DINASTI UMAYYAH I DI DAMASKUS
A. Pendahuluan
Sejarah perkembangan Islam selalu menarik untuk
dijadikan bahan kajian. Dengan sejarah, kita dapat mengetahui perkembangan
Islam secara lebih detil dan mendalam. Sejarah juga menceritakan fakta-fakta
menarik yang selalu dijadikan hikmah atas peristiwa, agar kita dapat mengambil
pelajaran dan menjadikan sejarah tersebut sebagai bahan pertimbangan kita dalam
bersikap.
Sejarah Bani Umayyah tak dapat dilepaskan dari
sejarah sebelumnya, yaitu krisis kepemimpinan yang melanda umat Islam pasca-terbunuhnya
Khalifah Utsman bin Affan r.a. Sejarah mencatat bahwa setelah terbunuhnya
khalifah Utsman, bibit konflik mulai muncul. Umat Islam mulai mengalami konflik
internal antara beberapa faksi yang ada, seperti perang Jamal antara faksi
ummum mu’minin Aisyah dan Zubair bin Awwam r.a. dengan faksi Ali. Konflik juga
terjadi pada perang Shiffin antara Muawiyah dengan Ali.
Menarik untuk dicermati, konflik ini bermuara
pada aktivitas pemberontakan yang berakibat pada terbunuhnya Khalifah Utsman di
akhir kepemimpinannya. Ketika Ali menggantikan Utsman, umat Islam
terfaksionalisasi menjadi beberapa kelompok, seperti kelompok ‘Aisyah r.a.,
kelompok Ali, dan kelompok Muawiyah yang pada waktu itu menjadi gubernur di
Syam (Syria dan sekitarnya). Faksionalisasi ini pada gilirannya melahirkan
pergumulan politik yang begitu tajam hingga beberapa periode khilafah di era
Dinasti Umayyah.
B. Asal-Usul dan Pertumbuhan Bani Umayyah
Kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu
Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132
H/ 750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang politisi handal di mana
pengalaman politiknya sebagai Gubernur Syam pada zaman Khalifah Ustman bin
Affan cukup mengantarkan dirinya mampu mengambil alih kekusaan dari genggaman
keluarga Ali Bin Abi Thalib. Tepatnya Setelah Husein putra Ali Bin Thalib dapat
dikalahkan oleh Umayyah dalam pertempuran di Karbala. Kekuasaan dan kejayaan.
Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya di zaman Al-Walid. Dan sesudah itu
kekuasaan mereka menurun. Silsilah keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb
bin Umayyah bin Abdi Syamsi bin Abdi Manaf bertemu dengan Nabi Muhammad SAW
pada Abdi Manaf. Turunan Nabi dipanggil dengan keluarga Hasyim (Bani Hasyim),
sedangkan keturunan Umayyah disebut dengan keluarga Umayyah (Bani Umayyah).
Oleh karena itu Muawiyah dinyatakan sebagai pembangun Dinasti Umayyah
Umayyah adalah pedagang yang besar dan kaya, yang
mempunyai 10 anak laki-laki yang semuanya mempunyai kekuasaan dan kemuliaan, di
antaranya Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan. Dan Abu Sofyanlah yang pernah menjadi
pemimpin pasukan Quraisy melawan Nabi pada perang Badar Kubra. Dilihat dari
sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu kental dengan kekuasaan. Ketika terjadi Fathul
Makkah Abu Sufyan diberi kehormatan untuk mengumumkan pengamanan Nabi SAW,
yang salah satunya adalah barang siapa masuk ke dalam rumahnya maka amanlah
dia, selain masuk masjid dan rumahnya Nabi.
Hal ini berlanjut pada masa khulafah al-rasyidin,
Yazid bin Abi Sufyan ditunjuk oleh Abu Bakar memimpin tentara Islam untuk
membuka daerah Syam. Dan masa Khalifah Umar diserahi jabatan Gubernur di
Damaskus. Hal yang sama dilakukan Umar adalah menyerahkan daerah Yordania
kepada Muawiyah. Bahkan setelah Yazid wafat, daerah yang diserahkan kepadanya
diberikan kepada Muawiyah. Setelah Umar wafat dan digantikan Ustman, maka
kerabatnya dari Bani Umayyah (Ustman termasuk dari Bani Umayyah) banyak yang
menguasai pos-pos penting dalam pemerintahan.
Pada masa Ustman inilah kekuatan Bani Umayyah,
khususnya pada Muawiyah semakin mengakar dan menguat. Ketika dia diangkat
menjadi penguasa pada wilayah tertentu dalam jangka yang panjang dan
terus-menerus. Sebelumnya dia telah menjadi Wali Damaskus selama 4 tahun, yaitu
pada masa Umar, lalu Ustman menggabungkan baginya daerah Ailah sampai
perbatasan Romawi dan sampai pantai laut tengah secara keseluruhan. Bahkan dia
membiarkannya memerintah daerah tersebut selama 12 tahun penuh, yaitu sepanjang
masa kekhilafahannya.
Kekuasaan Muawiyah pada wilayah Syam tersebut telah
membuatnya mempunyai basis rasional untuk karier politiknya. Karena penduduk
Syam yang diperintah Muawiyah mempunyai ketentaraan yang kokoh, terlatih dan
terpilih di garis depan dalam melawan Romawi. Mereka bersama-sama dengan bangsawan
Arab dan keturunan Umayyah yang berada sepenuhnya di belakang Muawiyah dan
memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak habis-habisnya, baik moral,
manusia maupun kekayaan.
Pada realitasnya banyak sejarawan yang memandang
negatif terhadap Muawiyah, karena keberhasilannya dalam perang siffin dicapai
melalui cara abitrase yang curang. Dia juga dituduh sebagai penghianat
prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam. Karena dialah yang mengubah
model suksesi kepala negara dari proses demokrasi menuju system monarkhi.Masa
pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, karena
banyakkebijakan politiknya yang berrtumpu kepada usaha perluasan wilayah dan
penaklukan.
Hanya dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa yang masuk
kedalam kekuasaannya. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syria,
Palestina Jazirah Arab, Iraq, Persia, Afganistan, Pakistan, Uzbekistan, dan
wilayah Afrika Utara sampai Spanyol. Namun demikian, Bani Umayyah banyak
berjasa dalam pembangunan berbagai bidang, baik politik, sosial, kebudayaan,
seni, maupun ekonomi dan militer, serta teknologi komunikasi. Dalam bidang yang
terakhir ini, Muawiyah mencetak uang, mendirikan dinaspos dan tempat-tempat
tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya disepanjang
jalan, beserta angkatan bersenjatanya yang kuat.
C. Basis Pemerintahan Umayyah
Keberhasialan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan
hanya akibat dari kemenangan diplomasi Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali,
akan tetapi ia memiliki basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan
politiknya di masa depan. Adapun faktorkeberhasilan tersebut adalah:
1.
Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani
Umayyah.
2.
Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam
menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
3.
Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati,
bahkan mencapai tingkat (hilm) sifat tertinggi yang dimiliki oleh para
pembesar Mekkah zaman dahulu, yang mana seorang manusia hilm seperti Muawiyah
dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang
menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
D. Kedudukan Khalifah
Walaupun Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari
musyawarah menjadi monarkhi, namun Dinasti ini tetap memakai gelar Khalifah.
Namun ia memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia
menyebutnya ‘Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat Allah
dalam memimpin umat dengan mengaitkannya kepada al Qur’an (2:30). Atas dasar
ini Dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan Khalifah berdasarkan atas
kehendak Allah, siapa yang menentangnya adalah kafir (Pulungan, 1997:167-168).
Dengan kata lain pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
bercorak teokratis, yaitu penguasa yang harus ditaati semata-mata karena iman.
Seseorang selama menjadimukmin tidak boleh melawan khalifahnya, sekalipun ia
beranggapan bahwa Khalifah adalah seseorang yang memusuhi agama Allah dan
tindakan-tindakan Khalifah tidak sesuai dengan hukum-hukum syariat.
Dengan demikian, meskipun pemimpin Dinasti ini
menyatakan sebagai Khalifah akan tetapi dalam prakteknya memimpin ummat Islam
sama sekali berbeda dengan Khalifah yang empat sebelumnya, setelah Rasulullah.
E. Sistem Pergantian Kepala Negara dan Upaya Penegakan Dinasti
Dengan meninggalnya Khalifah Ali, maka bentuk
pemerintahan kekhalifahan telah berakhir, dan dilanjutkan dengan bentuk
pemerintahan kerajaan (Dinasti), yakni kerajaan Bani Umayyah (Dinasti Umayyah).
Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah dapat
menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara, siasat, politik dan tipu
muslihat yang licik, bukan atas pilihan kaum muslimin sebagaimana dilakukan
oleh para Khalifah sebelumnya. Dengan demikian, berdirinya Daulah Bani Umayyah
bukan berdasar pada musyawarah atau demokrasi. Jabatan raja menjadi
turun-temurun, dan Daulah Islam berubah sifatnya menjadi Daulah yang bersifat
kerajaan (monarkhi). Muawiyah tidak mentaati isi perjanjian yang telah
dilakukannya dengan Hasan ibn Ali ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa
persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah akan diserahkan kepada pemilihan
ummat Islam. Hal ini terjadi ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk
menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Sejak saat itu suksesi kepemimpinan
secara turun-temurun dimulai.
Dinasti Umayyah berkuasa hampir satu abad, tepatnya
selama 90 tahun, dengan empat belas Khalifah. Banyak kemajuan, perkembangan dan
perluasan daerah yang dicapai, lebih-lebih pada masa pemerintahan Walid bin
Abdul Malik. Dimulai oleh kepemimpinan Muawiyyah bin Abi Sufyan dan diakhiri
oleh kepemimpinan Marwan bin Muhammad. Adapun urut-urutan Khalifah Daulah Bani
Umayyah adalah sebagai berikut:
1. Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M)
Muawiyah ibn Abi Sufyan adalah pendiri Daulah Bani
Umayyah dan menjabat sebagai Khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota dari
Madinah al Munawarah ke kota Damaskus dalam wilayah Suriah. Pada masa
pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan wilayah kekuasaan Islam yang terhenti
pada masa Khalifah Ustman dan Ali. Disamping itu ia juga mengatur tentara
dengan cara baru dengan meniru aturan yang ditetapkan oleh tentara di
Bizantium, membangun administrasi pemerintahan dan juga menetapkan aturan kiriman
pos. Muawiyah meninggal Dunia dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di Damaskus di
pemakaman Bab Al-Shagier.
2. Yazid ibn Muawiyah (681-683 M)
Lahir pada tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M, Muawiyah
mencalonkan anaknya, Yazid, untuk menggantikan dirinya. Yazid menjabat sebagai
Khalifah dalam usia 34 tahun pada tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta,
sejumlah tokoh di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Ia kemudian
mengirim surat kepada Gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk
mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk,
kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair.
Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan
konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah
dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah
atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini
tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam
pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah,
tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim
ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala. (Yatim,
2003:45).
Masa pemerintahan Yazid dikenal dengan empat hal yang sangat hitam
sepanjang sejarah Islam, yaitu :
a)
Pembunuhan Husein ibn Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad.
b)
Pelaksanaan Al ibahat terhadap kota suci Madinah al -
Munawarah.
c)
Penggempuran terhadap baiat Allah.
d)
Pertama kalinya memakai dan menggunakan orang-orang kebiri untuk
barisan pelayan rumah tangga khalif didalam istana. Ia Meninggal pada tahun 64
H/683 M dalam usia 38 tahun dan masa
3. Muawiyah ibn Yazid (683-684 M)
Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai Khalifah pada tahun
683-684 M dalam usia 23 tahun. Dia seorang yang berwatak lembut. Dalam pemerintahannya,
terjadi masa krisis dan ketidakpastian, yaitu timbulnya perselisihan antar suku
diantara orang-orang Arab sendiri. Ia memerintah hanya selama enam bulan.
4. Marwan ibn Al-Hakam (684-685 M)
Sebelum menjabat sebagai penasihat Khalifah Ustman bin
Affan, ia berhasil memperoleh dukungan dari sebagian orang Syiria dengan cara
menyuap dan memberikan berbagai hak kepada masing-masing kepala suku. Untuk
mengukuhkan jabatan Khalifah yang dipegangnya maka Marwan sengaja mengawini
janda Khalifah Yazid, Ummu Khalid. Selama masa pemerinthannya tidak
meninggalkan jejak yang penting bagi perkembangan sejarah Islam. Ia wafat dalam
usia 63 tahun dan masa pemerintahannya selama 9 bulan 18 hari.
5. Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M)
Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai Khalifah
setelah kematian ayahnya, pada tahun 685 M. Dibawah kekuasaan Abdul Malik,
kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan dan kemulian. Ia terpandang sebagai
Khalifah yang perkasa dan negarawan yang cakap dan berhasil memulihkan kembali kesatuan
Dunia Islam dari para pemberontak, sehingga pada masa pemerintahan selanjutnya,
di bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik Daulah bani Umayyah dapat mencapai
puncak kejayaannya.
Ia wafat pada tahun 705 M dalam usia yang ke-60 tahun.
Ia meninggalkan karyakarya terbesar didalam sejarah Islam. Masa pemerintahannya
berlangsung selama 21 tahun, 8 bulan. Dalam masa pemerintahannya, ia menghadapi
sengketa dengan khalif Abdullah ibn Zubair.
6. Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M)
Masa pemerintahan Walid ibn Malik adalah masa
ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada
masa pemerintahannya tercatat suatu peristiwa besar, yaitu perluasan wilayah
kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, yaitu pada
tahun 711 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam juga sampai ke Andalusia
(Spanyol) dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziad. Perjuangan panglima Thariq
bin Ziad mencapai kemenangan, sehingga dapat menguasai kota Kordova, Granada
dan Toledo.
Selain melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam,
Walid juga melakukan pembangunan besar-besaran selama masa pemerintahannya
untuk kemakmuran rakyatnya. Khalifah Walid ibn Malik meninggalkan nama yang
sangat harum dalam sejarah Daulah Bani Umayyah dan merupakan puncak kebesaran
Daulah tersebut.
7. Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M)
Sulaiman Ibn Abdul Malik menjadi Khalifah pada usia 42
tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Ia tidak
memiliki kepribadian yang kuat hingga mudah dipengaruhi penasehat-penasehat
disekitar dirinya. Menjelang saat terakhir pemerintahannya barulah ia memanggil
Gubernur wilayah Hijaz, yaitu Umar bin Abdul Aziz, yang kemudian diangkat
menjadi penasehatnya dengan memegang jabatan wazir besar.
Hasratnya untuk memperoleh nama baik dengan penaklukan
ibu kota Constantinople gagal. Satu-satunya jasa yang dapat dikenangnya dari
masa pemerintahannya ialah menyelesaikan dan menyiapkan pembangunan Jamiul
Umawi yang terkenal megah dan agung di Damaskus.
8. Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M)
Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah pada usia 37 tahun . Ia terkenal adil dan
sederhana. Ia ingin mengembalikan corak pemerintahan seperti pada zaman khulafaur
rasyidin. Pemerintahan Umar meninggalkan semua kemegahan Dunia yang
selalu ditunjukkan oleh orang Bani Umayyah. Ketika dinobatkan
sebagai Khalifah, ia menyatakan bahwa mempernaiki dan meningkatkan
negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya.
Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan
dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, ia berhasil
menjalin hubuingan baik dengan Syi’ah. Ia juga membari kebebasan kepada
penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali (orang Islam
yang bukan dari Arab) disejajarkan dengan Muslim Arab.Pemerintahannya membuka
suatu pertanda yang membahagiakan bagi rakyat. Ketakwaan dan keshalehannya
patut menjadi teladan. Ia selalu berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Ia meninggal pada tahun 720 M dalam usia 39 tahun, dimakamkan di Deir Simon.
9. Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M)
Yazid ibn Abdul Malik adalah seorang penguasa yang
sangat gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat
yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada zamannya berubah
menjadi kacau.Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat
menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid. Pemerintahan Yazid yang
singkat itu hanya mempercepat proses kehancuran Imperium Umayyah. Pada waktu
pemerintahan inilah propaganda bagi keturunan Bani Abas mulai dilancarkan
secara aktif. Dia wafat pada usia 40 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung
selama 4 tahun, 1 bulan.
10. Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M)
Hisyam ibn Abdul Malik menjabat sebagai Khalifah pada
usia yang ke 35 tahun. Ia terkenal negarawan yang cakap dan ahli strategi
militer. Pada masa pemerintahannya muncul satu kekuatan baru yang menjadi
tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan ini berasal dari
kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman
yang sangat serius. Dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan baru ini mampu
menggulingkan Dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan Dinasti baru, Bani
Abbas.
Pemerintahan Hisyam yang lunak dan jujur menyumbangkan
jasa yang banyak untuk pemulihan keamanan dan kemakmuran, tetapi semua
kebajikannya tidak bisa membayar kesalahan-kesalahan para pendahulunya, karena
gerakan oposisi terlalu kuat, sehingga Khalifah tidak mampu mematahkannya. Meskipun
demikian, pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam kebudayaan dan kesusastraan
Arab serta lalu lintas dagang mengalami kemajuan. Dua tahun sesudah penaklukan
pulau Sisily pada tahun 743 M, ia wafat dalam usia 55 tahun. Masa pemerintahannya
berlangsung selama 19 tahun, 9 bulan. Sepeninggal Hisyam, Khalifah- Khalifah
yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin mempercepat
runtuhnya Daulah Bani Ummayyah.
11. Walid ibn Yazid (743-744 M)
Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran dimasa
pemerintahan Walid ibn Yazid. Ia berkelakuan buruk dan suka melanggar norma
agama. Kalangan keluarga sendiri benci padanya. Dan ia mati terbunuh.
Meskipun demikian, kebijakan yang paling utama yang
dilakukan oleh -Walid ibn Yazid ialah melipatkan jumlah bantuan sosial bagi
pemeliharaan orang-orang buta dan orang-orang lanjut usia yang tidak mempunyai
famili untuk merawatnya. Ia menetapkan anggaran khusus untuk pembiayaan
tersebut dan menyediakan perawat untuk masingmasing orang. Dia sempat
meloloskan diri dari penangkapan besar-besaran di Damaskus yang dilakukan oleh
keponakannya. Masa pemerintahannya berlangsung selama 1 tahun, 2 bulan. Dia
wafat dalam usia 40 tahun.
12. Yazid ibn Walid (Yazid III) (744 M)
Pemerintahan Yazid ibn Walid tidak mendapat dukungan
dari rakyat, karena perbuatannya yang suka mengurangi anggaran belanja negara.
Masa pemerintahannya penuh dengan kemelut dan pemberontakan. Masa
pemerintahannya berlangsung selama 16 bulan. Dia wafat dalam usia 46 tahun.
13. Ibrahim ibn Malik (744 M)
Diangkatnya Ibrahim menjadi Khalifah tidak memperoleh
suara bulat didalam lingkungan keluarga Bani Umayyah dan rakyatnya. Karena itu,
keadaan negara semakin kacau dengan munculnya beberapa pemberontak. Ia
menggerakkan pasukan besar berkekuatan 80.000 orang dari Arnenia menuju Syiria.
Ia dengan suka rela mengundurkan dirinya dari jabatan khilafah dan mengangkat
baiat terhadap Marwan ibn Muhammad. Dia memerintah selama 3 bulan dan wafat
pada tahun 132 H.
14.Marwan ibn Muhammad (745-750 M)
Beliau seorang ahli negara yang bijaksana dan seorang
pahlawan. Beberapa pemberontak dapat ditumpas, tetapi dia tidak mampu
mengahadapi gerakan Bani Abbasiyah yang telah kuat pendudkungnya. Marwan ibn
Muhammad melarikan diri ke Hurah, terus ke Damaskus. Namun Abdullah bin Ali
yang ditugaskan membunuh Marwan oleh Abbas As-Syaffah selalu mengejarnya.
Akhirnya sampailah Marwan di Mesir. Di Bushair, daerah al Fayyun Mesir, dia
mati terbunuh oleh Shalih bin Ali, orang yang menerima penyerahan tugas dari Abdullah.
Marwan terbunuh pada tanggal 27 Dzulhijjah 132 H\5 Agustus 750 M. Dengan demikian
tamatlah kedaulatan Bani Umayyah, dan sebagai tindak lanjutnya dipegang oleh Bani
Abbasiyah.
F. Sistem Sosial, Politik dan Ekonomi Daulah Bani Umayyah
1. Sistem Sosial
Dalam lapangan sosial, Bani Umayyah telah membuka
terjadinya kontak antara bangsa-bangsa Muslim (Arab) dengan negeri-negeri
taklukan yang terkenal memiliki kebudayaan yang telah maju seperti Persia,
Mesir, Eropa dan sebagainya. Hal tersebut menyebabkan terjadinya akulturasi
budaya antara Arab (yang memiliki ciri-ciri Islam) dengan tradisi bangsa-bangsa
lain yang bernaung dibawah kekuasaan Islam.
Hubungan tersebut kemudian melahirkan kreatifitas baru
yang menakjubkan dibidang seni bangunan (arsitektur) dan ilmu pengetahuan. Seperti
yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Walid ibn Abdul Malik (705-715 M)
kekayaan dan kemakmuran melimpah ruah. Ia seorang yang berkemauan keras dan
berkemampuan melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu, ia menyempurnakan gedung-gedung,
pabrik-pabrik dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para kabilah
yang berlalu lalang dijalan tersebut. Ia membangun masjid al-Amawi yang
terkenal hingga masa kini di Damaskus. Disamping itu ia menggunakan kekayaan
negerinya untuk menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat
seperti orang lumpuh, buta dan sebagainya.
Akibat lainnya adalah juga banyak orang-orang dari
negeri taklukan yang memeluk Islam. Mereka adalah pendatang-pendatang baru dari
kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan, yang kemudian mendapat gelar “al
mawali”. Status tersebut menggambarkan inferioritas di tengah-tengah
keangkuhan bangsa Arab. Mereka tidak mendapat fasilitas dari penguasa Bani
Umayyah sebagaimana yang didapatkan oleh orang-orang muslimin Arab.
Dalam masa Daulah Bani Umayyah, orang-orang muslimin
Arab memandang dirinya lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab (mawali). Orang-orang
Arab memandang dirinya “saiyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan-akan
mereka dijadikan Tuhan untuk memerintah. Sehingga antara bangsa Arab dengan
negeri taklukannya terjadi jurang pemisah dalam hal pemberian hak-hak bernegara
Pada saat itu banyak Khalifah Bani Umayyah yang bergaya
hidup mewah yang sama sekali berbeda dengan para Khalifah sebelumnya. Meskipun
demikian, mereka tidak pernah melupakan orang-orang lemah, miskin dan cacat.
Pada masa tersebut dibangun berbagai panti untuk menampung dan menyantuni para
yatim piatu, faqir miskin dan penderita cacat. Untuk orang-orang yang terlibat
dalam kegiatan humanis tersebut mereka digaji oleh pemerintah secara tetap
(Yatim, 1998:139).
2. Sistem Politik
Perubahan yang paling menonjol pada masa Bani Umayyah
terjadi pada sistem politik, diantaranya adalah:
a. Politik dalam Negeri
1) Pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus.
Keputusan ini berdasarkan pada pertimbangan politis dan keamanan. Karena
letaknya jauh dari Kufah, pusat kaum Syi’ah (pendukung Ali), dan juga jauh dari
Hijaz, tempat tinggal Bani Hasyim dan Bani Umayyah, sehingga bisa terhindar
dari konflik yang lebih tajam antar dua bani tersebut dalam memperebutkan
kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus yang terletak di wilayah Syam (Suriah)
adalah daerah yang berada di bawahgenggaman Muawiyah selama 20 tahun sejak dia
diangkat menjadi Gubernur di distrik ini sejak zaman Khalifah Umar ibn Khattab
2) Pembentukan lembaga yang sama sekali baru atau pengembangan
dari Khalifah arrasyidin, untuk memenuhi tuntutan perkembangan
administrasi dan wilayah kenegaraan yang semakin komplek. Dalam menjalankan
pemerintahannya KhalifahBani Umayyah dibantu oleh beberapa al Kuttab (sekretaris)
yang meliputi :
·
Katib ar Rasaail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat
dengan pembesar-pembesar setempat.
·
Katib al Kharraj yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran
negara.
·
Katib al Jund yaitu
sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan
ketentaraan.
·
Katib asy Syurthahk yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan
keamanan dan ketertiban umum.
·
Katib al-Qaadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hokum melalui
bedan-badan peradilan dan hakim setempat
Masa Bani Umayyah juga membentuk berbagai departemen
baru antara lain bernama al-Hijabah, yaitu urusan pengawalan keselamatan
Khalifah. Organisasi Syurthahk (kepolisian) pada masa Bani Umayyah
disempurnakan,. Pada mulanya organisasi ini menjadi bagian organisasi
kehakiman, yang bertugas melaksanakan perintah hakim dan keputusan-keputusan
pengadilan, dan kepalanya sebagai pelaksana al-hudud.
Untuk mengurus tata usaha pemerintahan, Daulah Bani
Abbas membentuk empat buah
“dewan” atau kantor pusat yaitu:
· Diwanul Kharrraj,
· Diwanul Rasaail,
· Diwanul Musytaghilaat al-Mutanauwi’ah dan
· Diwanul Khatim.
Dewan ini sangat penting karena tugasnya mengurus
surat-surat lamaran raja,menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain dan
dibalut dengan lilir kemudiandiatasnya dicap . Sedangkan pada bidang
pelaksanaan hukum, Daulah Bani Umayyah membentuk lembaga yang bernama Nidzam
al Qadai (organisasi kehakiman). Kekuasaan kehakiman di zaman ini dibagi
kedalam tiga badan yaitu:
·
Al-Qadha’,
bertugas memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum ada
“mazhab empat” ataupun mazhab-mazhab lainnya. Pada waktu itu para qadhi
menggali hukum sendiri dari al-kitab dan as-Sunnah dengan berijtihad.
·
Al-Hisbah,
bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang
memerlukan tindakan cepat.
·
An-Nadhar fil Madhalim, yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding.
Selain itu, Khalifah Bani Umayyah juga mengangkat
pembantu-pembantu sebagai pendamping yang sama sekali berbeda dengan Khalifah
sebelumnya. Mereka merekrut orang-orang non Muslim menjadi pejabat-pejabat
dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan kesatuan dalam
militer. Hal ini terjadi sejak Muawiyah menjabat sebagai Khalifah, yang
kemudian diwarisi oleh keturunannya. Tetapi pada zaman Umar bin Abdul Azis kebijakan
tersebut dihapus, karena orang-orang non Muslim (Yahudi, Nasrani dan Majusi)
yang memperoleh privilage di dalam pemerintahan banyak merugikan
kepentingan umat Islam, bahkan menganggap mereka rendah.
b) Politik Luar Negeri
Politik luar negeri Bani Umayyah adalah politik
ekspansi yaitu melakukan perluasan daerah kekuasaan ke negara–negara yang belum
tunduk pada kerajaan Bani Umayyah. Pada zaman Khalifah ar-Rasyidin wilayah
Islam sudah demikian luas, tetapi perluasan tersebut belum mencapai tapal batas
yang tetap, sebab di sana-sini masih selalu terjadi pertikaian dan
kontak-kontak pertempuran di daerah perbatasan. Daerah-daerah yang Islam, dari
belakang garis perebutan tersebut. Bahkan musuh diluar wilayah Islam telah berhasil
merampas beberapa wilayah kekuatan Islam ketika terjadi perpecahan-perpecahan dan
permberontakan-pemberontakan dalam negeri kaum muslimin. (Syalaby,
1971:139).
Berdasarkan kedaan semacam ini, terjadilah
pertempuran-pertempuran antara BaniUmayah dan negara-negara tetangga yang telah
ditaklukkan pada masa khilafaur rasyidin. Di sebelah Timur, Muawiyah
dapat menguasai Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke
Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium,
Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah dilanjutkan oleh Khalifah
Abdul Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan
Balk, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya sampai ke
India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke Barat secara besar-besaran dilanjutkan di
zaman Walid bin Abdul Malik.Pada masa pemerintahannya tercatat suatu ekspedisi
militer dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, pada
tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan Marokka dapat ditaklukkan, Tariq bin
Ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat yang memisahkan antara
Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang
dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan.
Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi
selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul
kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota
Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova.
Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan
dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita
akibat kekejaman penguasa Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke
Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn
Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia
menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh,
dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut
pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman
Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di
Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas.
Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina,
jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Asia Tengah
Dengan demikian, ekspansi yang dilakukan oleh orang
Islam di masa Bani Umayyah adalah semata-mata suatu tindakan untuk membela diri
(defensif) dan jihad untuk menyiarkan agama Islam, terutama terhadap
penganut-penganut kepercayaan syirik, yang menghalang-halangi sampainya ajaran
Islam ke dalam hati sanubari rakyat yang telah lama menanti-nantikannya. Perluasan
yang dilakukan pada masa Bani Umayyah meliputi tiga front penting, yaitu Khalifah
Ustman bin Affan. Ketiga front itu sebagai berikut :
1.
Front pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia Kecil. Dimasa
pemerintahan Bani Umayyah, pertempuran di front ini telah meluas, sampai
meliputi pengepungan terhadap kota Konstantinopel, dan penyerangan terhadap
beberapa pulau di lauttengah.
2.
Front Afrika Utara. Front ini meluas sampai ke pantai Atlantik,
kemudian menyeberangi selat Jabal Thariq dan sampai ke Spanyol.
3.
Front Timur. Ini meluas dan terbagi kepada dua cabang, yang satu
menuju ke utara, ke daerah-daerah diseberang sungai Jihun (Amru Dariyah). Dan
cabang yang kedua
4.
menuju ke Selatan, meliputi daerah Sind, wilayah India di bagian
Barat .
3. Sistem Ekonomi
Pada masa Bani Umayyah ekonomi mengalami kemajuan yang
luar biasa. Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, maka hal itu
memungkinkannya untuk mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri taklukan.
Mereka juga dapat mengangkut sejumlah besar budak ke Dunia Islam. Penggunaan
tenaga kerja ini membuat bangsa Arab hidup dari negeri taklukan dan
menjadikannya kelas pemungut pajak dan sekaligus memungkinkannya
mengeksploitasi negeri-negeri tersebut, seperti Mesir, Suriah dan Irak.
Tetapi bukan hanya eksplotasi yang bersifat menguras
saja yang dilakukan oleh Bani umayyah, tetapi ada juga usaha untuk memakmurkan
negeri taklukannya. Hal ini terlihat dari kebijakan Gubernur Irak yang saat itu
dijabat oleh al-Hajjaj bin Yusuf. Dia berhasil memperbaiki saluran-saluran air
sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran
timbang, takaran dan keuangan.
Jadi sumber ekonomi masa Daulah Bani Umayyah berasal
dari potensi ekonomi negeri-negeri yang telah ditaklukan dan sejumlah budak
dari negara-negara yang telah ditaklukkan diangkut ke Dunia Islam. Tetapi
kebijakan yang paling strategis pada masa Daulah Bani Ummayah adalah adanya sistem
penyamaan keuangan. Hal ini terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik. Dia mengubah
mata uang asing Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai
Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai
kata-kata dan tulisan Arab. Mata uang tersebut terbuat dari emas dan perak sebagai
lambang kesamaan kerajaan ini dengan imperium yang ada sebelumnya. (Yatim,
2003:44)
G. Kemajuan Intelektual
Kehidupan ilmu dan akal, pada masa Dinasti Bani Umayyah
pada umumnya berjalan seperti zaman khalafaur rasyidin, hanya beberapa
saja yang mengalami kemajuan, yaitu mulai dirintis jalan ilmu naqli,
berupa filsafat dan eksakta. Pada saat itu, sebagaimana masa sebelumnya, ilmu
berkembang dalam tiga bidang, yaitu diniyah, tarikh dan filsafat.Tokoh
filsafat yang terkenal (beragama nasrani) adalah Yuhana al Dimaski, yang
dikenal dalam Dunia KRISTEN sebagai Johannes Damacenes, yang kemudian
diteruskan oleh muridnya yang bernama Abu Qarra.
Kebanyakan masyarakat dan Khalifah Bani Umayyah
mencintai syair. Pada masa itu lahir beberapa penyair terbesar, seperti
Ghayyats Taghlibi al-Akhtal, Jurair, dan Al- Farazdak. Kota-kota yang menjadi
pusat kegiatan ilmu, pada masa Daulah Bani Umayyah, asih seperti zaman khafaur rasyidin, Yaitu
kota Damaskus, Kufah, Basrah, Mekkah, Madinah, Mesir dan ditambah lagi dengan
pusat-pusat baru, seperti kota Kairawan, Kordoba, Granada dan lain-lainnya.
Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Umayyah terbagi
menjadi dua yaitu:
1.
Al-Adaabul Hadisah (ilmu-ilmu baru), yang terpecah menjadi dua bagian:
·
Al-Ulumul Islamiyah, yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an, al-Hadist, al-Fiqh, al-ulumul Lisaniyah,
at-Tarikh dan al-Jughrafi.
·
Al-Ulumud Dakhiliyah, yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan oleh kemajuan Islam, seperti
ilmu thib, fisafat, ilmu pasti dan ilmu-ilmu eksakta lainnya yang disalin dari bahasa
Persia dan Romawi.
2.
Al-Adaabul Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di zaman Jahiliah dan di zaman khalafaur rasyidin, seperti ilmu-ilmu
lughah, syair, khitabah dan amsaal.
Pada permulaan masa Daulah Bani Umayyah orang Muslim
membutuhkan hokum dan undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Oleh karena
itu mereka mempunyai minat yang besar terhadap tafsir al-Qur’an. Ahli tafsir
pertama dan termashur pada masa tersebut adalah Ibnu Abbas. Beliau menafsirkan
al-Qur’an dengan riwayat dan isnaad.
Kesulitan-kesulitan kaum muslimin dalam mengartikan
ayat-ayat al-Qurr’an dicari dalam al-Hadist. Karena terdapat banyak hadist yang
bukan hadist, maka timbullah usaha untuk mencari riwayat dan sanad al-Hadist,
yang akhirnya menjadi ilmu hadist dengan segala cabang-cabangnya. Maka kitab
tentang ilmu hadist mulai banyak dikarang oleh orang-orarng Muslim. Diantara
para muhaddistin yang termashur pada zaman itu, yaitu: Abu Bakar Muhammad bin
Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhry, Ibnu Abi Malikah
(Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auza’I Abdur Rahman bin
Amr, Hasan Basri Asy-Sya’bi.
H. Sebab-Sebab Runtuhnya Bani Umayyah
Kebesaran yang telah diraih oleh Dinasti Bani Umayyah
ternyata tidak mampu menahan kehancurannya, yang diakibatkan oleh beberapa
faktor antara lain:
1.
Pertentangan antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi
dua kelompok, yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan
Arab Selatan (Himyariyah) yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman Dinasti Bani
Umayyah persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para Khalifah
cenderung kepada satu pihak dan menafikan yang lainnya.
2.
Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka adalah
pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa taklukkan yang mendapatkan sebutan mawali.
Status tersebut menggambarkan infeoritas di tengah-tengah keangkuhan
orang-orang Arab yang mendapatkan fasilitas dari penguasa Umayyah. Padahal
mereka bersama-sama Muslim Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan
beberapa orang di antara mereka mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata
bangsa Arab. Tetapi harapan mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak
bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada mawali
itu jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada
orang Arab.
3.
Sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatru
yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
Pengaturannnya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah ini
menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga
Istana.
4.
Kerajaan Islam pada zaman kekuasaan Bani Umayyah telah demikian luas
wilayahnya, sehingga sukar mengendalikan dan mengurus administrasi dengan baik,
tambah lagi dengan sedikitnya jumlah penguasa yang berwibawa untuk dapat menguasai
sepenuhnya wilayah yang luas itu.
5.
Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat
dilepaskan dari konflik-konflik politik. Kaum Syi’ah dan Khawarij terus
berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam
keutuhan kekuasaan Umayyah.
6.
Adanya pola hidup mewah di lingkungan istana menyebabkan anak-anak
Khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi
kekuasaan. Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian
penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
7.
Penindasan terus menerus terhadap pengikut-pengikut Ali pada
khususnya, dan terhadap Bani Hasyim (Hasyimiyah) pada umumnya, sehingga mereka
menjadi oposisi yang kuat. Kekuatan baru ini, dipelopori oleh keturunan
al-Abbas ibn Abdul al- Muthalib dan mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim
dan golongan Syi’ah dan kaum mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan
Bani Umayyah. Hal ini menjadi penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti
Bani Umayyah. (Yatim,2003:48-49)
I. Kesimpulan
Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah
merubah sistem pemerintahan yang demokratis menjadi monarchi (sistem
pemerintahan yang berbentuk kerajaan). Kerajaan Bani Umayyah diperoleh melalui
kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak
sebagaimana dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin. Meskipun
mereka tetap menggunakan istilah Khalifah, namun mereka memberikan interpretasi
baru untuk mengagungkan jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam
pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.
Kekuasaan Bani Umayyah berlangsung selama 90 tahun
(680-750 M). Dinasti ini dipimpin oleh 14 Khalifah, dengan urutan raja sebagai
berikut yaitu: Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn
Hakam, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, Sulaiman ibn Abdul Malik,
Umar ibn Abdul Aziz, Yazid ibn Abdul Malik, Hisyam ibn Abdul Malik, Walid ibn
Yazid, Yazid ibn Walid (Yazid III), Ibrahim ibn Malik dan Marwan ibn Muhammad.
Pada masa Daulah Bani Umayyah banyak kemajuan yang
telah dicapai. Ekspansi yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali
dilanjutkan oleh Dinasti ini. Sehingga
kekuasaan Islam betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu
meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak,
sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan,
Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah.
Di samping melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam,
Bani Umayyah juga berjasa dalam bidang pembangunan dan kemajuan ilmu
pengetahuan, misalnya mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata,
mencetak mata uang. Ilmu naqli, yaitu filsafat dan ilmu eksakta mulai
dirintis. Ilmu tafsir al-Qur’an berkembang dengan pesat, karena orang Muslim
membutuhkan hukum dan undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Apabila
menemui kesulitan dalam melakukan penafsiran, mereka mencarinya dalam
al-Hadist. Karena banyaknya hadist palsu, maka timbullah usaha untuk mencari
riwayat dan sanad al-Hadist, yang akhirnya menjadi ilmu hadist dengan segala cabang-cabangnya.
Daftar Pustaka
Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2,
Pustaka Al Husna Baru, Jakarta, 2003
Ahmad Al Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad
XX, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta, 2003
Dr. Badri Yatim. M.A., Sejarah Peradaban Islam Dirosah Islamiyah,
Rajawali Press, Jakarta, 2006
Ahmad Rizky
Mardhatillah Umar, Sejarah
Khilafah Bani Umayyah: Konstruksi Kekuasaan, Oposisi, dan Politik
Luar Negeri , http:// kammikomsatugm. wordpress.com, 2009
__________
Berbagai Sumber Artikel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar