--- SELAMAT DATANG DI WEBSITE LEMBAGA STUDI ISLAM MADANI --- PESANTREN MADANI KOTA CIMAHI --- YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM MADANI KOTA CIMAHI JAWA BARAT INDONESIA --- TELP. 085624018800 ATAU 082117533596 ---

Kamis, 20 Oktober 2011

FIQH ISLAM

ZAKAT PROFESI ATAU JASA
Oleh Khambali
 

1. Pengertiannya
Zakat profesi atau jasa disebut sebagai  زكاة كسب العمل  yang artinya zakat yang dikeluarkan dari sumber usaha profesi atau pendapatan jasa. Istilah profesi disebut sebagai suatu pekerjaan tetap dengan keahlian tertentu, yang dapat menghasilkan gaji, honor, upah atau imbalan.
Ada berapa macam profesi yang mungkin dapat menjadi sumber zakat; antara lain:
  1. Profesi dokter yang dapat dikategorikan sebagai The medical profession;
  2. Profesi pekerja teknik (Insinyur) yang dapat dikategorikan sebagai The engineering profession;
  3. Profesi guru, dosen, guru besar atau tenaga pendidik yang dapat dikategorikan sebagai The teaching profession;
  4. Profesi advokat (pengacara), konsultan, wartawan dan sebagainya.
Orang yang menyandang predikat ini, ada kemungkinan ia dapat menjadi subyek zakat profesi yang dapat membantu kesulitan ekonomi para Fakir Miskin. Maka berikut ini akan kita lihat ketentuannya dalam hukum Islam.

2. Ketentuan Hukumnya
Zakat profesi hukumnya wajib bagi penghasilan bersih dari seseorang yang telah mendapatkan gaji, honor atau upah yang telah memenuhi sekurang-kurangnya satu nisab, berdasarkan maksud ayat Al-Quran berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ……
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu …..”. (Q.S. Al-Baqarah: 267)
Dari makna yang terkandung dalam ayat ini, maka Fuqaha (Ahli Hukum Islam) menetapkan adanya kewajiban mengeluarkan zakat profesi yang digali dari kata مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ diartikan sebagai penghasilan dari kata hasil usaha profesi atau dari hasil jasa seseorang.
Mengenai ketentuan satu nisab penghasilan profesi, menjadi dua pendapat di kalangan Ulama Hukum Islam; Misalnya:
  1. Prof. Dr. Abdurrahman Hasan, Imam Muhammad Abu Zahrah dan Imam Abdul Wahhab Khaffar mengemukakan, bahwa nisabnya sekurang-kurangnya lima wasaq atau 300 sha’ yang meliputi 930 liter, sehingga kadar zakatnya juga disamakan (dikiaskan) kepada zakat pertanian yang mendapatkan pengairan dari petani (bukan tadah hujan ); yaitu 5 %.
  2. Pendapat kebanyaan Ulama, Indonesia mengatakan, bahwa satu nisab zakat profesi adalah seharga 93,6 gram emas murni, yang dihitung dari penghasilan bersih yang telah dikeluarkan seluruh biaya hidup seseorang. Yang kelebihan itulah yang dihitung dalam satu tahun lalu dikeluarkan zakatnya 2,5%.
Ini merupakan kias (analogi) dari zakat mata uang yang sudah ada ketentuannya dalam hadits.
Pendapat yang Kedua inilah yang dianggap sangat cocok diterapkan untuk memasyarakatkan zakat profesi di Indonesia. Karena obyak zakatnya adalah gaji, honor atau upah, maka kiasannyapun harus dianalogikan kepada zakat mata uang.












ARAK YANG SUDAH BERUBAH

Arak itu bisa berubah dengan sendirinya tanpa ada orang yang merubahnya, seperti ia berubah sendiri menjadi cuka. Dan juga bisa berubah karena ada orang yang merubahnya. Perubahan itu sendiri bisa terjadi dengan cara memasukkan sesuatu seperti bawang, roti, ragi, batu dan lain sebagainya. Atau dengan cara memindahkannya dari tempat yang lembab ke tempat yang terkena sinar matahari dan sebaliknya. Atau bisa juga dengan cara mencampurkan cuka.
Mengenai arak yang berubah dengan sendirinya, para Ulama dari madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’I dan madzhab Hambali bersepakat bahwa itu menjadi suci berarti boleh diminum dan dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan yang lain.
Disebutkan dalam Al-Badaai’ush-Shanaai’, “Apabila arak berubah sendiri menjadi cuka, berdasarkan kesepakatan semua ulama ahli fiqh ia boleh diminum.”
Kata Ibnu Rusyd, “Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama ahli fiqh mengenai hukum arak yang berubah sendiri menjadi cuka, ia halal dan suci.”
Dalam kitab Bidaayatul Mujtahid disebutkan, “Para ulama sepakat bahwa arak yang berubah sendiri menjadi cuka itu boleh dimakan.”
Pendapat senada juga disebutkan di dalam kitab Asy-Syahrul Kabiir ‘Ala Matan Al-Khalil, “Termasuk suci ialah arak yang sudah membeku karena unsur yang dapat memabukkan sudah hilang. Hukum itu berlaku bersama ‘illah atau motivnya, ada dan tidak adanya. Karena itulah seandainya arak tersebut dugunakkan atau bahkan diminum dan ternyata masih membuat mabuk maka hukumnya tidak suci, seperti pendapat yang dikutip dari Al-Mazri.
Kata Al-Qurthubi, “Imam Malik dan sahabat-sahabatnya sepakat bahwa arak yang berubah sendiri menjadi cuka itu halal dimakan. Itulah pendapat Umar bin Khatab, Qabishah, Ibnu Syihab dan Rabi’ah.”
Kata An-Nawawi, “Apabila arak berubah menjadi cuka dengan sendirinya yang dikutip oleh Al-Qadhi Abdul Wahab Al-Maliki, hal itu memang sudah disepakati oleh para ulama ahli fiqh.
Disebutkan dalam kitab Al-Mughni Al-Muhtajj, “Tidak ada barang najis menjadi suci kecuali arak yang berubah sendiri menjadi cuka. Sebab alasan arak dihukumi najis dan haram adalah karena ia bisa memabukkan, dan alasan tersebut sudah tidak ada pada arak yang sperti itu. Biasanya, jika masih berupa perasan ia belum bisa berubah menjadi cuka. Jadi kalau arak seperti tadi tidak kita katakan suci, maka sulit mewujudkan cuka yang berdasarkan kesepakatan para ulama hukumnya halal.”
Dalam kitab Al-Mughni Ibnu Qadamah mengatakan, “Menurut pendapat yang diunggulkan, tidak ada barang najis yang menjadi suci karena berubah. Kecuali arak yang berubah sendiri menjadi cuka. Selain arak tidak bisa dihukumi suci.”
Para Ulama fiqh yang mengatakan arak yang berubah sendiri menjadi cuka itu hukumnya suci, mereka berpegang pada dalil-dalil sebagai berikut:
  1. Hadits yang bersumber dari ‘Aisyah r.a., sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Sebaik-baiknya lauk-pauk itu cuka.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim
  2. Hadits yang bersumber dari Abu Sofyan dari Jabir bin Abdullah sesungguhnya Nabi saw pernah meminta lauk-pauk kepada keluarganya. Mereka menjawab, “Kami tidak punya apa-apa selain cuka.” Beliau meminta lalu dimakannya seraya bersabda,”Sebaik-baiknya lauk-pauk adalah cuka. Sebaik-baiknya lauk-pauk ialah cuka.” Diriwayatkan oleh Muslim

Disebutkan dalam satu riwayat hadits yang bersumber dari Thalhah bin Nafi’ sesungguhnya ia mendengar jabir bin Abdullah pernah mengatakan, “Pada suatu hari Rasulullah saw menggandeng tanganku ke rumah beliau. Lalu beliau disuguhi keluarganya sepotong roti. Beliau bertanya, “Apakah ada lauknya?” Mereka menjawab, “Tidak ada. Hanya sedikit cuka.” Beliau bersabda, “Cuka adalah lauk-pauk  yang baik” Kata Jabir, “Sejak mendengar itu dari Nabi saw aku selalu menyukai cuka.” Dan kata Thalhah, “Sejak aku mendengar itu dari Jabir, aku jadi menyukai cuka.” Diriwayatkan oleh Muslim.
Disebutkan dalam sebuah riwayatkan lain dari Abu Sufyan Thalhah bin Nafi’ ia berkata, “Aku pernah mendengar Jabir bin Abdullah berkata, “Ketika aku sedang duduk dirumahku, lewatlah Rasulullah saw. Atas Isyarat beliau aku berdiri lalu menghampiri beliau. Tanganku digandengnya. Kami lalu berangkat. Ketika beliau sampai di komplek kamar isteri-isterinya, beliau lalu masuk dan memberiku izin untuk ikut masuk pula. Beliau bertanya, “Apakah ada makanan?” Mereka menjawab, “Ada” Mereka lalu membawa tiga potong roti dan disuguhkan di hadapan beliau, Rasulullah saw mengambil sepotong lalu ditaruh di depannya. Lantas mengambil sepotong lagi dan ditaruh di depanku. Dan sepotong terakhir juga beliau ambil. Setelah memecahnya menjadi dua, separuh beliau taruh di depannya dan yang separuh lagi beliau taruh di depanku. Kemudian beliau bertanya, “Apakah ada lauk-pauknya?” Meraka menjawab, “Tidak”. Hanya ada sedikit cuka.” Diriwayatkan oleh Muslim.

  1. Bersumber dari Ummi hani’ binti Abu Thalib ia berkata, “Rasulullah saw menemuiku dan bertanya, “Tidak. Itu hanya ada sepotong roti kering dan cuka.” Beliau bersabda, “Hidangkan kemari. Alangkah miskinnya rumah yang tidak menyimpan lauk-pauk berupa cuka.” Diriwayatkan oleh Turmudzi.

Segi yang bisa dijadikan dalil dari riwayat-riwayat tersebut ialah, isinya yang mengandung penegasan tentang diperbolehkannya makan cuka mengingat justru merupakan lauk-pauk yang paling baik. Semua orang tahu bahwa cuka itu berbeda sekali dengan arak, kendatipun berasal daripadanya. Ini menunjukkan bahwa apabila arak berubah menjadi cuka dengan sendirinya maka hukumnya halal dimakan dan dimanfaatkan untuk keperluan-keperluan yang lain. Dikatakan berubah dengan sendirinya, karena memang ada beberapa hadits yang melarang membuat arak menjadi cuka. Untuk mengkompromikan keduanya bisa disebutkan bahwa arak yang  berubah sendiri menjadi cuka hukumnya boleh, tetapi apabila ia mejadi berubah karena dimasuki sesuatu maka hukumnya tidak boleh.

  1. sesungguhnya motif yang menjadikan suatu barang dihukumi najis dan haram ialah karena ia memabukkan, dan hal ia sudah tidak ada pada arak yang seperti tadi. Selain itu, biasanya perasan tidak bisa menjadi cuka begitu saja sebelum ia benar-benar menjadi arak. Kalu itu tidak kita katakan suci, maka sulit ada cuka yang halal. Padahal berdasarkan kesepakatan para ulama, cuka yang seperti itu hukumnya memang halal.

Al-Kharsyi dalam kitab Syarhu Mukhtashar Khalil mengatakan, “Sesungguhnya arak yang berubah menjadi cuka itu hukumnya suci, karena najisnya itu terkait dengan unsur kelembabannya yang sangat kuat. Apabila itu sudah tidak ada maka ia tidak bisa disebut najis lagi. Ada dan tidaknya hukum haram dan najis itu berputar sesuai dengan motif atau illahnya.
Kata An-Nawawi, “Para ulama sepakat, apabila arak berubah sendiri menjadi cuka maka hukumnya suci. Tetapi pendapat yang dikutip dari Sahnun Al-Maliki menyatakan, bahwa ia tidak bisa dihukumi suci. Kalupun pendapat itu benar dikutip darinya, ia akan disanggah oleh kesepakatan para ulama sebelumnya. Wallahua’lam
Kata Ibnu Qadamah, “Menurut pendapat hampir seluruh ulama, apabila arak yang berubah sendiri menjadi cuka maka ia hukumnya halal dan suci. Diriwayatkan bahwa orang-orang salaf biasa memasak cuka yang seperti itu. Mereka antara lain adalah Ali, Abu Darda’, Ibnu Umar dan Aisyah.
Mengenai masalah kedua yakni hukum arak yang berubah karena perbuatan seseorang, para ulama ahli fiqh berbeda pendapat sebagai berikut:
  1. Boleh hukumnya merubah arak menjadi cuka. Dan apabila ia sudah menjadi cuka hukumnya halal dan suci. Demikian pendapat ulama-ulama dari madzhab Hanafi, pendapat unggulan dikalangan madzhab Maliki, pendapat Atha, Amr bin Dinar dan Al-Harits Al-Akli.

Kata Al-Khaththabi, “Menurut Atha bin Abu Rabbah dan Umar bin Abdul Aziz, tidak apa-apa hukumnya membuat arak menjadi cuka. Dan pendapat inilah yang dikutip oleh Imam Abu Hanifah.
Al-Kasani dalam kitab Al-Badaai’ush-Shanaai’ mengatakan, Apabila seseorang membuat arak menjadi cuka dengan cuka atau garam atau benda-benda lainnya, menurut kami hal ini hukumnya boleh dan cukanya halal.
Menurut salah satu pendapat yang terdapat dikalangan para ulama madzhab Syafi’I dan juga salah satu pendapat yang ada dikalangan para ulama madzhab Hanbali, apabila arak berubah menjadi cuka dengan cara memindahkannya dari ruangan yang terkena sinar matahari ke ruangan yang teduh atau sebaliknya tanpa sengaja, hal itu hukumnya boleh. Mereka menganggapnya sama seperti arak yang berubah sendiri menjadi cuka.

  1. Tidak boleh hukumnya merubah arak mejadi cuka, baik degan cara memindahkannya dari tempat yang teduh ke tempat yang terkena sinar matahari atau dari tempat yang terkena sinar matahari ke tempat yang teduh atau dengan memasukkan sesuatu ke dalamnya. Demikian pendapat yang diunggulkan dikalangan para ulama dari madzhab maliki. Tetapi mereka juga mengatakan bahwa setelah berubah menjadi cuka hukumnya suci meskipun perubahan merubahnya tersebut hukumnya haram. Sementara menurut para ulama dari madzhab Syafi’I dan madzhab Hanbali, menganggap tidak boleh hukumnya merubah arak menjadi cuka. Jadi sekalipun ia menjadi cuka tetap saja ia najis.

Kata Al-Khathatabi, “Pendapat yang mengharamkan merubah arak menjadi cuka tadi adalah  pendapat Umar bin Khathab ra. Dan pendapat ini diikuti oleh Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangakan Sufyan bin Ibnu Al-Mubarak menganggapnya makruh. Imam Malik menyatakan tidak suka kepada seorang muslim yang mewariskan arak untuk disimpan hingga menjadi cuka. Tetapi kalau arak tersebut rusak hingga menjadi cuka, maka menurutnya hal itu boleh dimakan.
Kata an-Nawawi, “arak yang berubah menjadi cuka karena dimasuki suatu perasan atau cuka atau roti yang panas atau garam atau yang lain, berdasarkan kesepakatan sahabat-sahabat kami hukumnya haram. Jika ia sudah menjadi cuka maka cuka itu hukumnya najis.
Disebutkan dalam kitab Mukhtasharul kharaqi yang ditulis para ulama madzhab Hanbali, “Apabila ada arak rusak lalu beruabah menjadi cuka maka keharamannya tetap ada. Tetapi kalau Allah merubah barangnya sehingga menjadi cuka maka hukumnya halal.
Dalil-dalil ulama yang berpendapat boleh merubah arak menjadi cuka,
Para ulama yang berpendapat boleh marubah arak menjadi cuka dengan penanganan, mereka menunjuk dalil-dalil sebagai berikut:
  1. Hadits yang bersumber dari Aisah ra sesungguhnya Nabi saw bersabda,” sebaik-baiknya lauk-pauk ialah cuka.” Diriwayatkan oleh Muslim
Hadits yang senada juga diriwayatlan dari Jabir bin Abdullah dari Ummi Hani abu Thalib. Segi yang dijadikan dall dari hadits tadi ialah, penegasan Rasulullah saw bahwa cuka itu hukumnya halal, bahkan ia dianggap sebagai lauk-pauk yang paling baik. Sebelum menjadi cuka, biasanya ia merupakan arak terlabih dahulu. Jadi itu merupakan bukti diperbolehkannya arak yang telah menjadi cuka secara mutlak, baik itu berubah dengan sendirinya atau dengan cara penanganan.
Hal itu disanggah dengan alasan bahwa hadits tersebut adalah terkait dengan masalah arak yang berubah sendiri menjadi cuka tanpa ada penanganan. Adapun yang terkait dengan masalah yang sedang dibicarakan ini ialah hadits-hadits yang melarang merubah arak menjadi cuka.

  1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daruqtni dari farj bin Fadhalah dari Yahya bin Sa’id dari Umarah dari Ummu Salamah ra berkata,” Seekor kambing yang kami punyai mati. Nabi saw bertanya, “ Apa yang akan kalian lakukan terhadap kambing itu?” Kami menjawab, “ Ia sudah mati”. Beliau bertanya, “Kenapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya?” kami menjawab,”Ia sudah menjadi bangkai”. Beliau bersabda, “Kulitnya menjadi halal dengan disamak, seperti cuka arak yang cuka halal.”

Segi yang dijadikan dalil dari hadits tadi ialah, penjelasan Rasulullah saw bahwa kulit bangkai itu bisa menjadi halal setelah disamak, seperti halnya arak yang bisa menjadi halal. Ini merupakan penegasan bahwa cuka dari arak itu diperbolehkan. Beliau tidak menjelaskan apakah arak yang sudah berubah mnejadi cuka itu berubah dengan sendirinya atau karena ada penanganan. Jadi hadits tadi mencakup dua hal sekaligus.
Tetapi hal itu disanggah dengan dua alasan:
Pertama, bahwa hadits tersebut dha’if. Menurut Ad-daruquthni hadits tadi hanya diriwayatkan secara tunggal atau sendirian oleh Farj bin Fudholahdari Yahya seorang perawi yang dhaif. Ada beberapa hadits yang diriwayatka dari Yahya bin Sa’ad yang tidak patut diikuti.
Kata Ibnu Al-qayyim,”Menurut al-hakim, hanya al-farj bin fudhalah yang meriwayatkan hadis tersebut dari yahya. Sedangkan dari hadits yang diriwayatkan oleh al-farj itu tidak bisa dijadikan sebaga hujjah atau argument. Jadi tafsir riwayat al-farj ialah, apabila arak berubah dan menjadi cuka maka hukumnya halal berdasarkan tafsiran yang disampaikan oleh perawi hadits tadi maka tidak ada lagi yang perlu diperselisihkan. Menurut ad-daruqutni, Abdurrahman bin Mahdi itu tidak pernah meriwayatkan hadits dari al-farj bin fudhalah. Bahkan ada bebrapa hadits maklub dan mungkar yang diriwayatkan dari yahya bin sa’ad al-ansyari. Menurut Al-Bukhari, Al-farj bin fudhalah adalah orang yang mengingkari hadits.
Kedua, katakan misalnya hadits tersebut shahih, tetapi ia terkait dengan masalah arak yang berubah dengan sendirinya. Dan ini, seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya tidak ada yang diperselisihkan.

  1. Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Mughirah bin Ziyad dari Abu Zubair  dari Jabir dari Nabi saw sesungguhnya beliau bersabda,”Cuka kalian yang baik ialah cuka arak kalian”.

Segi yang dijadikan dalil dari hadits ialah penegasan Nabi saw bahwa cuka yang baik ialah yang berubah dari arak. Beliau tidak menyebut secara khusus tentang arak yang berubah sendiri atau yang ditangani. Jadi, hal itu menunjukkan secara umum.
Penggunaan dalil seperti itu disanggah dengan dua alasan:
Pertama, hadits tersebut dha’if. Ia diriwayatkan oleh Al-Baihaqi secara marfu’ dalam ma’rifat dari hadits al-Mughirah dari Ziyad bin Abu Zubair dari Jabir. Menurutnya, hadits ini dhai’f.
Disebutkan dalam Mukhtasharul Maqashid al-Hasanah, sesungguhnya hadits ini dlai’f.
Setelah memperhatikan atas tadi, Syaikh A-islam Ibnu Taimiyah memberikan komentarnya, “Nabi saw pernah menyatakan ucapan seperti itu. Siapa yang mengaku mengutip dari beliau berarti ia telah melakukan kesalahan besar. Tetapi ucapan itu memang benar. Jadi yang membikin arak menjadi cuka bukan karena ada airnya, tetapi karena kehendak Alah lah yang merubahnya.”
Kata Ibnu A-Qayim, “Al-Mughirah ini nama lainnya ialah Abu Hisyam yang terkenal dengan riwayat hadits-hadits munkarnya. Ia pernah meriwayatkan sejumlah hadits munkar dari Atha’ bin Abu Rabbah dan Abu Zubair. Dan ia juga pernah meriwayatkan hadits gharib sekaligus maudhu’ dari Ubadah bin Nasi. Tidak heran kalau apa yang  ia riwayatkan itu bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang dijamin bersumber dari Raslullah saw tentang larangan merubah arak menjadi cuka.
Ulama-ulama yang tinggal di Madinah kota tempat tinggal Rasulullah saw mengingkari hal itu. Kata Al-Hakim, “Aku pernah mendengar Abul Hasan Ali bin Isa Al-Hairi mengatakan, “Aku pernah mendengar Muhammad bin Ishaq mengatakan,”Aku pernah mendengar Qutaibah bin Sa’id mengetakan, “Pada zaman penguasa malik aku pernah tiba di madinah. Aku menemui seorang qadhi. Aku bertanya,”Anda punya cuka dari arak?” Si qadhi berkata dengan heran, ”subhanallah! Di kota yang diharamkan Rasulullah saw ini kamu Tanya tentang barang maksiat itu! “Kemudian sepeninggalan penguasa Malik aku menuturkan hal itu kepada mereka, dan ternyata tidak ada seorangpun dari mereka yag mengingkariku.”
Kedua, katakan hadits tadi shahih, tetapi ia terkait dengan masalah arak yang berubah sendiri menjadi cuka. Dan itu sudah disinggung oleh hadits yang diriwayatkan oleh al-Farj bin fudhalah di atas.

  1. Sesungguhnya diriwayatkan tentang banyaknya sahabat yang menggunakan cuka dari arak. Ada riwayat yang menyatakan bahwa menurut Ibnu Umar ra memakan arak yang sudah berubah manjadi cuka itu hukumnya tidak apa-apa.

Diriwayatkan dari Ali ra bahwa ia pernah memasak cuka dari arak lalu memakannya.
Juga ada riwayat yang menyatakan bahwa Aisyah pernah ditanya tentang cuka dari arak, dan ia menjawab,”tidak apa-apa, itu adalah lauk-pauk.”
Segi yang dijadikan dalil dari sejumlah riwayat tersebut ialah penegasan diperbolehkannya cuka dari arak. Dan itu adalah seperti kesepakatan atau ijma’.
Tetapi hal itu disanggah dengan alasan bahwa penegasan riwayat-riwayat tersebut adalah terkait dengan masalah arak yang berubah sendiri menjadi cuka. Bukan yang lewat cara penanganan atau pembuatan.

  1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra berkata,’Seekor kambing yang diberikan kepada budak perempuan milik Maimunah sebagai zakat didapati oleh Nabi saw sudah mati. Beliau bertanya, “Kenapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya?” Para sahabat menjawab,”Ia sudah menjadi bangkai.” Beliau bersabda, “Yang diharamkan itu hanya memakannya.” Disepakati oleh Al-bukhari dan Muslim

Bersumber dari Ibnu Abbas ra ia berkata,”Rasulullah saw bersabda,”setiap kulit yang sudah disamak hukumnya benar-benar suci.”
Bersumber dari Saudah isteri Nabi saw ia berkata,” Seekor kamibing milik kami mati. Setelah kami samak kulitnya, kami terus-terusan menjadikannya sebagai anggur sampai menjadi kurus.”
Segi dari hadits-hadits di atas adalah penegasan diperbolehkannya kulit bangkai binatang setelah disamak. Kalau ia menjadi suci dengan disamak, demikian pula seharusnya dengan arak yang menjadi suci karena telah berubah mejadi cuka, baik berubah dengan sendirinya atau dengan adanya penanganan.
Tetapi hal itu disanggah dengan alasan bahwa membandingkan nash-nash shahih yang secara tegas melarang merubah arak mejadi cuka itu tidak diperbolehkan, karena hal itu sama halnya dengan qiyas membandingkan nash. Menurut Al-Khaththabi, menyamakan hukum merubah arak menjadi cuka dengan hukum menyamak kulit bangkai binatang itu tidak tepat. Yang boleh sebenarnya adalah menganalogkan dengan syarat kalau tidak ada nash. Sementara dalam masalah ini sudah ada nashnya berupa as-sunnah yang melarangnya, dan dalam masalah menyamak kulit bangkai binatang juga sudah ada  nashnya yang memberikan kemurahan sehingga hukumnya dianggap suci. Jadi seharusnya kita mengikuti kedua masalah tersebut apa adanya, dan tidak perlu menganalogikan salah satu kepada yang lain.
  1. Menganggap suci suatu masalah itu tidak membedakan apakah berasal dari kehendak Allah atau berasal dari perbuatan manusia. Jadi, persoalannya sama seperti dengan menganggap suci pakaian, tubuh dan tanah.

Hal itu disanggah dengan alasan bahwa arak yang beruabah sendiri itu motif keharamannya otomatis hilang, tanpa meningalkan motif lain di belakangnya. Jadi ia suci. Sama seperti air. Ia juga menjadi suci karena hal-hal yang motif yang membuatnya berubah sudah hilang dengan cara didiamkan saja. Apabila ia dimasuki suatu benda maka karenanya ia menjadi najis. Dan apabila ia berubah lagi, maka benda yang dimasukkan tadi tetap saja najis.

  1. Perubahan cuka menjadi arak itulah penyebab kehalalan sehingga diperbolehkan. Buktinya, dengan usaha itu benda yang cair menjadi masam sehingga susah dibedakan bekas rasa pahitnya. Dan itu mungkin karena rasa masamnya lebih dominan daripada rasa pahitnya yang tetap ada pada barangnya, atau karena faktor perubahan arak dari rasa pahit ke rasa masam. Yang pertama rasanya tidak beralasan. Sebab rasa masam pada garam itu pasti mengalahkan rasa pahit. Demikian pula dengan memasukan sedikit gula sehingga menimbulkan rasa masam, dalam waktu singkat biasanya tidak bisa membuat arak beruabah sendiri menjadi cuka. Sebab yang sedikit itu tidak bisa mengalahkan yang banyak. Kalau begitu timbulnya rasa masam adalah karena faktor biasa yang diberlakukan oleh Allah. Jadi sekali lagi perubahan arak menjadi cuka itulah penyebab kehalalan, sehingga ia boleh dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.

Tetapi hal itu disanggah dengan dua alasan:
Pertama, menganalogkan arak yang berubah menjadi cuka karena adanya penanganan dengan arak yang beruabah sendiri itu tidak dibenarkan, berdasarkan dalil seperti yang telah dikemukakan sebelumnya tadi.
Kedua, berubahnya benda cair ke rasa masam sehingga susah dibedakan bekas rasa pahitnya itu merupakan proses yang harus dilewati bagi cuka. Tetapi dalam proses ini da perbedaan yang harus dipisahkan antara yang terjadi secara alami dengan yang terjadi karena ada faktor penanganan seperti dengan memasukkan suatu benda ke dalamnya. Yang lewat proses pertama hukumnya suci, dan yang lewat proses kedua hukumnya najis.

Tidak ada komentar: