PERKEMBANGAN METODOLOGI TAFSIR AL-QUR’AN
Oleh Khambali
(20010011005)
ABSTRAK
Al-Quran secara
tekstual memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teksnya selalu berubah,
sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Oleh Karena itu, al-Quran selalu
membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan)
dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Dalam
pembahasan perkembangan Metodologi Tafsir Al-Qur’an, meliputi; Pengertian
Metode tafsir Al-Qur’an; Sejarah Perkembangan Metode Tafsir; dan Perkembangan
Macam-macam Metode, yang secara garis besar mengenalkan empat macam (metode),
yaitu: ijmali (global), tahlili (analitik), muqarin
(perbandingan) dan maudhu’I (tematik); dan dilihat dari kelebihan, kelemahan
dan urgensinya. Walaupun selanjutnya terdapat metode yang mengambil dari pendekatan
filsafat dan kebahasaan yang digunakan oleh kaum liberal yang pernah dipakai
untuk tradisi penafsiran bible, yaitu Metode Tafsir Hermeneutika dan Metode Tafsir Semiotika yang ditentang
oleh sebagian ulama Indonesia yang tidak disajikan pada pembahasan makalah ini.
KATA KUNCI: Metodologi,
tafsir dan Al-Qur’an.
PENDAHULUAN
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Kitab yang menempati
posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu
keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan
umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.[1]
Selama empat
belas abad, khazanah intelektual Islam telah diperkaya dengan berbagai macam
perspektif dan pendekatan dalam menafsirkan al-Quran. Walaupun demikian
terdapat kecenderungan yang umum untuk memahami al-Quran secara ayat per-ayat
bahkan kata perkata. Selain itu, pemahaman akan al-Quran terutama didasarkan
pada pendekatan filologis gramatikal. Pendekatan ayat per-ayat atau kata
per-kata tentunya menghasilkan pemahaman yang parsial (sepotong) tentang pesan
al-Quran. Bahkan, sering terjadi penafsiran tersebut, secara tidak semena-mena
menggagalkan ayat dari konteks dan dari aspek kesejarahannya untuk membela
sudut pandang tertentu. Dalam kasus-kasus tertentu, seperti dalam penafsiran
teologis, filosofis, dan sufistis, gagasan-gagasan asing sering dipaksakan ke
dalam al-Quran tanpa memerhatikan konteks kesejarahan dan kesusasteraan kitab
suci al-Quran.[2]
Itulah sebabnya
upaya meraih kebenaran teks dan konteks sebuah ayat, membutuhkan ilmu alat.
Dengan ilmu alat, akan dapat lebih mudah mengaplikasikan makna-makna al-Quran
dalam kehidupan sosial. Apalagi mengenai ayat-ayat al-Quran yang
berkategori mutasyâbih, tentu menjadi rumit dan pelik. Dengan
demikian, penulis sangat tertarik untuk membahas tentang metode tafsir al-Quran
dengan berbagai pembahasan antara lain pengertian, sejarah dan perkembangan
metode tafsir, serta macam-macam metode tafsir yang akan dibahas lebih luas
dalam makalah ini.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Metode Tafsir Al-Qur’an
Kata “metode”
berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti cara atau jalan”. Di
dalam bahasa Inggris kata ini ditulis “method” dan bangsa Arab
menerjemahkannya dengan “tharîqah” dan “manhaj”. Di dalam
pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti, “cara yang teratur
dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan
sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.[3]
Sedangkan
tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’îl”, berasal dari akar kata al-fasr (f,
s, r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan
makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “dharaba-yadhribu-dharban“
dan “nashara-yanshuru-nashran”. Dikatakan “fasara – yafsiru”
dan yafsuru – fasran”, dan “fasarahu”,
artinya “abânahu” (menjelaskannya). Kata at-tafsîr dan al-fasr mempunyai
arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Lisânul ‘Arab dinyatakan,
bahwa kata “al-fasr” berarti menyingkap yang tertutup, sedang kata “at-tafsîr”
berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafazh yang musykil dan pelik.[4] Sedangkan
para Ulama berpendapat, bahwa tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud
firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir).[5]
Tafsir menurut
istilah, sebagaimana yang didefinisikan Abu Hayyan ialah, “Ilmu yang membahas
tentang cara pengucapan lafazh-lafazh al-Quran, tentang petunjuk-petunjuknya,
hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan
makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang
melengkapinya”.
Jadi, yang
dimaksud metode tafsir al-Quran adalah suatu cara yang teratur dan terpikir
baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan
Allah di dalam ayat-ayat al-Quran atau lafazh-lafazh yang musykil yang
diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad s.a.w..
B.
Sejarah
Perkembangan Metode Tafsir
Sejak
Rasulullah s.a.w. dikenal dua cara penafsiran al-Quran. Pertama,
penafsiran berdasarkan petunjuk wahyu. Kedua, penafsiran
berdasarkan ijtihad atau ra’yi. Di masa sahabat, sumber untuk
memahami ayat-ayat Al-Quran di samping ayat Al-Quran sendiri, juga riwayat dari
Nabi s.a.w. dan ijtihad mereka. Pada abad-abad selanjutnya, usaha untuk
menafsirkan al-Quran berdasarkan ra’yi atau nalar mulai berkembang
sejalan dengan kemajuan taraf hidup manusia yang di dalamnya sarat dengan
persoalan-persoalan yang tidak selalu tersedia jawabannya secara eksplisit
dalam al-Quran.[6]
Pada zaman Nabi
s.a.w. dan para sahabat, pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan
mengetahui secara baik latar belakang turun ayat (asbâb an-nuzûl), serta
mengalami secara langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat-ayat al-Quran
turun. Dengan demikian, mereka relatif lebih mampu untuk memahami ayat-ayat
al-Quran secara benar, tepat, dan akurat. Berdasarkan kenyataan sejarah yang
demikian, maka untuk memahami suatu ayat, mereka tidak begitu membutuhkan
uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan global (ijmâliy).
Itulah yang membuat lahir dan berkembangnya tafsir dengan metode ijmâliy (global)
dalam penafsiran al-Quran pada abad-abad pertama.
Pada periode
berikutnya, umat Islam semakin majemuk dengan berbondong-bondong bangsa
non-Arab masuk Islam, terutama setelah tersebarnya Islam ke daerah-daerah yang
jauh di luar tanah Arab. Kondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap
perkembangan pemikiran Islam; berbagai peradaban dan kebudayaan non-Islam masuk
ke dalam khazanah intelektual Islam. Akibatnya, kehidupan umat Islam menjadi
terpengaruh olehnya. Untuk menghadapi kondisi yang demikian para pakar tafsir
ikut mengantisipasinya dengan menyajikan penafsiran-penafsiran ayat-ayat
al-Quran yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan umat yang
semakin beragam.
Kondisi seperti
yang digambarkan itulah yang merupakan salah satu pendorong lahirnya tafsir
dengan metode analitis (tahlîliy), sebagaimana tertuang di dalam
kitab-kitab tafsir tahlîliy, seperti Tafsir ath-Thabari dan
lain-lain. Metode penafsiran tahliliy terasa lebih cocok pada
saat itu, karena dapat memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap
pemahaman ayat-ayat al-Quran. Dengan demikian, umat terasa terayomi oleh
penjelasan-penjelasan dan berbagai interpretasi yang diberikan terhadap
ayat-ayat al-Quran di dalam kitab tersebut.
Kemudian metode
penafsiran serupa itu diikuti oleh ulama tafsir yang datang kemudian, bahkan
berkembang dengan sangat pesat dalam dua bentuk penafsiran yaitu: al-ma’tsûr dan ar-ra’yi dengan
berbagai corak yang dihasilkannya, seperti tafsir fiqhiy, shûfiy (tasawuf), falsafiy,
‘ilmiy, adabiy-ijtimâ’iy dan lain-lain.
Dengan
dikarangnya kitab-kitab tafsir dalam dua bentuk penafsiran tersebut dengan
berbagai coraknya, umat ingin mendapatkan informasi lebih jauh berkenaan dengan
kondisi dan kecenderungan serta keahlian para pakar tafsir. Umat juga ingin
mengetahui pemahaman ayat-ayat al-Quran yang kelihatannya mirip, padahal ia
membawa pengertian yang berbeda. Demikian ditemukannya hadis-hadis yang secara
lahiriyah ada yang tampak bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran, padahal
secara teoritis hal itu tidak mungkin terjadi karena keduanya pada hakikatnya
berasal dari sumber yang sama, yakni Allah.
Kenyataan
sebagaimana yang digambarkan tersebut, mendorong para ulama untuk melakukan
perbandingan penafsiran ayat-ayat al-Quran yang pernah diberikan oleh para
ulama sebelumnya dalam memahami ayat-ayat al-Quran ataupun hadis-nadis Nabi
s.a.w.. Dengan demikian lahirlah tafsir dengan metode perbandingan (muqârin)
seperti yang diterapkan oleh al-Iskafi di dalam kitabnya Durrat
al-Tanzîl wa Ghurrat al-Ta’wîl, dan oleh al-Karmani di dalam kitabnya Al-Burhân
fi Taujîh Mutasyâbih al-Quran, dan lain-lain.
Permasalahan di
abad modern berbeda jauh dari apa yang dialami oleh generasi terdahulu.
Perbedaan tersebut terasa sekali di tengah masyarakat, seperti mobilitas yang
tinggi, perubahan situasi yang sangat cepat, dan lain-lain. Realitas kehidupan
yang demikian membuat masyarakat, baik secara individual maupun berkeluarga,
bahkan berbangsa dan bernegara, menjadi terasa seakan-akan tidak punya waktu
luang untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar-besar sebagaimana telah
disebutkan tadi. Padahal untuk mendapatkan petunjuk al-Quran umat dituntut
membaca kitab-kitab tafsir tersebut.
Untuk
menanggulangi permasalahan itu, ulama tafsir pada abad modern menawarkan tafsir
al-Quran dengan metode baru, yang disebut dengan metode tematik (maudhû’iy).
Dengan lahirnya metode ini, mereka yang menginginkan petunjuk al-Quran dalam
suatu masalah tidak perlu menghabiskan waktunya untuk membaca kitab-kitab
tafsir yang besar itu, tetapi cukup membaca tafsir tematik tersebut selama
permasalahan yang ingin mereka pecahkan dapat dijumpai dalam kitab tafsir itu.[7]
C.
Metode-metode
Penafsiran al-Quran
Ulama selalu
berusaha untuk memahami kandungan al-Quran sejak masa ulama salaf sampai masa
modern. Dari sekian lama perjalanan sejarah penafsiran al-Quran, banyak ditemui
beragam tafsir dengan metode dan corak yang berbeda-beda. Dari sekian banyak
macam-macam tafsir, ulama membuat penglasifikasian tafsir dengan sudut pandang
yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya.
M. Quraish
Shihab, dalam bukunya “Membumikan al-Quran”, membagi tafsir dengan
melihat corak dan metodenya menjadi; tafsir yang bercorak ma’tsûr dan
tafsir yang menggunakan metode penalaran yang terdiri dari metode tahlîliy dan
maudhû’iy.[8]
Al-Farmawi membagi tafsir dari segi metodenya menjadi empat bagian yaitu,
metode tahlîliy, ijmâliy, muqâran dan maudhû’iy.
Sedangkan metode tahlîliy dibagi menjadi beberapa corak tafsir
yaitu: at-Tafsîr bi al-Ma’tsûr, at-Tafsîr bi al-Ra’yi, at-Tafsîr
ash-Shûfiy, at-Tafsîr al-Fiqhiy, at-Tafsîr al-Falsafiy, at-Tafsîr
al-‘Ilmiy, at-Tafsîr al-Adabiy wa al-Ijtimâ’iy.[9]
Berikut ini
akan dijelaskan metode-metode tafsir dengan mengikuti pola pembagian
al-Farmawi, adalah sebagai berikut:
1. Metode Tafsir Tahliliy
a. Pengertian Tafsir Tahliliy
Metode Tafsir Tahlîliy adalah
suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran
dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat
sebagaimana yang telah tersusun di dalam mush-haf. Penafsir memulai uraiannya
dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti
global ayat. Ia juga mengemukakan munâsabah (korelasi) ayat-ayat
serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu
pula, penafsir membahas mengenai sabab al-nuzûl (latar
belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasulullah s.a.w.,
sahabat, atau para tabi’in, yang kadang-kadang bercampur-baur dengan pendapat
para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan
sering pula bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang
dipandang dapat membantu memahami nash (teks) al-Quran
tersebut.[10]
Muhammad Baqir
ash-Shadr menyebut tafsir metode tahlîliy ini dengan tafsir tajzî’iy,
yang secara harfiah berarti “tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian
atau tafsir parsial”.[11]
b. Bentuk Tafsir Al-Quran dengan Metode Tahlîly
Metode Tahlîly kebanyakan
dipergunakan para ulama masa-masa klasik dan pertengahan. Di antara mereka,
sebagian mengikuti pola pembahasan secara panjang lebar (ithnâb),
sebagian mengikuti pola singkat (i’jâz) dan sebagian mengikuti pula
secukupnya (musâwâh). Mereka sama-sama menafsirkan al-Quran dengan metode tahlîliy,
namun dengan corak yang berbeda.[12]
Para ulama
membagi wujud tafsir al-Quran dengan metode tahlîly kepada
tujuh macam (bentuk) yaitu: At-Tafsîr bi al-Ma’tsûr, At-Tafsîr
bi ar-Ra’yi, At-Tafsîrash-Shûfiy, At-Tafsîr al-Fiqhiy, At-Tafsîr al-Falsafiy, At-Tafsîr
al-‘Ilmiy, dan At-Tafsîr al-Adabiy al-Ijtimâ’iy.
c. Kitab-kitab Tafsir yang Menggunakan Metode tahlîliy
Di antara
kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah: a) Tafsîr
al-Qurân al-‘Azhîm karya Ibn Katsîr’ b) Tafsîr al-Munîr karya
Syaikh Nawawiy al-Bantaniy. Ada yang menulis dengan sangat panjang, seperti
kitab tafsir karya al-Alusi, Fakhr al-Din ar-Razi, dan Ibn Jarir ath-Thabari;
ada yang sedang, seperti kitab Tafsir al-Baidhawi dan an-Naisaburi; dan ada
pula yang ditulis dengan ringkas, tetapi jelas dan padat, seperti kitab Tafsîr
al-Jalâlaiyn karya Jalal ad-Din Suyuthi dan Jalal ad-Din al-Mahalli
dan kitab Tafsir yang ditulis Muhammad Farid Wajdi.
d. Kelebihan dan Kekurangan Metode
Tahlîliy
1) Kelebihan
Metode Tahlîliy
- Dapat mengetahui dengan mudah tafsir suatu
surat atau ayat, karena susunan tertib ayat atau surat mengikuti susunan
sebagaimana terdapat dalam mushaf,
- Mudah mengetahui relevansi/munâsabah antara
suatu surat atau ayat dengan surat atau ayat lainnya,
- Memungkinkan untuk dapat memberikan
penafsiran pada semua ayat, meskipun inti penafsiran ayat yang satu
merupakan pengulangan dari ayat yang lain, jika ayat-ayat yang ditafsirkan
sama atau hampir sama, dan
- Mengandung banyak aspek pengetahuan,
meliputi hukum, sejarah, sains, dan lain-lain.[13]
2) Kelemahan Metode Tafsir Tahlîliy
- Menghasilkan pandangan-pandangan yang
parsial dan kontradiktif dalam kehidupan umat Islam,[14]
- Faktor subjektivitas tidak mudah dihindari
misalnya adanya ayat yang ditafsirkan dalam rangka membenarkan
pendapatnya, dan
- Terkesan adanya penafsiran berulang-ulang,
terutama terhadap ayat-ayat yang mempunyai tema yang sama[15] masuknya
pemikiran isrâîliyyât.[16]
e. Urgensi Metode Tafsir Tahlîliy
Keberadaan
metode ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan dan
mengembangkan khazanah intelektual Islam, khususnya dalam bidang tafsir
al-Quran. Dengan adanya metode tahlîliy , maka lahir karya-karya
tafsir yang besar-besar sebagaimana yang telah disebutkan di depan.
Berdasarkan
kenyataan itu dapatlah dikatakan, urgensitas metode ini tidak dapat dipungkiri
oleh siapa pun. Dalam penafsiran al-Quran, jika ingin menjelaskan dengan firman
Allah dari berbagai segi seperti bahasa, hukum-hukum fiqih, teologi, filsafat,
sains, dan sebagainya, maka di sini metode tahlîliy lebih
berperan dan lebih dapat diandalkan dari pada metode-metode yang lain.
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan, bahwa jika menginginkan pemahaman yang luas dari
suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek, maka jalan yang ditempuh
adalah menggunakan metode tafsir tahlîliy. Dan inilah salah satu
urgensi pokok bagi metode ini dibandingkan dengan yang lain.
2. Metode Tafsir Ijmâliy
a. Pengertian Tafsir Ijmâliy
Metode
Tafsir Ijmâliy adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan
ayat-ayat al-Quran dengan cara mengemukakan makna global. Di dalam sistematika
uraiannya, penafsir akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada
di dalam mush-haf; kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat
tersebut.[17]
Dengan metode Ijmâliy ,
para mufassir menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana, serta
memberikan idiom yang mirip, bahkan sama dengan al-Quran. Sehingga pembacanya
merasakan seolah-olah al-Quran sendiri yang berbicara dengannya. Sehingga
dengan demikian dapatlah diperoleh pengetahuan yang diharapkan dengan sempurna
dan sampailah kepada tujuannya dengan cara yang mudah serta uraian yang singkat
dan bagus.
Dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan metode Ijmâliy ’i,
mufassir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan asbâb al-nuzûl atau
peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti
Hadis-Hadis yang berhubungan dengannya.
Sebagai contoh:
”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalâlain terhadap 5 ayat
pertama dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global
hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang memadai. Penafsiran
tentang alif lâm mîm (الم), misalnya, dia hanya berkata: Allah Maha
Tahu maksudnya. Dengan demikian pula penafsiran ذلك
الكتاب, hanya dikatakan:
“Yang dibacakan oleh Muhammad”. Begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehingga
penafsiran lima ayat itu hanya dalam beberapa baris saja. Sedangkan
tafsir tahlîliy (analitis), al-Maraghi, misalnya, untuk
menjelaskan lima ayat pertama itu ia membutuhkan 7 halaman.[18]
b. Kitab-kitab Tafsir yang Menggunakan Metode Ijmâliy
Di antara
kitab-kitab Tafsir dengan metode ijmâliy adalah: Tafsîr
al-Jalâlayn, karya Jalal ad-Din as-Suyuthi dan Jalal ad-Din
al-Mahalli, Shafwah al-Bayân Lima’âni al-Qurân, karya Syeikh
Hasanain Muhammad Makhluf, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, karya Ustadz
Muhammad Farid Wajdiy, Tafsîr al-Wasîth, karya Tim Majma’ al-Buhûts
al-Islâmiyyah (Lembaga Penelitian Islam) al-Azhar Mesir.[19]
c Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmâliy
1) Kelebihan
Metode Tafsir Ijmâliy
- Praktis dan mudah dipahami,
- Bebas dari penafsiran israiliyat,
dan
- Akrab dengan bahasa al-Quran
2) Kekurangan
Metode Tafsir Ijmâliy
- Menjadikan petunjuk al-Quran bersifat
parsial, dan
- Tidak mampu mengantarkan pembaca untuk
mendialogkan al-Quran dengan permasalahan sosial maupun keilmuan yang
aktual dan problematic.
d. Urgensi Metode Tafsir Ijmâliy
Dalam hal ini,
bagi para pemula atau mereka yang tidak membutuhkan uraian yang detail tentang
pemahaman suatu ayat, maka tafsir yang menggunakan metode ijmâliy ini
sangat membantu dan tepat sekali untuk digunakan. Hal itu disebabkan uraian di
dalam tafsir yang menggunakan metode ini sangat ringkas dan tidak
berbelit-belit, sehingga relatif lebih mudah dipahami oleh mereka yang berada
pada tingkat ini.
Kondisi
tafsir ijmâliy yang ringkas dan sederhana ini juga lebih cocok
bagi mereka yang disibukkan oleh pekerjaan rutin sehari-hari. Dengan demikian,
tafsir dengan metode ini sangat urgen (penting) bagi mereka yang berada pada
tahap permulaan mempelajari tafsir dan mereka yang sibuk dalam mencari
kehidupannya. Dalam kondisi yang demikian akan dapat dirasakan betapa cocoknya
tafsir ijmâliyini bagi mereka dalam rangka membimbing mereka ke
jalan yang benar serta diridhai Allah.
3. Metode Tafsir Muqâran
a. Pengertian
Yang dimaksud
dengan metode tafsir muqâran adalah mengemukakan penafsiran
ayat-ayat al-Quran yang ditulis oleh sejumlah para mufassir. Di sini seorang
mufassir menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Quran, kemudian ia mengkaji dan
meneliti penafsiran sejumlah mufassir mengenai ayat tersebut melalui
kitab-kitab tafsir mereka, apakah mereka itu mufassir dari generasi salaf
maupun khalaf, apakah tafsir mereka itu at-tafsîr bi al-ma’tsûr maupun at-tafsîr
bi ar-Ra’yi.[20]
Kemudian ia
menjelaskan bahwa di antara mereka ada yang corak penafsirannya ditentukan oleh
disiplin ilmu yang dikuasainya. Ada di antara mereka yang menitikberatkan pada
bidang nahwu, yakni segi-segi i’râb, seperti Imam az-Zarkasyi. Ada
yang corak penafsirannya ditentukan oleh kecenderungan kepada bidang balâghah,
seperti ‘Abd al-Qahhar al-Jurjaniy dalam kitab tafsirnya I’jâz
al-Qurân dan Abu Ubaidah Ma’mar Ibn al-Mustanna dalam kitab
tafsirnya al-Majâz, dimana ia memberi perhatian pada penjelasan
ilmu ma’âniy, bayân, badî’,haqîqah dan majâz.[21]
Jadi metode
tafsir muqâran adalah menafsirkan sekelompok ayat al-Quran
dengan cara membandingkan antar-ayat dengan ayat, atau antara ayat dengan
hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek
perbedaan tertentu dari objek yang dibandingkan tersebut.
b. Objek Kajian Metode Tafsir Muqâran
Objek kajian
tafsir dengan metode muqaran dapat dikelompokkan kepada tiga, yaitu,
perbandingan ayat al-Quran dengan ayat lain. Seperti halnya contoh berikut ini:
Penafsiran
disebabkan perbedaan redaksi namun peristiwa yang dibicarakannya sama, di
antaranya yang terdapat dalam QS al-An’âm, 6: 151 dan QS al-Isrâ’, 17:
31;
“Katakanlah:
“Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah
kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang
ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan,
Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu
mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. demikian itu yang
diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”
“Dan janganlah
kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi
rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.[22]
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”
Penafsiran dengan redaksi yang hampir sama
(mirip) dengan pembicaraan masalah yang berbeda, di antaranya terdapat QS Âli
‘Imrân: 126 dan QS al-Anfâl, 8: 10,
“Dan Allah
tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira
bagi (kemenangan)-mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. dan kemenanganmu itu
hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
“Dan Allah
tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar
gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan kemenangan itu hanyalah
dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[23]
c. Perbandingan Ayat Al-Quran dengan Hadis
- Menentukan nilai hadis yang akan
diperbandingkan dengan ayat al-Quran. Hadis itu haruslah shahih.
Hadis dha’if tidak diperbandingkan karena, disamping
nilai otentisitasnya rendah, dia justeru semakin tertolak karena
pertentangannya dengan ayat al-Quran,
- Membandingkan dan menganalisis
pertentangan yang dijumpai di dalam kedua redaksi yaitu ayat dengan hadis
itu, dan
- Membandingkan pendapat para ulama tafsir
dalam menafsirkan ayat dan hadis tersebut.
Seperti contoh
dalam perbedaan antara ayat al-Quran QS an-Nahl, 16: 32 dengan hadis
riwayat (HR Ahmad
dari Abu Hurairah) di bawah ini:
“(yaitu)
orang-orang yang diwafatkan dalam Keadaan baik oleh para Malaikat dengan
mengatakan (kepada mereka): “Salâmun’alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu
disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.”
لَا
يَدْخُلُ أَحَدُكُمْ الْجَنَّةَ بِعَمَلِهِ
“Tidak akan
masuk seorangpun diantara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya”. (HR Ahmad dari Abu Hurairah)
d. Perbandingan Penafsiran Mufassir dengan
Mufassir yang lain
Seperti contoh
dalam QS. al-An’âm, 6: 103,
“Dia tidak
dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang
kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.”[24]
Sedangkan dalam
perbedaan penafsiran mufassir yang satu dengan yang lain, mufassir berusaha
mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu diantara
perbedaan-perbedaan itu bila mungkin, dan mentarjîh salah satu
pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.[25]
e. Kitab-kitab Tafsir yang Menggunakan
Metode Muqâran
Di antara
kitab-kitab yang menggunakan metode ini adalah: Durrah at-Tanzîl wa
Ghurrah at-Tanwîl, karya al-Iskafi yang terbatas pada perbandingan antara
ayat dengan ayat; Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, karya al-Qurthubiy
yang membandingkan penafsiran para mufassir. Rawâ’i al-Bayân fî Tafsîr
Âyât al-Ahkâm, karya ‘Ali ash-Shabuniy’ Qur’an and its Interpreters adalah
satu karya tafsir yang lahir di zaman modern ini, buah karya Profesor Mahmud
Ayyoub.
f. Kelebihan dan Kekurangan Metode
Tafsir Muqâran
1) Kelebihan
Metode Tafsir Muqâran
- Membuka pintu untuk selalu bersikap
toleran terhadap pendapat orang lain,
- Tafsir dengan metode muqaran ini amat
berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu
ayat, dan
- Dengan menggunakan metode muqaran ini,
maka mufassir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta
pendapat-pendapat para mufassir yang lain.
2) Kekurangan
Metode Tafsir Muqâran
- Penafsiran yang menggunakan metode ini,
tidak dapat diberikan kepada para pemula,
- Metode muqâran kurang
dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah
masyarakat. hal itu disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan
daripada pemecahan masalah, dan
- Metode muqâran terkesan
lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah di berikan oleh
ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru. sebenarnya kesan
serupa itu tak perlu timbul bila mufassirnya kreatif.
g. Urgensi Metode Tafsir Muqâran
Pada abad
modern sekarang, tafsir dengan metode ini terasa makin dibutuhkan oleh umat.
Hal itu terutama dikarenakan timbulnya berbagai paham dan aliran yang
kadang-kadang jauh keluar dari pemahaman yang benar. Dengan menggunakan metode muqâran ini,
akan dapat diketahui mengapa penafsiran yang menyimpang itu timbul dan bahkan
dapat membuat sikap ekstrim di kalangan sebagian kelompok masyarakat.
Dengan
metode muqâran ini amat penting posisinya, terutama dalam
rangka mengembangkan pemikiran tafsir, yang rasional dan objektif, sehingga
kita mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif berkenaan dengan latar
belakang lahirnya suatu penafsiran dan sekaligus dapat dijadikan perbandingan
dan pelajaran dalam mengembangkan penafsiran al-Quran pada periode-periode
selanjutnya.
4. Metode Tafsir Maudhû’iy
a. Pengertian Tafsir Maudhû’iy
Metode
tafsir maudhû’iy juga disebut dengan dengan metode tematik
yaitu menghimpun ayat-ayat al-Quran yang mempunyai maksud yang sama, dalam
arti, sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar
kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut.
Kemudian
penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.
Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya ini dengan metode maudhû’iy,
dimana ia melihat ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan
analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk
menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan
tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan
baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala kritik.[26]
b. Cara Kerja Tafsir Maudhû’iy
Al-Farmawi di
dalam kitab Al-Bidâyah fî al-Tafsir al-Maudhû’iy[27] secara
rinci mengemukakan cara kerja yang harus ditempuh dalam menyusun suatu karya
tafsir berdasarkan metode ini. Antara lain adalah sebagai berikut:
- Memilih atau menetapkan masalah al-Quran
yang akan dikaji secaramaudhû’iy (tematik),
- Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang
berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makkiyyah dan
Madaniyyah,
- Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut
menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar
belakang turunnya ayat atau asbâb an-nuzûl,
- Mengetahui korelasi (munâsabah)
ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya,
- Menyusun tema bahasan di dalam kerangka
yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (outline),
- Melengkapi pembahasan dan uraian dengan
hadis, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna
dan semakin jelas,
- Mempelajari ayat-ayat tersebut secara
tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung
pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian ‘âm dan khash,
antara yang muthlaqdan yang muqayyad,
menyingkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan
ayat nâsikh dan mansûkh, sehingga semua ayat
tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau
tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat,[28]
dan
- Menyusun kesimpulan yang menggambarkan
jawaban al-Quran terhadap masalah yang dibahas[29]
c. Bentuk Kajian Tafsir Maudhû’iy
Di sini
tafsir maudhû’iy mempunyai dua bentuk, yaitu Tafsir yang
membahas satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya
yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah
yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul
utuh dan cermat.
Menurut M.
Quraish Shihab, biasanya kandungan pesan suatu surah diisyaratkan oleh nama
surah tersebut, selama nama tersebut bersumber dari informasi Rasulullah
s.a.w.. Ia mencontohkan surah al-Kahfi, yang secara harfiah berarti gua. Gua
itu dijadikan tempat berlindung oleh sekelompok pemuda untuk menghindar dari
kekejaman penguasa zamannya. Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa surah itu
dapat memberi perlindungan bagi yang menghayati dan mengamalkan pesan-pesannya.
Itulah pesan umum surah tersebut. Ayat atau kelompok ayat yang terdapat di
dalam surah itu kemudian diupayakan untuk dikaitkan dengan makna perlindungan
itu.
Tafsir maudhû’iy dalam
bentuk pertama ini sebenarnya sudah lama dirintis oleh ulama-ulama tafsir
periode klasik, seperti Fakhr ad-Din al-Razi. Namun, pada masa belakangan
beberapa ulama tafsir lebih menekuninya secara serius. Tafsir yang menghimpun
sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah
tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah
satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhû’iy. Bentuk
kedua inilah yang lazim terbayang di benak kita ketika mendengar istilah
tafsir maudhû’iy itu diucapkan.
Upaya
mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya itu pada akhirnya akan
mengantarkan mufassir kepada kesimpulan yang menyeluruh tentang masalah
tertentu menurut pandangan al-Quran. Bahkan melalui metode ini, mufassir dapat
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di dalam benaknya dan
menjadikannya sebagai tema-tema yang akan dibahas dengan tujuan menemukan
pandangan al-Quran mengenai hal tersebut.
Contoh:
ayat-ayat khusus mengenai harta anak yatim terdapat pada ayat-ayat di bawah
ini:
“Dan janganlah
kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga
sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami
tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan
apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah
kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat.” (QS
al-An’âm, 6:152).
“Dan berikanlah
kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar
yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.
Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang
besar”. (QS
an-Nisâ, 4: 2)
Dan surat QS an-Nisâ, 4: 10 dan 127.
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).”
“Dan mereka
minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: Allah memberi fatwa
kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Quran (juga
memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka
apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan
tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya
kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu
kerjakan, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.”
d. Kitab-Kitab Tafsir yang Menggunakan
Metode Maudhû’iy
Sebagian
kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode maudhu’iy ini adalah: Al-Mar’ah
fî al-Qurân dan Al-Insân fî al-Qurân al-Karîm karya
Abbas Mahmud al-Aqqad; Ar-Ribâ fî al-Qurân al-Karîm karya Abu
al-‘A’la al-Maududiy; Al-Washâyâ al-‘Asyr karya Syaikh Mahmud
Syalthut; Tema-tema Pokok al-Quran karya Fazlur Rahman;
dan Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umatkarya
M. Quraish Shihab.[30]
e. Kelebihan dan Kekurangan Metode Maudhû’iy
1) Kelebihan
Metode Maudhû’iy
- Hasil tafsir maudhû’iy memberikan
pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan hidup praktis, sekaligus
memberikan jawaban terhadap tuduhan/dugaan sementara orang bahwa al-quran
hanya mengandung teori-teori spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata,
- Sebagai jawaban terhadap tuntutan
kehidupan yang selalu berobah dan berkembang, menumbuhkan rasa kebanggaan
terhadap al-Quran,
- Studi terhadap ayat-ayat terkumpul dalam
satu topik tertentu juga merupakan jalan terbaik dalam merasakan fashâhah dan balâghah al-Qurân,
- Kemungkinan untuk mengetahui satu
permasalahan secara lebih mendalam dan lebih terbuka, dan
- Tafsir maudhû’iy lebih
tuntas dalam membahas masalah.
2) Kekurangan
Metode Maudhû’iy
- Mungkin melibatkan pikiran dalam
penafsiran terlalu dalam, dan
- Tidak menafsirkan segala aspek yang
dikandung satu ayat, tetapi hanya salah satu aspek yang menjadi topik
pembahasan saja.
f. Urgensi Metode Maudhû’iy
Di depan telah
disinggung bahwa tafsir dengan metode maudhû’iy lebih dapat
diandalkan untuk menjawab permasalahan kehidupan di muka bumi ini. Itu berarti,
metode ini besar sekali artinya dalam kehidupan umat agar mereka dapat terbimbing
ke jalan yang benar sesuai dengan maksud diturunkannya al-Quran.
Berangkat dari
pemikiran yang demikian, maka kedudukan metode ini menjadi semakin kuat di
dalam khazanah intelektual Islam. Oleh karenanya metode ini perlu dimiliki oleh
para ulama, khususnya oleh para mufassir atau calon mufassir agar mereka dapat
memberikan kontribusi menuntun kehidupan di muka bumi ini ke jalan yang benar
demi meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
KESIMPULAN
Al-Quran secara tekstual memang tidak berubah, tetapi
penafsiran atas teksnya selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu
manusia. Oleh Karena itu, al-Quran selalu membuka diri untuk dianalisis,
dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode,
dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Metode tafsir al-Quran adalah suatu
cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar
tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran atau
lafazh-lafazh yang musykil yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad
s.a.w.
Sejak Rasulullah s.a.w. dikenal dua cara
penafsiran al-Quran. Pertama, penafsiran berdasarkan petunjuk
wahyu. Kedua, penafsiran berdasarkan ijtihad atau ra’yi.
Pada periode berikutnya, umat Islam semakin majemuk dengan berbondong-bondong
bangsa non-Arab masuk Islam, terutama setelah tersebarnya Islam ke
daerah-daerah yang jauh di luar tanah Arab. Kondisi seperti yang digambarkan
itulah yang merupakan salah satu pendorong lahirnya tafsir dengan metode
analitis (tahlîliy), sebagaimana tertuang di dalam kitab-kitab
tafsir tahlîliy, Kemudian datanglah dua bentuk penafsiran
yaitu: al-ma’tsûr dan ar-ra’yi dengan
berbagai corak yang dihasilkannya, seperti tafsir fiqhiy, shûfiy (tasawuf), falsafiy,
‘ilmiy, adabiy-ijtimâ’iy dan lain-lain. Permasalahan di abad modern
berbeda jauh dari apa yang dialami oleh generasi terdahulu. Untuk menanggulangi
permasalahan itu, ulama tafsir pada abad modern menawarkan tafsir al-Quran
dengan metode baru, yang disebut dengan metode tematik (maudhû’iy).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Izzan. t.t. Metodologi Ilmu Tafsir, tt: Tafakur,.
Arif
Junaidi, Akhmad. 2000. Pembaharuan Metodologi Tafsir Al-Quran (Studi
Atas Pemikiran Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman), Semarang: CV. Gunung
Jati.
Al-Farmawiy,
Abd al-Hayy. 1996. Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Alfatih
Suryadilaga, dkk., 2005. Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras.
Al-Munawar,
Said Agil Husin. 2002. Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
Jakarta: Ciputat Press.
Al-Qaththan
Manna’ Khalil. 1996. Studi Ilmu-Ilmu Quran, Jakarta: Litera AntarNusa.
Ash-Shalih,
Subhi. 1995. Membahas Ilmu-ilmu al-Quran, Jakarta:Pustaka Firdaus.
As-Shauwy,
Ahmad. 1995. Mukjizat Al-Quran dan Sunnah Tentang IPTEK,
Baidan,
M. Nashruddin. 2005. Metodologi Penafsiran Al-Quran. Yogyakarta:
Pustaka pelajar.
_______. 2002.
Metode Penafsiran Al-Quran Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat Yang Beredaksi
Mirip, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Buchori,
Didin Saefuddin. 2005. Pedoman Memahami Kandungan Al-Quran. Bogor:
Granada Sarana Pustaka.
Dawam
Rahardjo.2005. Paradigma Al-Quran Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial,
Jakarta: Pusat Studi Agama Dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah.
Jakarta:
Gema Insani Preass.
Nashiruddin
Baidan. 2005. Metodologi Penafsiran Al-Quran, Yogyakarta: Pustaka
pelajar.
Rohimin.
2007. Metodologi Ilmu Tafsir Dan Aplikasi Model Penafsiran, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Shihab,
M. Quraish. 1999. Membumikan Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, Bndung: Mizan.
———.
1999. Sejarah Dan ‘Ulum Al-Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Shihab,
M. Umar. 2005. Kontekstualitas Al-Quran Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum
Dalam Al-Quran, Jakarta: Penamadani.
Supiana
dan M. Karman. 2002. Ulumul Quran dan Pengenalan Metodologi Tafsir,
Bandung: Pustaka Islamika.
Watt,
W. Montgomery. 1995. Pengantar Studi Al-Quran, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
[1] Prof. Dr. Hasan Hanafi, Al-Yamin wa Al Yasar
Fi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuliy, Mesir, 1989, h. 77. Dalam http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Metoda.html
[2]
Ahmad Ash-Shauwiy, Mukjizat Al-Quran
dan Sunnah Tentang IPTEK, (Jakarta: Gema Insani Preass, 1995), h. 24.
[3] M. Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran
Al-Quran Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat Yang Beredaksi Mirip,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 54.
[4] Manna’ Khalil al-Qaththan, Studi
Ilmu-ilmu Quran, h.455-456.
[5] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran
Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1999),
h. 75.
[6] Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir Dan
Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 66.
[7]
M. Nashruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005), h. 3-8.
[8] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran,
h. 83.
[9] Abd al-Hayy
al-Farmawiy, Metode Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), h. 11.
[10] Abd al-Hayy al-Farmawiy, ibid, h. 12.
[11] M. Quraish Shihab dkk, Sejarah dan
‘Ulûm al-Qurân, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 172.
[12] Said Agil Husin al-Munawar, Al-Quran
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 70.
[13] Didin Saefuddin
Buchori, Pedoman Memahami Kandungan Al-Quran, (Bogor: Granada
Sarana Pustaka, 2005), h. 218-219.
[14] Akhmad Arif Junaidi, Pembaharuan
Metodologi Tafsir Al-Quran (Studi Atas Pemikiran Tafsir Kontekstual Fazlur
Rahman), (Semarang: CV. Gunung Jati, 2000), h. 24.
[15]
Didin Saefuddin Buchori, Ibid., h.
219.
[16] Supiana, dan M. Karman,Ulumul Quran dan
Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), h. 198.
[17] Abd al-Hayy al-Farmawiy. Metode Tafsir
Maudhu’i, h. 29.
[18] Hujair A.H. Sanaky, “Metode Tafsir
(Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin)”. Diakses
tanggal 27 Oktober 2011.
[19] M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi
Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 46.
[21] Said Agil Husin al-Munawar, Al-Quran
Membangun Tradisi, h. 73
[22]
Supiana dan Karman, h. 323.
[23] Supiana dan Karman., h. 324.
[26] Abd al-Hayy al-Farmawiy. Metode Tafsir
Maudhu’i, h. 36-37.
[28]
M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu
Tafsir, h. 48.
[30] M. Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan
‘Ulum al-Quran, h. 194.
1 komentar:
Where to play the live casino games - DRMCD
You can do casino games on the 충청북도 출장샵 home console, or 정읍 출장안마 on your phone. 광명 출장샵 They're a bit harder to pull off, as you'll 전라남도 출장안마 need to pull out a controller 용인 출장마사지 or have
Posting Komentar