--- SELAMAT DATANG DI WEBSITE LEMBAGA STUDI ISLAM MADANI --- PESANTREN MADANI KOTA CIMAHI --- YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM MADANI KOTA CIMAHI JAWA BARAT INDONESIA --- TELP. 085624018800 ATAU 082117533596 ---

Kamis, 20 Oktober 2011

STUDI AL-QUR'AN


GHADD AL-BASHAR  (غض البصر)
Oleh Khambali

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30)
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (Q.S. An-Nuur: 30)
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. An-Nuur: 31)

)يغضوا من ابصارهم     (
Menurut bahasa, al-Ghadd berarti mengurangi, menurunkan atau merendahkan dan meletakkan. (kamus al-Muhith, materi “ghadd”).
Menurut al-Ustadz Abu al-A’la al-Maududy, arti ungkapan “Ghadd al-Bashar” seperti yang terdapat di dalam ayat di atas adalah agar tidak memandang sesuatu dengan leluasa sepenuh pandangan, dan menahan pandangan kepada sesuatu yang tidak halal dengan cara menundukkan pandangan ke bawah atau memalingkannya ke arah lain.
Kata-kata (من) di dalam kalimat (من ابصارهم) adalah li al-Tabidh (للتبعيض), artinya Allah tidak menyuruh memalingkan atau menahan seluruh pandangan, melainkan hanya menyuruh memalingkan sebagiannya saja. Dengan kata lain, Allah tidak menginginkan agar kamu selalu memalingkan seluruh pandanganmu kepada sesuatu, tetapi Ia hanya menginginkan agar kamu menahan pandangan terhadap bagian atau daerah tertentu. (Tafsir Surat al-Nur, hlm. 147, 148).
Di dalam hal perintah Allah agar laki-laki beriman menahan pandangan mereka, hal pertama yang menjadi perhatian adalah keberadaan huruf jar “من” yang menunjukkan arti “sebagian”, yang menyebabkan pengertian ayat menjadi “menahan atau memalingkan pandangan dari hal-hal yang haram dan hanya mengarahkan pandangan kepada yang halal atau yang dibolehkan”. (Abdullah Ibn Ahmad Mahmud al-nasafy, Tafsir al-nasfy, III, hlm. 140).
         (وليضربن بخمرهن على جيو بهن)
 يضربن, artinya menutup dada dengan kain kerudung dengan rapi. خمر, bentuk jamak dari خما ر, artinya sesuatu yang dijadikan kerudung atau sesuatu yang dijadikan penutup kepala. (Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Kariim, III, hlm. 284). Seperti aneka ragam bentuk penutup kepala yang lazim telah dikenal.
جيو ب , bentuk jamak dari جيب, الجيب, arti asalnya adalah kerah kemeja atau baju. Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah tempat kerah tersebut, yaitu leher. (al-Jamal, al-Futuhat,III, hlm, 219).
Jadi, yang dimaksudkan di sini adalah bahwa Allah memerintahkan kepada wanita mukmin agar menutup leher dan dada dengan kerudung, sehingga tak sesuatupun ada yang tampak darinya. (Ibn Katsit, Tafsir al-Quran al-Kariim, III, hlm. 284)
(بعو لتهن), artinya suami mereka. البعل, di dalam kamus Lisan al-Arab, berarti suami dan tuan. (غير أولى الاربة), Orang yang tidak mempunyai keinginan kepada wanita. Yang dimaksud di sini adalah laki-laki tua renta. Dikatakan, mereka adalah orang-orang pander yang mengikuti orang-orang hanya sekedar untuk mencari makan, mereka tidak mengenal sedikitpun masalah wanita. (Abu al-Sa’ud, Irsyad al-Aql al-salim, IV, hlm. 55).
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa Allah tidak menyuruh laki-laki mukmin tersebut agar menahan atau memalingkan seluruh pandangan mereka secara total, melainkan hanya memalingkan sebagaian saja. Sebab menahan pandangan secara terus-menerus dan memalingkannya dari segala sesuatu berarti menafikan atau meniadakan pemanfaatan penglihatan sama sekali; dan anggapan bahwa Allah menghendaki hal yang demikian jelas tidak rasional. Akan tetapi, mengarahkan pandangan secara total kepada segala sesuatu juga akan menyebabkan seseorang terjerumus kepada berbagai bencana yang sumbernya bermula dari pandangan, yang merupakan pembangkit nafsu birahi, pemicu perbuatan zina, dan biang keladi berbagai perbuatan dosa.
Seorang penyair pernah berucap:
Semua kejadian itu sumbernya adalah pandangan, dan kobaran api yang besar itu berasal dari bunga api yang dipandang sepele.
Seseorang yang mempunyai mata dan membuka pandangannya dengan mata liar, niscaya ia akan berada di depan bahaya. Betapa satu kali pandangan, akan menciptakan anak panah tanpa tali dan busur di dalam hati seseorang.
Pandangan yang menyenangkan itu bisa jadi akan menimbulkan bahaya yang menyusahkan, tidak ada ucapan selamat dating kepada kegembiraan yang membawa kesengsaraan.
Sebab turunnya ayat 31 surat an-Nuur, adalah dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Asma’ binti Murtsid, pemilik kebun kurma, sering dikunjungi wanita-wanita yang bermain-main di kebunnya tanpa berkain panjang sehingga kelihatan gelang-gelang kakinya. Demikian juga dada dan sanggul-sanggul mereka kelihatan. Berkatalah Asma’: “Alangkah buruknya (pemandangan) ini.” Turunnya ayat ini (Q.S. An-Nuur;31) sampai, … ‘auraatin nisaa’ …(… aurat wanita …) berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang memerintahkan kepada kaum mukminat untuk menutup aurat mereka. (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Muqatil yang bersumber dari Jabir bin ‘Abdillah).
Dalam suatu riwayat lain juga dikemukakan bahwa seorang wanita membuat dua kantong perak yang diisi untaian batu-batu mutu menikam sebagai perhiasan kakinya. Apabila ia lewat di hadapan sekelompok orang, ia memukul-mukulkan kakinya ke tanah sehingga kedua kakinya bersuara karena beradu. Maka turunlah kelanjutan ayat ini (Q.S. 24 an-Nuur:31, dari … wa laa yadlribna bi arjulihhinn …[… dan janganlah mereka memukulkan kakinya …] sampai akhir ayat), yang melarang wanita menggerak-gerakkan anggota tubuhnya untuk mendapatkan perhatian laki-laki. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Hadirami).
Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman agar menahan atau memalingkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan, apakah itu pandangan seorang laki-laki kepada perempuan maupun sebaliknya.
(قل للمؤ منين يغضوامن ابصارهم), (وقل للمؤ منا ت يغضضن من ابصارهن)
Di dalam sebuah hadits shahih Dari Abu Said al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jauhkanlah dirimu untuk suka duduk di jalan-jalan." Mereka berkata: Wahai Rasulullah, itu hanyalah bagian dari tempat duduk kami, di mana kami biasa berbincang-bincang di sana. Beliau menjawab: "Jika kalian menolak (nasehat ini), maka berilah jalan kepada haknya." Mereka bertanya: Apakah haknya?. Beliau bersabda: "Menundukkan pandangan, tidak mengganggu, menjawab salam, menyuruh kepada kebaikan, dan melarang kemungkaran." (Muttafaq Alaihi).
Sementara di dalam perintah mengenai keharusan memelihara kemaluan (hifzh al-Farj), tidak terdapat huruf jar (من). Seperti terlihat dalam ayat:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30)
Hal ini mengandung arti bahwa di dalam masalah pandangan trsebut terdapat semacam kelonggaran, Allah tidak bermaksud mempersempit wilayah pengguanaannya kecuali sebatas yang diperlukan untuk hifz ah-Farj dan tidak meremehkannya.
Sebagaimana sudah diketahui pula bahwa laki-laki muhrim bagi seorang wanita tidak dilarang melihat rambut atau kepala wanita rambut tersebut; begitu pula melihat budak-budak yang tengah bekerja untuk kepentingan jual beli. (al-Jamal, al-Futuhat al-Ilahiyah, II.hal. 218).
Demikain pula seorang laki-laki yang bermaksud melamar seorang wanita, ia diperbolehkan melihat wanita calon istrinya tersebut. Al-Mughairah Ibn Syu’bah meriwayatkan: Aku pernah melamar seorang wanita. Lalu Rasulullah bertanya kepadaku: Apakah engkau sudah melihatnya? Aku menjawab: Tidak. Rasulullah berkata: Lihatlah dia, sesungguhnya hal ini perlu kecocokan dan kelanggengan hubungan kalian berdua kelak. (Hadits Riwayat Muslim dan al-Tirmidzi).
Pada waktu yang sama, tidak ada kelonggaran dan kebolehan untuk meremehkan dan mempermainkan soal hifzh al-farj dalam bentuk dan cara apapun juga. (al-Nasafy, III, hlm. 140).
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa daerah sasaran penggunaan pandangan itu terbatas pada apa yang dibolehkan oleh Allah Swt.
Seorang laki-laki berdosa melihat wanita selain dari bagian yang dibolehkan; dan seorang wanita berdosa melihat laki-laki selain dari bagian yang diperbolehkan; laki-laki berdosa melihat aurat laki-laki; dan wanita berdosa melihat aurat wanita. Rasulullah pernah bersabda: Janganlah laki-laki melihat aurat laki-laki, dan janganlah perempuan melihat aurat perempuan. (H.R. Muslim, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi).
Abdullah bin Muslim al-‘Ajali menceritakan bahwa di kota Mekkah ada seorang laki-laki yang mempunyai istri yang cantik jelita. Pada suatu hari, sang istri berkaca dan memperhatikan wajahanya yang cantik jelita itu. Lalu, ia berkata kepada suaminya, “Menurut kamu, adakah seseorang yang tidak tergoda dan tertarik ketika melihat wajahku yang cantik ini?” Sang suami berkata, “Ada.” Sang istri berkata, “Siapa?” Sang suami menjawab, “Ubaid bin Umair.” Sang Istri berkata, “Kita buktikan, izinkan aku untuk merayu dan menggodanya.” Sang suami berkata, “Baiklah aku izinkan kamu.”
Kemudian sang istri pergi menemui Ubaid bin Umair dengan berpura-pura ingin meminta fatwa dan bertanya tentang suatu masalah. Lalu Ubaid bin Umair mengajak ke salah satu sisi Masjidil Haram.
Namun tiba-tiba si wanita terebut membuka tutup wajahnya. Sehingga, terlihatlah wajahnya yang cantik jelita bak belahan purnama. Ubaid bin Umair pun kaget dan spontan berkata, “Celaka kamu wahai hamba Allah!” Si wanita berkata, “Sesungguhnya aku telah tergoda dan tertarik kepada kamu. Karena itu, tolong pertimbangkan keinginanku ini.”
Ubaid bin Umair berkata, “Aku akan mengajukan kepadamu beberapa pertanyaan. Jika kamu mau menjawabnya dengan jujur, maka aku akan pertimbangakan keinginanmu ini.” Si wanita berkata, “Kamu tidak melontarkan pertanayan kepadaku kecuali akan aku jawab dengan jujur.”
Kemudian Ubaid bin Umair berkata, “Katakan kepadaku dengan jujur. Jika sekarang malaikat maut datang dan mencabut nyawamu, apakah kamu senang jika sekarang aku memenuhi keinginanmu ini?” Si wanita berkata, “Tentu saja tidak.”
Lalu Ubaid bin Umair berkata, “Bagus, berarti kamu memang jujur. Ingatlah tatkala semua makhluk dihidupkan kembali pada hari kiamat untuk menerima buku catatan amal mereka masing-masing. Dan kamu sendiri tidak tahu apakah kamu akan menerima buku catatan amal kamu dengan tangan kanan atau kiri. Apakah kamu senang jika aku memenuhi kenginanmu ini?” Si wanita menjawab, “Tentu saja tidak.”
Ubaid bin Umair berkata, “Bagus, kamu menjawab dengan jujur. Ketika datang waktu penimbangan amal, lalu kamu tidak tahu apakah timbangan amal kebaikanmu lebih berat atau lebih ringan. Apakah kamu senang jika aku memenuhi keinginanmu ini?” Si wanita menjawab, “Tentu saja tidak.”
Kemudian Ubaid bin Umair berkata, “Bagus, kamu menjawab dengan jujur. Lalu, ingatlah ketika kamu dihadapkan kapada Zat Yang Maha Adil untuk diadili. Apakah kamu senang jika aku memenuhi keinginanmu ini?” Si wanita menjawab, “Tentu saja tidak.”
Ubaid bin Umair berkata, “Bagus, kamu menjawab dengan jujur.” Lalu, ia berkata lagi kepadanya, “Hai hamba Allah, takutlah kamu kepada-Nya. Karena sesungguhnya Allah telah memberi karunia dan nikmat kepada kamu.”
Lalu, si wanita tadi pun kembali ke rumahnya. Setelah tiba di rumah sang suami langsung bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu perbuat terhadapnya (Ubaid bin Umair)?” Si istri menjawab, “Kamu memang orang yang hina, kita berdua memang benar-benar orang yang hina.”
Setelah kejadian itu, si istri berubah total. Sehari-harinya ia hanya disibukkan dengan shalat, puasa, dan ibadah-ibadah yang lainnya. Sehingga, suaminya menggerutu kesal dan berkata, “Celaka aku, apa sebenarnya yang telah dilakukan Ubaid bin Umair terhadap istriku sehingga berubah seperti sekarang ini. Dahulu setiap malam istriku bertingkah bak pengantin baru, tapi sekarang Ubaid bin Umair telah mengubahnya menjadi seorang rahib (orang ahli ibadah).” (Ibnul Jauzi, Dzammul Hawaa, hlm. 265,266.)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pandangan mata adalah panah beracun dari iblis. Siapa yang meninggalkan karena takut kepada Allah, maka Allah akan memberikannya keimanan yang dirasakan kenikmatannya dalam hati.” (HR Hakim, Thabrani, dan Baihaqi). (“Menahan Pandangan Menjaga Hati” (Ghadhdhul Bashar) karya Abdul Aziz al-Ghazuli, terbitan Gema Insani Press)
Perintah menjaga pandangan ditujukan pada para wanita. Sebuah hadis menerangkan, “…Ya Rasulullah, bukankah ia buta (Ibnu Ummi Maktum) sehingga tidak mungkin dapat melihat kami? Maka sabda Rasulullah saw. “Bukankah kamu berdua (Ummu Salamah r.a. dan Maimunah bintiaAl-Harits) melihatnya?” (H.R. Abu Daud). “Sesungguhnya memandang (wanita) adalah salah satu panah beracun dari berbagai macam anak panah iblis. Barangsiapa menahan pandangannya dari keindahan-keindahan wanita karena takut pada-Ku, maka Allah mewariskan kelezatan iman di dalam hatinya.” (H.R. Thabrani).
Walaupun demikian, Allah Yang Maha Bijaksana telah memberikan pengecualian atau dispensasi di dalam situasi atau hal-hal tertentu, di mana seseorang tidak berdosa apabila ia telah terlanjur melihat daerah atau bagian yang tidak diperbolehkan. Pengecualian ini diberikan, antara lain, dalam hal:
1.      Pandangan spontan, tidak sengaja. Diriwayatkan bahwa Nabi pernah berkata kepada Ali r.a: “Hai Ali, jangan kamu ulangi suatu pandangan, pandangan pertama dibolehkan bagimu, sedangkan pandangan terakhir tidak dibolehkan bagimu”. Artinya, pandangan spontan atau mendadak, bagi laki-laki maupun bagi perempuan, tidak diberi sangsi hukum. Akan tetapi, di dalam hal ini seseorang tidak dibenarkan sama sekali, setelah merasakan nikmatnya pandangan pertama, mengulangi pandangan tersebut. Pandangan yang diulangi atau pandangan berikutnya adalah dinilai sebagai zina mata, seperti yang pernah dilukiskan oleh Nabi di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sebagai berikut:
Artinya, kurang lebih:
كتب على بنى ادم خطه من الزنا أدرك ذالك لامحا لة فزنا العينين النطر وزنا اللسان النطق وزنا
الاذ نين الاستما ع وزنا اليد البطش وزنا الرجلين الخطى والنفس تمنى وتشتهى والفرج يصدفه او يكذ به
“Ketetapan perbuatan zina bagi anak adam itu telah jelas. Zina mata adalah pandangan, Zina lidah adalah perkataan, zina dua telinga adalah pendengaran, Zina dua tangan adalah sentuahan, dan zina kedua kaki adalah langkah-langkahnya; sementara itu seseorang tengah berkhayal akan kenikmatan seksual, apakah hal ini mengundang reaksi alat kelamin atau tidak”.
Jarir Ibn Abdillah berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasuluallah mengenai pandangan spontan atau refleks, lalu beliau menyuruhku memalingkan pandanganku. (H.R.Muslim, Ahmad, al-Tirmidzi, Abu Daud, dan al-Nasa’i)
Abdullah Ibn Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasululah pernah bersabda: Pandangan itu salah satu dari sekian banyak panahnya setan, barangsiapa yang menghindarkannya karena takut kepadaku, niscaya aku akan menggantikannya dengan iman yang ia rasakan manisnya di dalam kalbu. (Ibn Katsir, III, hal. 282).
Abu Amamah meriwayatkan bahwa Nabi pernah bersabda: Seorang laki-laki muslim melihat wanita cantik, kemudian ia langsung memalingkan pandangannya, maka Allah akan menggantikan untuknya dengan ibadah yang ia rasakan manis dan nkmatnya. (H.R. al-Imam Ahmad).
Sebab anjuran tegas agar tidak mengulangi suatu pandangan setelah pandangan spontan, dan keharusan menahan pandangan, serta larangan keras melihat hal-hal yang diharamkan ini, tidak lain adalah karena orang-orang yang melakukan hal yang demikian pasti akan terjerumus ke dalam kesesatan dan kekacauan pikiran, hati dan jiwanya akan kotor oleh kerakusannya akan kenikamatan-kenikmatan dosa, dia akan terbelenggu oleh jerat-jerat hawa nafsu dan seterusnya.
Semua ini, seperti telah disinggung, disebabkan karena tidak adanya kepedualian terhadap perintah keharusan selalu menahan pandangan, ghadzul bashar, melainkan melepas dan mengarahkan pandangan tersebut secara bebas tanpa batas, jauh keluar dari daerah sasaran yang dibolehkan oleh agama.
2.  Pengecualian lain diberikan pada hal-hal tertentu yang didalamnya memang terdapat keharusan dan keperluan untuk melihat wajah wanita, seperti keharusan dan keperluan melihat wajah wanita yang akan dilamar. Hal ini ditegaskan oleh Nabi di dalam sabda beliau:
 إذا خطب أحدكم المرأة فلا جناح عليه أن ينظر إليها إذا كان إنما ينظر إليها للخطبة
“Apabila di antara kalian melamar seorang wanita, maka tidak berdosa baginya untuk melihat wanita tersebut, asalkan hal ini semata-mata untuk melamar” (H.R. Ahmad).
Jabir Ibn Abdillah meriwayatkan bahwa Nabi Saw. Pernah bersabda:
إذا خطب أحدكم المرأة فقدر أن يرى منها بعض ما يدعوه الى نكاحها فليفعل
“Apabila di antara kalian melamar seorang wanita, lalu ia bermaksud melihatnya di bagian tertentu yang dapat mengundang minatnya untuk menikahinya, maka lakukanlah”.
Abu al-A’la al-Mawdudy berkomentar, (al-Mawdudy, tafsir Surat al-Nur, hal.15) berdasarkan hal ini, para fuqaha telah menetapkan bahwa masih ada kasus-kasus lain di mana diperbolehkan bagi laki-laki melihat wajah wanita, seperti seorang hakim melihat wajah wanita di saat menyampaikan kesaksian, atau seorang dokter melihat wajah wanita di saat melakukan pengobatan.
Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Asy-Syaikh Taqiyuddin Abu Bakr, yang lebih dikenal dengan Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, tentang manfaat menahan pandangan mata dalam kitabnya yang sangat bernilai Ad-Dauad Dawa` atau Al-Jawabul Kafiliman Sa`ala ‘anid Dawa`isy Syafi. (kitab Ad-Da`u wad Dawa`, karya Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, hal. 277-279), adalah sebagai berikut:
1). Dengan menahan pandangan mata berarti berpegang dengan perintah Allah yang merupakan puncak kebahagiaan seorang hamba dalam kehidupannya di dunia dan di akherat.
2). Menahan pandangan akan mencegah sampainya pengaruh panah beracun ke dalam qalbu seorang hamba.
3). Menahan pandangan akan mewariskan kedekatan seorang hamba dengan Allah dan menyatukan qalbunya agar hanya tertuju kepada Allah. Sebaliknya, mengumbar pandangan akan memecah belah qalbu dan mencerai-beraikannya.
4). Menguatkan qalbu dan membahagiakannya. Sebaliknya, mengumbar pandangan akan melemahkan qalbu dan membuatnya sedih.
5). Menahan pandangan akan menghasilkan cahaya bagi qalbu sebagaimana mengumbar pandangan akan menggelapkan qalbu.
6). Menahan pandangan akan mewariskan firasat yang benar yang dengannya ia akan membedakan antara yang haq dengan yang batil, antara orang yang jujur dengan yang dusta.
7). Menahan pandangan akan mewariskan kekokohan, keberanian, dan kekuatan pada qalbu.
8). Menahan pandangan akan menutup celah bagi masuknya setan ke dalam qalbu.
9). Menahan pandangan akan mengosongkan qalbu dari memikirkan hal yang haram, sehingga qalbu hanya tersibukkan dengan perkara yang memberikan maslahat.
10). Antara mata dan qalbu itu ada penghubung dan jalan sehingga saling berhubungan satu sama lain. Bila salah satunya baik, maka baik pula yang lain.

Tidak ada komentar: