”Apakah engkau akan menjadikanku pimpinan setelahmu?” Nabi menjawab: ”Itu bukan urusanmu dan juga bukan urusan kaummu”.
Kemudian mereka berdua keluar. Berkatalah ’Amir kepada Arbad: ”Aku akan mengajak bicara Muhammad sehingga ia tidak memperhatiakan kamu, dan di sat itulah kamu enggal lehernya.’ Kemudian mereka kembali lagi kepada Rasulullah. ’Amir berkata: ” Hai Muhamad mari kita bicarakan sesuatu. ” Maka berdirilah Rasulullah saw. Bersamanya dan bercakap-cakap dengannya. Pada waktu itu Arbad telah siap-siap menyerang hulu pedang untuk menabutnya, akan tetapi tangannya tidak berdaya. Rasulullah berpaling dan melihat perbuatannya Kemudian Rasulullah meninggalkan kedua orang itu, dan mereka pun pulang. Ketika sampai ke kampung ar-Raqm, Allah mengirimkan petir untuk menyambar Arbad sampai mati. Allah meurunkan Ayat ini termasuk ayat 11 suarat ar-ra’d sebagai penegasan bahwa Alah Maha segala sesuatu, termasuk yang masih dalam kandungan, dan Maha kuasa mengatur hidup dan mati makhluk-Nya. (Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan lain-lain yang bersumber dari Ibnu Abbas.
(Penafsiran) Kata مُعَقِّبَاتٌ / al-Mu’aqibaatu adalah bentuk jamak dari kata al-mu’aqibah. Kata tersebut terambil dari kata ‘aqaba yaitu tumit, dari sini kata tersebut dipahami dalam arti mengikuti seakan-akan yang mengikuti itu meletakkan tumitnya di tempat tumit yang diikutinya. Patron kata yang digunakan di sini mengandung makna penekanan. Yang dimaksud adalah malaikat-malaikat yang ditugaskan Allah mengikuti setiap orang secara sungguh-sungguh.
Kata يَحْفَظُونَهُ / memeliharanya dapat dipahami dalam arti mengawasi manusia dalam setiap gerak langkahnya, baik ketika dia tidak bersembunyi maupun saat persembunyiannya. Dapat juga dalam arti memeliharanya dari gangguan apa pun yang dapat menghalangi tujuan penciptannya.
Kata  مِنْ أَمْرِ اللَّهِ / min amrillah dipahami oleh banyak ulama dalam arti atas perintah Allah. Thabathaba’i memahaminya dalam arti lebih luas. Ulama ini terlebih dahulu menggarisbawahi bahwa manusia bukan sekedar jasmani, tetapi dia adalah makhluk ruhani dan jasmani dan yang terpokok dalam segala persoslannya adalah sisi dalamnya yang memuat perasaan dan kehendaknya. Inilah yang terarah kepadanya perintah dan larangan, dan atas dasarnya sanksi dan ganjaran dijatuhkan, demikian juga akan keamanan dan kepedulian serta kebahagiaan dan kesengsaraan.
Atas dasar itu, Thabathaba’i memahami kata min baini yadaihi wamin khalfih / dihadapannya dan juga di belakangnya pada ayat ini dalam arti seluruh totalitas manusia, yakni seluruh arah yang mengelilingi jasmaninya sepanjang hayatnya, dan tercakup juga semua fase kehidupan kejiwaan yang dialaminya. Selanjutnya Thabathaba’i mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk lemah. Allah Swt menyifatinya dengan makhluk yang tidak memiliki kemampuan untuk menampik mudharat, tidak uga mendatangkan manfaat, tidak kematian tidak juga kehidupan atau kebangkitan.
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut ayat di atas. Pertama, ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu. Kedua, penggunaan kata “qaum” juga menunjukkan bahwa hukum kemasyarakatan ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin atau satu suku, ras dan agama tertentu, tetapi ia berlaku umum, kapan dan dimana pun berada. Ketiga,  ayat di atas berbicara tentang dua pelaku perubahan, pelaku pertama adalah Allah Swt yang megubah nikmat yang dianugrahkanNya kepada suatu masyarakat atau apa saja yang dialami oleh suatu masyarakat. Sedang pelaku kedua adalah manusia, dalam hal ini masyarakat yang melakukan perubahan tersebut. Keempat, Ayat di atas menkankan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Allah, haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut sisi dalam mereka.tanpa perubahan ini, mustahil trjadi perubahan social. Perlu ditegaskan bahwa dalam pandangan Al-quran yang paling pokok guna keberhasilan perubahan soisial adalah perubahan sisi dalam manusia, karena sisi dalam manusialah yang melahirkan krativitas, baik positif maupun negatif, dan bentuk, sifat serta corak aktivitas itulah yang mewarnai keadaan masyarakat, apakah positif atau negatif.
Al-Qur-an menjelaskan bahwa manusia memiliki sisi dalam yang dinamainya (َنْفُسِ) nafs/diri, bentuk jamaknya (أَنْفُسِ) anfus dan juga manusia mempunyai sisi luar yang dinamainya antara lain jism / badan yang dijamak ajsaam.  Sisi dalam, tdak selau sama dengan sisi luar. Al-Qur-an melukiskan orang-orang munafik dengan firman-nya: ” ”Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka”. (QS. Al-Munaafiqun: 4).
Adapun nafs atau sisi dalam  manusia, maka ia mengandung dua hal pokok. Kalau kita ibaratkan nafs dengan satu wadah, maka nafs adalah wadah besar yang di dalamnya ada kotak / wadah yang berisi segala sesuatu yang disadari  oleh manusia. Al-Quran menamai kotak itu iqalb/kalbu. Apa yang telah dilupakan manusia dan yang sesekali muncul dan yang dinamai oelh ilmuan bahwa sadar juga berada di dalam wadah nafs, tetapi di luar kota kalbu. Al-quran mengisyaratkan hakikat di atas dengan firman-nya: ” Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi”. (QS. Thaha: 7).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Terjemah:
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[4] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[5] dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Q.S. 49 Al-hujurat: 11)

[4]. Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
[5]. Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: hai fasik, hai kafir dan sebagainya.

Arti kosa kata:

لَا يَسْخَرْ              : janganlah merendahkan
خَيْرًا                  : lebih baik
نِسَاءٌ                  : perempuan               
لَا تَلْمِزُوا                         : jangan memanggil
الْأَلْقَابِ : gelaran yang mengandung ejekan
لَمْ يَتُبْ    : tidak bertobat


(Asbab Nuzul Ayat) Sekian banyak riwayat yang dikemukakan para mufasir menyangkut sabab nuzul ayat ini. Misalnya ejekan yang dilakukan oleh kelompok Bani Tamim terhadap Bilal, Shuhaib dan ’Ammar yang merupakan orang-orang tidak punya. Ada lagi yang menyatakan bahwa ia turun berkenaan dengan ejekan yang dilontarkan oleh Tsabit Ibn Qais, seorang Sahabat Nabi Saw. Yang tuli. Tsabit melangkahi sekian orang untuk dapat duduk di dekat Rasul agar dapat mendengar wejangan beliau. Salah seorang menegurnya, tetapi Tsabit marah sambil memakinya dengan menyatakan bahwa dia yakni si penegur adalah si Anu – (seorang wanita yang pada masa jahiliah dikenal memiliki aib). Orang yang diejek ini merasa dipermalukan, maka turunlah ayat ini. Ada lagi yang menyataan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ejekan yang dilontarkan oleh sementara istri Nabi Muhammad saw. Terhadap Ummu Salamah yang merupakan ”madu” mereka. Ummu Salamah mereka ejek sebagai wanita pendek.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seseorang laki-laki mempunyai dua atau tiga nama. Orang itu sering dipanggil dengan nama tertentu yang tidak ia senangi. Ayat ini (Q.S. 49 Al-Hujurat:11) turun sebagai larangan menggelari orang dengan nama-nama yang tidak menyenangkan. (diriwayatkan di dalam kitab sunanyang empat, yang bersumber dari Abu jubair adl-Dlahhak, menurut at-tirmidzi, Hadits ini hasan).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa nama-nama gelar di zaman jahiliyah sangat banyak, Ketika nabi Saw, memanggil seseorang dengan gelarnya , ada orang yang memberitahukan kepada beliu bahwa gelar itu tidak disukainya. Maka turunlah ayat ini (Q.S. 49 Al-hujurat: 11) yang melarang memanggil orang dengan gelar yang tidak disukainya. (diriwayatkan oleh al-hakim dan lain-lain, yang bersumber dari Abu jubair bin adl-Dlahhak).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Bani Salamah. Nabi saw tiba di Madinah pada saat orang-orang biasanya mempunyai dua atau tiga nama. Pada suatu saat rasululah Saw memangil seseorang dengan salah satu namanya, tetapi ada rang yang berkata: ”Ya rasulullah! Sesungguhnya ia marah dengan pnggilan itu.” Ayat, . wa laa tanaabazuu bil alqaab ... (...dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk ..) (Q.S. 49 Al-hujurat: 11) turun sebagai larangan memanggil orang dengan sebutan yang tidak disukainya. (Diriwayatkan oleh Ahmad yang bersumber dari Abu Jubar bin adl-Dlahhak). Alhasil sekian banyak riwayat, yang kesemuanya dapat dinamai sabab nuzul, walau maksud dari istilah ini dalam konteks riwayat-riwayat di atas adalah kasus-kasus yang dapat ditampung oleh kandungan ayat ini.

(Penafsiran) – Ayat tersebut memberi petunjuk tentang beberapa hal yang harus dihindari untuk mencegah timbulnya pertikaian. Allah berfirman memanggil kaum beriman dengan panggilan mesra: Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum  yakni kelompok pria mengolok-olok kaum  kelompok pria yang lain, karena hal tersebut dapat menimbulkan pertikaian – walau yang diolok-olok kaum yang lemah – apalagi boleh jadi mereka  yang diolok-olok itu  lebih baik dari mereka yang mengolok-olok sehingga dengan demikian yang berolok-olok melakukan kesalahan berganda. Pertama mengolok-olok dan kedua yang diolok-olok lebih baik dari mereka; dan jangan pula wanita-wanita yakni mengolok-olok terhadap wanita-wanita lain karena ini menimbulkan keretakkan hubungan antar mereka, apalagi boleh jadi mereka yakni wanta-wanita yang diperolok-olok itu lebih baik dari yang mengolok-olok dan janganlah kamu mengejek siapa pun – secara sembunyi-sembunyi – dengan ucapan, perbuatan atau isyarat karena ejekaan itu akan menimpa diri kamu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang dinilai buruk oleh yang kamu panggil – walau kamu menilainya benar dan indah – baik kamu yang menciptakan gelarnya maupun orang lain. seburuk-buruk panggilan ialah panglan kefasikan yakni panggilan buruk sesudah Iman. Siapa yang bertaubat sesudah melakukan hal-hal buruk itu, maka mereka adalah orang-orang yang menelusuri jalan lurus dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim dan mantap kezalimannya dengan menzalimi orang lain serata dirinya sendiri.
Kata يَسْخَرْ  yaskhar / memperolok-olokkan yaitu menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan atau tingkah laku.
Kata قَوْمٌ / qaum biasa digunakan untuk menunjuk sekelompok manusia. Bahasa mengguanakannya pertama kali untuk kelompok laki-laki saja, karena ayat di atas menyebut pula secara khusus wanita. Memang wanita dapat saja masuk dalam pengerttian qaum – bila ditinjau dari pengguanaan sekian banyak kata yang menunjuk kepada laki-laki misalnya kata al-mu’minun dapat saja tercakup di dalamnya al-mu’minat / wanita-wanita mukminat. Namun ayat di atas mempertegas penyebutan kata nisaa/perempuan karena ejekan dan merumpi lebih banyak terjadi di kalangan perempuan dibandingkan kalangan laki-laki.
Kata تَلْمِزُوا / talmizu terambil dari kata al-lamz. Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata ini. Ibn ‘Asyur misalnya memahaminya dalam arti, ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Ini adalah salah satu bentuk kekurangajaran dan penganiayaan.
Firman-Nya : عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ / boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, mengisyaratkan tentang adanya tolak ukur kemiliaan yang menjadi dasar penilaian Allah yang boleh jadi berbeda dengan tolak ukur manusia secara umum. Memang banyak nilai-nilai yang dianggap baik oleh sementara orang terhadap diri mereka atau orang lain, justru sangat keliru. Kekeliruan itu mengantar mereka menghina dan melecehkan pihak lain. Padahal jika mereka menggunakan dasar penilaian yang ditetapkan oleh Allah, tentulah mereka tidak akan menghina atau mengejek.
Kata تَنَابَزُوا  /tanabazu, Terambil dari kata an-nabz yakni gelar buruk. At-tanabuz adalah saling memberi gelar buruk. Larangan ini menggunakan bentuk kata yang mengandung makna timabal balik, berbeda dengan larangan al-lamz pada penggalan sebelumnya. Ini bukan saja karena at-tanabuz lebih banyak terjadi dari al-lamz, tetapi juga karena gelar buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan dengan memanggil yang bersangkutan. Hal ini mengandung siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu, membalas dengan memaggil yang memanggilnya pula dengan gelar buruk, sehingga terjadi tanabuz.
Perlu dicatat bahwa terdapat sekian gelar yang secara lahiriah dapat dinilai gelar buruk, tetapi karena ia sedemikian popular dan penyandangannya pun tidak lagi keberatan dengan gelar itu, maka di sini, menyembut gelar tersebut dapat ditoleransi oleh agama. Misalnya Abu hurairah yang nama aslinya adalah Abdurrahman ibn shakhr, atau abu turab untuk sayidina ali bin abi thalib. Bahkan Al-A’raj (si pincang) untuk perawi hadits kenamaan Abdurrahman Ibn Hurmuz, dan al-A’masy (si rabun) bagi Sulaiman Ibn Mahran dan lain-lain.
Kata الِاسْمُ  / al-ism yang dimaksud oleh ayat ini bukan dalam arti nama, tetapi sebutan. Dengan demikian ayat di atas bagaikan menyatakan: “Seburuk-buruk sebutan adalah menyebut seseorang dangan sebutan yang mengandung makana kefasikan setelah ia disifati dengan sifat keimanan.” Ini karena keimanan bertentangan dengan kefasikan. Ada juga yang memahami kata al-ism dalam arti tanda, dan jika demikian ayat ini berarti: “seburuk-buruk tanda pengenalan yang disandangkan kepada seseorang setelah ia beriman adalah memperkenalkanya dengan perbuatan dosa yang pernah dilakukannya.” Misalnya dengan memperkenalkan seseorang dengan sebutan si pembobol bank atau pencuri dan lain-lain.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Terjemah:
”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (Q.S. 49 Al-hujurat: 12).

Arti kosa kata:

اجْتَنِبُوا   : jauhilah        
الظَّنِّ      : kecurigaan
إِثْمٌ         : dosa                         
تَجَسَّسُوا             : mencari-cari keburukan
وَلَا يَغْتَبْ : janganlah menggunjingkan  
لَحْمَ                    : daging
مَيْتًا                   : mati              
تَوَّابٌ رَحِيمٌ           : Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang


(Asbab Nuzul Ayat) - Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini (Q.S. 49 Al-hujurat: 12) turun berkenaan dengan Salman Al-Farisi yang bila selesai makan, suka terus tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada orang yang menggunjingkan perbuatannya. Maka turunlah ayat ini (Q.S. 49 Al-hujurat: 12) yang melarang seseorang mengumpat dan menceritakan keaiban orang lain. (Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir yang bersumber dari ibnu Juraij).
(Penafsiran) - Ayat di atas masih merupakan lanjutan tuntutan ayat yang lalu. Hanya di sini hal-hal buruk yang sifatnya tersembunyi, karena itu panggilan mesra kepada orang-orang beriman diulangi untuk kelima kalinya. Di sisi  lain memanggil dengan panggilan buruk – yang telah dilarang oleh ayat yang lalu – boleh jadi panggilan / gelar itu dilakukan atas dasar dugaan yang tidak berdasar, karena itu ayat di atas menyatakan: hai orang-orang yang beriman, jauhilah dengan upaya sungguh-sungguh banyak dari dugaan yakni prasangka buruk terhadap manusia yang tidak memiliki indikator memadai, seseungguhnya sebagian dugaan yakni yang tidak memiliki indikator itu adalah dosa.
 Selanjutnya karena tidak jarang prasangka buruk mengandung upaya mencari tahu, maka ayat di atas melanjutkan bahwa: Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain yang justru ditutupi oleh pelakunya serta jangan juga melangah labih luas yakni sebagian kamu menggunjing di atntara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah jika itu disodorkan kepada kamu, kamu telah merasa jijik kepadanya dan akan menghindari memakan ia sama dengan memakan daging saudara yang telah meninggal dunia dan bertawakalah kepada Allah yakni hindari siksa-Nya di dunia dan di akhirat dengan melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya sertaberaubatlah atas aneka kesalahan, sesungguhnya Alah Maha Penerima taubat lagi maha Penyayang.
Kata اجْتَنِبُوا / Ijtanibu terambil dari kata Janb yang berarti samping.  Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan dari jangkauan tangan. Dari sini kata tersebut diartikan janbi.  Penambahan huruf  ta’ pada kata tersebut berfungsi penekanan yang menjadikan kata ijtanibuu berarti bersungguh-sungguhlah. Upaya sungguh-sungguh untuk menghindari prasangka buruk.
Kata  كَثِيرًا / katsiiron / banyak bukan berarti kebanyakan, sebagaimana dipahai atau diterjemahkan sementara penerjemah. Tiga dari sepuluh adalah banyak, dari sepuluh adalah kebanyakan. Jika demikian, bisa saja banyak dari dugaan adalah dosa dan banyak yang bukan dosa. Yang bukan dosa adalah yang indikatornya demikian jelas, sedang yang dosa adalah dugaan yang tidak memiliki indikator yang cukup dan yang mengantar seseorang melangkah menuju sesuatu yang diharamkan, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Termasuk juga dugaan yang bukan dosa adalah rincian hukum-hukum keagamaan. Pada umumnya atau dengan kata lain kebanyakan dari hukum-hukum tersebut berdasarkan kepada argumentasi yang interpretasinya bersifat zbanniy / dugaan, dan tentu saja apa yang berdasar dugaan hasilnya pun adalah dugaan.
Ayat di atas menegaskan bahwa sebagian dugaan adalah dosa yakni dugaan yang tidak berdasar. Biasanya dugaan yang tidak berdasar dan mengakibatkan dosa adalah dugaan buruk terhadap pihak lain. Ini berarti ayat di atas melarang melakukan dugaan buruk yang tanpa dasar, karena ia dapat menjerumuskan seseorang ke dalam dosa.
Dengan menghindari dugaan dan prasangka buruk, anggota masyarakat akan hidup tenang dan tentram serta produktif, karena mereka tidak akan ragu terhadap pihak lain dan tidak juga akan tersalurkan energiya kepada hal-hal yang sia-sia. Tuntunan ini juga membentengi setiap anggota masyarakat dari tuntutan terhadap hal-hal yang baru bersifat prasangka.
Dengan demikaian ayat ini mengukuhkan prinsip bahwa: Tersangka belum dinyatakan bersalah sebelum terbukti kesalahannya, bahkan seseorang tidak dapat dituntut sebelum terbukti kebenaran dugaan yang diharapkan kepadanya. Memang bisikan-bisikan yang terlintas di dalam benak tentang sesuatu dapat ditoleransi, asal bisikan tersebut tidak menjadi dugaan dan sangka buruk. Dalam konteks ini Rasul Saw berpesan:”Jika kamu menduga (yakni terlintas dalam benakmu sesuatu yang buruk terhadap orang lain) maka jangan lanjutkan dugaanmu dengan melangkah lebih jauh. (HR. Ath-Thabarani).
Kata تَجَسَّسُوا / tajassasu terambil dari kata jassa. Yakni upaya mencari tahu dengan cara tersembunyi. Dari sini mata-mata dinamai jaasuus. Imam Ghazali memahami larangan ini dalam arti, jangan tidak membiarkan orang berbeda dalam kerahasiaannya. Yakni setiap orang berhak menyembunyikan apa yang enggan diketahui orang lain. Jika demikian jangan berusaha menyingkap apa yang dirahasiakannya itu. Mencari-cara kesalahan orang lain biasanya lahir dari bagian dugaan negatif terhadapnya, karena itu ia disebutkan setelah larangan menduga.
Adapun tajasus yang berkaitan dengan urusan pribadi seseorang dan hanya didorong untuk mengetahui keadaannya, maka ini sangat terlarang. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ada seorang yang bermaksud mengadukan tetangganya kepada polisi karena sering meminum minuman keras. Namun ia dilarang oleh Uqbah – salah seorang sahabat Nabi Saw, yang menyampaikan bahwa Rasul Saw, bersabda: “Siapa yang menutup aib saudaranya, maka ia bagaikan menghidupkan seorang anak yang dikubur hidup-hidup”. (HR. Abu Daud dan an-Nasa’I melalui al-laits Ibn sa’id).
Di sisi lain, Muawiyah putra Abu Sufyan meyampaikan bahwa ia mendengar Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya jika engkau mencari-cari kesalahan atau kekurangan orang lain, maka engkau telah merusak atau hamper saja merusak mereka”. (HR. Abu Daud).
Kata يَغْتَبْ / yaghtab terambil dari kata ghibah yang berasal dari kata ghaib yakni tidak hadir. Ghibah adalah menyebut orang lain yang tidak hadir di hadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh yang bersangkutan. Jika keburukan yang disebut itu tidak disandang oleh yang bersangkutan, maka ia dinamai buhtan/ kebohongan besar.
Memang, pakar-pakar hukum membenarkan ghhibah untuk sekian banyak alasan. Pertama, meminta fatwa yakni seorang yang bertanya tentang hukum dengan menyebut kasus tertentu dengan memberi contoh. Kedua, menyebut keburukan seseorang yang memang tidak segan menampakkan keburukannya di hadapan umum. Ketiga, Menyampaikan keburukan seseorang kepada yang berwenang dengan tujuan mencegah terjadinya kemungkaran. Keempat, menyampaikan keburukan seseorang kepada siapa yang sangat membutuhkan informasi tentang yang bersangkutan. Kelima, memperkenalkan seseorang yang tidak dapat dikenal keculai dengan menyebut aib atau kekurangannya.
FirmanNya : فَكَرِهْتُمُوهُ / maka kamu telah jiik kepadanya  menggunakan kata kerja masa lampau untuk menunjukan bahwa perasaan jijik itu adalah sesuatu yang pasti dirasakan oleh setiap orang.
Dari redaksi di atas terdapat kandungan tentang buruknya menggunjing. Pertama,  pada gaya pertanyaan yang bukan bertujuan meminta informasi, tetapi mengudang yang ditanya membenarkan. Kedua, ayat ini melukiskan sesuatu yang pada hakikatnya tidak di senangi menjadi disenangi. Ketiga, mempertanyakan kesenangan tersebut kepada setiap orang. Keempat, daging yang dimakan bukan hanya manusia saja melainkan saudaranya sendiri. Kelima, saudara itu dalam keadaan mati yakni tidak dapat membela sendiri.
Kata تَوَّابٌ /at-tawab sering kali diartikan penerima taubat. Tetapi makna ini belum mencerminkan secara penuh kandunga kata tawab, walaupun tidak dapat menilainya keliru.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Terjemah:
 “ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. 49 Al-hujurat: 13).

Arti kosa kata:

خَلَقْنَا      : Kami menciptakan   
ذَكَرٍ       : seorang laki-laki
أُنْثَى       : seorang perempuan 
شُعُوبًا    : berbangsa – bangsa
قَبَائِلَ      : bersuku-suku
تَعَارَفُ    : mengenal
أَكْرَمَ      : paling mulia 
عَلِيمٌ خَبِيرٌ : Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal



(Asbab Nuzul Ayat) - Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini (Q.S. 49 Al-hujurat: 13) turun berkenaan dengan Abu Hind yang akan dikainkan oleh Rasululah kepada seorang wanita bani Bayadlah. Bani Bayadlah berkata: “Wahai rasulullah, pantaskah kalau kami mengawinkan putri-putri kami kepada bekas budak-budak kami? Ayat ini (Q.S. 49 Al-hujurat: 13) turun sebagai penjelasan bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan antara bekas budak dan orang merdeka. (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir di dalam Kitab Mubhamaat-nya yang ditulis tangan oleh ibnu Busykuway, yang bersumber dari Abu Bakr bin Abi dawud di dalam Tafsirnya).
Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika fathu makkah (penaklukkan kota makkah), Bilal naik ke atas ka’bah untuk mengumandangkan adzan. Beberapa orang berkata: ”Apakah pantas budak hitam ini adzan di atas ka’bah?” Maka berkatalah yang lainnya: “Sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Dia akan menggantinya.” Ayat ini (Q.S. 49 Al-hujurat: 13) turun sebagai penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, yang paling mulia adalah yang paling bertakwa. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi hatim yang bersumber dari Ibnu Abi Mulaikah).
Apapun sabab nuzul-nya, yang jelas ayat di atas menegaskan kesatuan asal usul manusia dengan menunjukan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari yang lain, bukan saja antar suku bangsa, suku, atau warna kulit dengan selainnya, tetapi antara jenis kelamin mereka. Karena kalaulah seandainya ada yang berkata bahwa Hawwa yang perempuan itu bersumber dari tulang rusuk Adam, sedang Adam adalah laki-laki, dan sumber sesuatu lebih tinggi derajatnya dari cabangnya, sekali lagi seandainya ada yang berkata demikian maka itu hanya khusus terhadap Adam dan Hawwa, tidak terhadap semua manusia karena manisia selain mereka berdua – kecuali ’Isa as – lahir akibat percampuran laki-laki dan perempuan.
 (Penafsiran)  - Setelah memberi petunjuk tata krama pergaulan dengan sesama muslim, ayat di atas menjelaskan tetang prinsip dasar hubungan antar manusia karena itu ayat diatas tidak menggunakan panggilan orang-orang beriman, tetapi kepada jenis manusia. Allah berfirman: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yakni Adam dan Hawwa, atau dari sperma (benih laki-laki) dan ovum (indug telur perempuan) serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa juga bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal yang mengantar kamu untuk bantu-membatu serta saling melengkapi, sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal sehingga tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya, walau detak detk jantung dan niat seseorang.
Penggalan pertama ayat di atas sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah pengantar untuk menegaskan bahwa semua manusia derajat kemanusiaannya sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara lelaki dan perempuan karena semua diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Pengantar tersebut mengantar pada kesimpulan yang disebut oleh penggalan terakhir ayat ini yakni ”sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah yang paling bertaqwa.” karena itu berusahalah untuk meningkatkan ketaqwaan agar menjadi yang termulia di sisi Allah.
Dalam konteks ini sewaktu haji wada’ (perpisahan), Nabi Saw berpesan antara lain: ”wahai seluruh manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayah kamu satu, tiada kelebihan orang arab atas non arab, tibak juga non arab atas orang arab, atau orang (berkulit) hitam atas yang (berkulit) merah (yakni putih) tidak juga sebaliknya kecuali dengan taqwa, sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.” (HR. Al-Baihaqi melalui Jabir Ibn Abdillah).
Kata شُعُوبًا /syu’ub  adalah bentuk jamak dari kata sya’b. kata ini diguakan untuk menunjuk kumpulan dari sekian qabilah  yang biasa diterjemahkan suku yang merujuk kepada satu kakek. Qabilah suku pun terdiri dari sekian banyak kelompok keluarga yang dinamai imarah, dan yang sekian banyak kelompok yang dinamai bathin. Di bawah bathin ada sekian fakhdz hingga akhirnya sampai pada himpunan keluarga terkecil.
Kata ِتَعَارَفُوا/ ta’aarafu terambil dari kata ’arafa yang berarti mengenal. Patron kata yang digunakan ayat ini mengandung makna timbal balik, dengan demikian ia berarti saling mengenal.
Kata أَكْرَمَكُمْ /akramakum terambil dari kata karuma yang pada dasarnya berarti yang baik dan istimewa sesuai objeknya. Manusia yang baik dan istimewa adalah yang memiliki akhlak yang baikterhadap Allah, dan terhadap sesame makhluk.

 
DAFTAR PUSTAKA
-         Shaleh, Q. K.H, dkk. 2000. Asbaabun Nuzuul. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro.
-         Al-Maktabah Asy-Syaamilah- Digital
-         Shihab, Quraish., Dr. 2004. Tafsir Al-Misbah. Jakarta.

Tidak ada komentar: