ILMU MUKHTALIF
AL-HADITS WA MUSYKILUH
(علم مختلف الحديث ومشكله)
Oleh Khambali
PENDAHULUAN
Ilmu
mukhtalif al-hadits termasuk ilmu
terpenting bagi ahli hadits, ahli fiqh dan ulama-ulama lain. Bagi yang hendak
menekuninya harus memiliki pemahaman yang mendalam, ilmu yang luas, terlatih
dan berpengalaman. Orang yang bisa mendalaminya hanyalah
mereka yang mampu memadukan antara hadits dan fiqh. Dalam hal ini, As-Syakhawi
mengatakan: “Ilmu ini termasuk jenis yang terpenting yang sangat dibutuhkan
oleh ulama di berbagai disiplin. Yang bisa menekuninya secara tuntas adalah
mereka yang berstatus imam yang memadukan antara hadits dan fiqh dan yang
memiliki pemahaman yang sangat mendalam”.[1]
Ilmu
ini merupakan salah satu buah dari penghafal hadits, pemahaman secara mendalam
terhadapnya, pengetahuan tentang ‘am dan khash-nya, yang muthlaq
dan muqayyad-nya dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penguasaan
terhadapnya. Karena tidak cukup bagi seseorang hanya
dengan menghafal hadits, menghimpun sanad-sanadnya dan menandai kata-katanya
tanpa memahaminya dan mengetahui kandungan hukumnya.
Para ulama telah
memberikan perhatian serius terhadap ilmu mukhtalif al-hadits dan musykil
al-hadits ini sejak masa para sahabat Rasul Saw, yang
menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah Saw,
wafat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antara
berbagai hadits, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi
generasi mengikuti jejak mereka, mengompromikan antara hadits yang tampaknya
saling bertentangan dan menghilangkan kesulitan dalam memahaminya. Para ulama
memiliki peran yang besar dalam menghilangkan dan mengenyahkan sebagian
kerumitan yang ditebarkan oleh sementara aliran, seperti Mu’tazilah dan
Musyabbihah seputar beberapa hadits. Mereka menjelaskan pemahaman yang benar
mengenai hal-hal tersebut dan menghimpunnya di dalam
karya-karya spesifik.[2]
Dalam hal ini, penulis akan mencoba menguraikan dengan singkat tentang apa,
bagaimana dan mengapa ilmu mukhtalif al-hadits ada dalam pembahasan ilmu
hadits.
PEMBAHASAN
A.
Definisi Ilmu Mukhtalif Al-Hadits
Menurut Ajjaj al-Khathib, bahwa Ilmu Mukhtalif Al-Hadits, ialah:
الْعِلْمُ
الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ
الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ
بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ
فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu
yang membahas hadits-hadits, yang menurut lahirnya saling bertentangan atau
berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan
antara keduanya, sebagaimana yang membahas hadits-hadits yang sulit dipahami
kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya[3].
Dari
pengertian ini dapat dipahami, bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif
al-hadits, hadits-hadits yang tampaknya bertentangan akan diatasi dengan
menghilangkan pertentangan dimaksud. Begitu juga kemusykilan yang terlihat
dalam suatu hadits, akan segera dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat dari
kandungan hadits tersebut.
Definisi
yang lain menyebutkan sebagai berikut:
علم يبحث عن الاحاديث التي ظاهرها التناقض من حيث امكان الجمع
بينهاامابتقييد مطلقها اوبتخصيص عامها عامها اوحملها على تعدد الحادثة اوغيرذلك
Ilmu
yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena
adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid
kemutlakannya, atau mentakhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada
beberapa kejadian yang relevan dengan hadits tersebut, dan lain-lain[4].
Sebagian
ulama menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadits dengan ilmu musykil
al-hadits, ilmu ta’wil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtiaf
al-hadits. Akan tetapi yang dimaksudkan oleh istilah-istilah di atas,
artinya sama[5].
Sasaran ilmu
ini mengarah pada hadits-hadits yang saling berlawanan untuk dikompromikan
kandungannya dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya dan
seterusnya. Atau yang dalam kitab Manhal al-Lathif biasa
disebut al-ahadits allati mutadhadan fi
al-ma’na bi hasabi azh-zhahiry[6]. Ilmu
ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih[7].
Disebutkan bahwa Imam asy-Syafi`i (w. 204 H.) adalah ulama yang memelopori
munculnya disiplin ilmu mukhtalif al-hadits. Hal ini terlihat dalam
karya besarnya “al-Umm”, meskipun beliau tidak secara khusus mengarang
kitab mukhtalif al-hadits, tetapi di dalam kitab al-Umm beliau
mencantumkan pembahasan khusus tentang mukhtalif al-hadîts.
Jadi,
ilmu ini berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau lebih
hadits yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits
tersebut adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhish keumumannya,
atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak
datangnya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadits, ulama fiqh, dan
lain-lain.
Sebagai
contoh adalah dua hadits shahih di bawah ini:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا أَبُو جَنَابٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا
طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ قَالَ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَرَأَيْتَ الْبَعِيرَ يَكُونُ بِهِ الْجَرَبُ فَتَجْرَبُ الْإِبِلُ قَالَ ذَلِكَ الْقَدَرُ
فَمَنْ أَجْرَبَ الْأَوَّلَ (رواه
احمد)
“Telah menceritakan kepada kami Waki' telah
menceritakan kepada kami Abu Janab dari Ayahnya dari Ibnu Umar ia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada
penyakit menular, thiyarah (firasat buruk) dan burung hantu." Lalu
seorang laki-laki menghadap beliau dan bertanya, "Wahai Rasulullah,
bagaimana pendapatmu dengan unta yang terkena penyakit kudis hingga seluruh
unta terkena kudis?" Beliau menjawab: "Itulah takdir, lalu siapakah
yang menulari unta pertama?” (HR. Ahmad).
Secara
lahirnya bertentangan dengan hadits:
فر من المجذوم كما تفرمن الاسد (رواه البخارى ومسلم)
Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari
singa…(HR. Bukhari-Muslim).
Para
ulama mencoba mengkompromikan dua hadits ini, antara lain:
1.
Ibnu
Al-Shalih menta’wilkan bahwa penyakit itu tidak dapat menular dengan
sendirinya. Tetapi Allah-lah yang menularkannya dengan perantaraan (misalnya)
adanya percampuran dengan orang yang sakit, melalui sebab-sebab yang
berbeda-besa.
2.
Al-Qadhi
Al-Baqillani berpendapat bahwa ketetapan adanya penularan dalam penyakit lepra
dan semisalnya itu, adalah merupakan kekhususan bagi ketiadaan penularan.
Dengan demikian arti rangkaian kalimat, “la ‘adwa” itu, selain
penyakit lepra dan semisalnya. Jadi seolah-olah Rasul Saw, mengatakan: “Tak
ada suatu penyakit pun yang menular, selain apa yang telah kami terangkan apa
saja yang dapat menular”.
B.
Seputar Ilmu Mukhtalif Al-hadits dan Musykil
Dalam
penjelasan mengenai ilmu ini, nantinya akan berkaitan dengan
hadits-hadits mukhtalif, atau bisa disebut sebagai objek kajian
daripada disiplin ilmu ini. Oleh karenanya perlu adanya penjelasan tentang
hadits mukhtalif tersebut.
Hadits mukhtalif adalah
hadits-hadits yang mengalami pertentangan satu sama lain. Namun di antara
pertentangan itu hanya terdapat pada zhahirnya saja, dan ketika ditelusuri
sebenarnya masih memungkinkan untuk dikompromikan. Sementara menurut Nuruddin
‘Itr, hadits-hadits mukhtalif ialah hadits-hadits yang secara
lahiriah bertentangan dengan kaedah-kaedah yang baku, sehingga mengesankan
makna yang batil atau bertentangan dengan nash-nash syara’ yang lain[8]. Atau
lebih jelasnya tentang mukhtalif ini adalah adanya
peretentangan dengan al-Quran, akal, sejarah, atau ilmu pengetahuan dan sains
modern. Dan yang termasuk dalam pengertian hadits mukhtalif adalah
hadits-hadits yang sulit dipahami (musykil)[9]. Dr.
Abu al-Layth mendefinisikan hadits musykil sebagai hadits maqbul (shahih
dan hasan) yang tersembunyi maksudnya karena adanya sebab dan hanya diketahui
setelah merenungkan maknanya atau dengan adanya dalil yang lain.
Dinamakan musykil karena maknanya yang tidak jelas dan sukar dipahami
oleh orang yang bukan ahlinya[10].
Ibn Furak (w.
406 H.) dalam kitabnya yang berjudul Musykil al-Hadits wa Bayanuh,
berpendapat bahwa hadits musykil adalah hadits yang tidak
dapat dengan jelas dipahami tanpa menyertakan penjelasan lain, seperti hadits-hadits
yang kandungannya berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Dzat Allah,
sifat-sifat maupun perbuatan-Nya yang menurut akal tidak layak dikenakan
penisbatannya kepada-Nya kecuali setelah dilakukan ta’wil terhadap
haditst-haditst tersebut.
C.
Sebab–sebab
yang Melatarbelakangi Adanya Hadits Mukhtalif
- Faktor Internal, yaitu
berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya
terdapat ‘illat (cacat) di dalam hadits tersebut yang
nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara
otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan
hadits shahih.
- Faktor Eksternal, yaitu
faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana
menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana Nabi
menyampaikan haditsnya.
- Faktor Metodologi, yakni
berkaitan dengan bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits
tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstual dan belum
secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang
dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkan
hadits-hadits yang mukhtalif.
- Faktor Ideologi, yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu
madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya
perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang[11].
D.
Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif
1.
Metode al-Jam’u wa at-Taufiq
Metode ini dinilai lebih baik daripada melakukan tarjih (mengumpulkan
salah satu dari dua hadits yang tampak bertentangan). Metode al-jam’u wa
at-taufiq ini tidak berlaku bagi hadits–hadits dha’îf (lemah)
yang bertentangan dengan hadits–hadits yang shahih.
Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa at-taufiq adalah
hadits tentang cara berwudhu Rasulullah Saw,. Hadits pertama menyatakan bahwa
Rasulullah Saw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta
mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا
الْرَّبِيْعُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا
الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا
عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ
بْنِ يَسَارٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَّأَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً
مَرَّةً. اختلاف الحديث –
ج ١ ص ٦
Ar-Rabi’ telah
bercerita kepada kami, dia berkata: Imam asy-Syafi’i memberi kabar kepada kami,
Ia berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid
ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw. berwudhu
membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali (H.R. asy-Syafi’i).
Sementara dalam
riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan membasuh wajah dan
kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terbaca dalam
hadits berikut ini:
أَخْبَرَنَا
الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا
سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ
حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا.اختلاف الحديث –
ج ١ ص٧
Imam
Asy-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibn ‘Uyainah
telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari
Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan mengulangi tiga
kali (dalam membasuh dan mengusap). (HR Asy-Syafi’i).
Kedua riwayat
tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama shahih dan akhirnya
diselesaikan dengan metode al-Jam’u wa at-Taufîq dengan
komentar Imam asy-Syafi’i dalam kitab Ikhtilaf al- Hadits :
قَالَ
الشَّافِعِيُّ: وَلاَ يُقَالُ
لِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الأَحَادِيثِ: مُخْتَلِفٌ
مُطْلَقًا، وَلَكِنَّ الْفِعْلَ فِيهَا يَخْتَلِفُ مِنْ وَجْهِ أَنَّهُ مُبَاحٌ
لاِخْتِلاَفِ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ ، وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، وَلَكِنْ يُقَالُ: أَقَلُّ مَا
يَجْزِي مِنَ الْوُضُوءِ مَرَّةٌ، وَأَكْمَلُ مَا يَكُونُ مِنَ الْوُضُوءِ ثَلاَثٌ. اختلاف الحديث –
ج ١ ص٧
Dengan
terjemahan bebasnya adalah Imam asy-Syafi’i berkata: “hadits-hadits itu tidak
bisa dikatakan sebagai hadits yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa
dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta
mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam
berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap
tangan serta mengusap kepala)10“.
2. Metode Tarjih
Metode ini dilakukan
setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu
memilih dan mengunggulkan mana di antara hadits-hadits yang tampak bertentangan
yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang
dijadikan dalil.
Harus diakui
bahwa ada beberapa matan (teks) hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada
juga yang benar-benar bertentangan dengan al-Quran. Antara lain adalah hadits
tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di neraka.
Sebagai contoh adalah hadits berikut ini:
الْوَائِدَةُ وَالْمَوْؤُودَةُ فِي النَّارِ
Perempuan yang mengubur
bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka (HR Abu Dawud).
Hadits
tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim.
Konteks munculnya hadits tersebut (Sabab Wurudnya) adalah bahwa
Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah Saw,. Seraya
bertanya: “Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dahulu orang yang
suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tetapi ia meninggal dalam
keadaan jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi
menjawab: tidak. Kami berkata: dahulu ia pernah mengubur saudaranya perempuanku
hidup-hidup di zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat
baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan
anak yang dikuburnya berada di neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya
itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan an- Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad
oleh Imam Ibnu Katsir[12].
Hadits tersebut
dinilai musykil dari sisi matan dan mukhtalif dengan
al-Quran surat at-Takwir/81: 8-9 :
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ
قُتِلَتْ
Dan
apabila bayi–bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa
apakah dia dibunuh?
Kalau seorang
perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat dikatakan logis,
tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke neraka, masih
perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits tersebut harus ditolak
meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadits lain
yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah
ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al- Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa
yang akan masuk surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad Saw. akan masuk surga,
orang yang mati syahid juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga,
anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad.)
3. Metode Nasikh-Mansukh
Jika ternyata hadits
tersebut tidak mungkin ditarjih, maka para ulama menempuh metode nasikh-mansukh (pembatalan).
Maka akan dicari makna hadits yang lebih datang terlebih dahulu dan makna hadits
yang datang kemudian. Otomatis yang datang lebih awal di-naskh dengan
yang datang kemudian.
Secara bahasa naskh bisa berarti menghilangkan (al-izalah),
bisa pula berarti al-naql (memindahkan). Sedangkan secara
istilah naskh berarti penghapusan yang dilakukan oleh Syari’ (pembuat
syari’at; yakni Allah dan Rasulullah Saw.) terhadap ketentuan hukum syari’at
yang datang terlebih dahulu dengan dalil syar’i yang datang kemudian. Dengan
definisi tersebut, berarti bahwa hadits-hadits yang sifatnya hanya sebagai
penjelasnya (bayan) dari hadits yang bersifat global atau
hadits-hadits yang memberikan ketentuan khusus (takhsish) dari
hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan sebagai hadits nasikh (yang
menghapus).
Namun perlu diingat bahwa proses naskh dalam hadits hanya
terjadi di saat nabi Muhammad Saw. masih hidup. Sebab yang berhak menghapus
ketentuan hukum syara’, sesungguhnya hanyalah Syari’, yakni
Allah dan Rasulullah s.a.w.. Naskh hanya terjadi ketika pembentukan
syari’at sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan
hukum yang tetap (ba’da istiqrar al-hukm).
Salah satu contoh dua hadits yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan
dengan metode nasikh-mansukh adalah hadits
tentang hukum makan daging kuda:
أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ
حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ
الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ
الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ
أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ
السِّبَاعِ
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ
قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ
أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ
وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ.
Dua hadits di atas terlihat saling
bertantangan, hadits pertama berisi tentang larangan makan daging kuda
yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadîts kedua menunjukkan kebolehan memakan
daging kuda. Pertentangan ini tidak boleh tidah hatus dihilangkan dengan
cara naskh. Hukum keharaman makan daging kuda pada hadîts
pertama telah di-naskh-kan oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada
hadîts Jâbir ibn ‘Abdillah yang datang setelahnya[13].
4. Metode Ta’wil
Metode ini bisa
menjadi salah satu alternatif baru dalam menyelesaikan hadits-hadits yang
bertentangan. Sebagai contoh hadits tentang lalat. Hadits tersebut dinilai
kontradiktif dengan akal dan teori kesehatan. Sebab lalat merupakan
serangga yang sangat berbahaya dan bisa menyebarkan penyakit. Lalu bagaimana
mungkin Nabi s.a.w. menyuruh supaya menenggelamkan lalat yang hinggap di
minuman? Demikian kurang lebih keraguan dan penolakan Taufiq Shidqi terhadap
kebenaran hadits tentang lalat sebagaimana dikutip G.H.A. Juynboll[14]. Hadits
tersebut :
حَدَّثَنَا
خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ قَالَ حَدَّثَنِي
عُتْبَةُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ بْنُ حُنَيْنٍ قَالَ سَمِعْتُ
أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ
أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ
دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
Khalid Ibn
Makhlad bercerita kepada kami, Sulaiman ibn Bilal bercerita kepada kami, dia
berkata: Uthbah ibn Muslim telah bercerita kepadaku, dia berkata, Ubaidah ibn
Hunain berkata: saya mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah s.a.w.
bersabda: apabila ada lalat jatuh dalam minuman salah seorang kalian, maka
hendaklah ia membenamkannya sekalian, lalau buanglah lalat tersebut.
Sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit, sedang pada sayap yang
lain terdapat penawar (obat) (HR al-Bukhari).
Selintas hadits
tersebut memang tidak masuk akal dan kontradiksi dengan teori kesehatan. Namun
ternyata hasil penelitian dari sejumlah peneliti muslim di Mesir dan Saudi
Arabia terhadap masalah ini, justeru membuktikan lain. Mereka membuat minuman
yang dimasukkan kedalam beberapa bejana yang terdiri dari air, madu dan juice,
kemudian dibiarkan terbuka agar dimasuki lalat. Setelah lalat masuk kedalam
beberapa minuman tersebut, mereka melakukan komparasi penelitian, antara
minuman yang ke dalamnya dibenamkan lalat dan tidak dibenamkan. Ternyata
melalui pengamatan mikroskop diperoleh hasil bahwa minuman yang dihinggapi
lalat dan yang tidak dibenamkan dipenuhi dengan banyak kuman dan mikroba,
sementara minuman yang dihinggapi lalat justeru tidak dijumpai sedikitpun
minuman dan mikroba. Ini adalah sebuah penelitian ilmiah dan semakin
membuktikan kebenaran hadits tersebut secara ilmiah meskipun pada awalnya dari
zhahir hadits terlihat mempunyai pertentangan dengan ilmu kesehatan[15].
Sebenarnya
masih terdapat metode dalam penyelesaian hadits mukhtalif yang mana
biasa disebut metode tawaqquf. Namun ditengarai ketika orang
menggunakan metode ini terkesan hanya membiarkan saja tanpa ada usaha untuk
melakukan komparasi dengan penelitian lebih lanjut. Oleh karenanya lebih
cenderung menggunakan metode ta’wîl daripada menggunakan
metode tawaqquf. Karena setiap sumber perkataan Nabi pasti mengandung
sebuah makna dan tujuan sehingga bagaimanapun juga kita harus mengungkap makna
yang tersirat di dalamnya.
E.
Karya-karya dalam Ilmu Mukhtalif Al-Hadits
Banyak
ulama yang menyusun karya dalam bidang ilmu ini. Ada yang mencakup
hadits-hadits yang tampak bertentangan secra keseluruhan dan ada yang tidak, yakni
membatasi karyanya itu pada pengkompromian hadits-hadits yang tampak
kontradiktif atau hadits-hadits yang sulit dipahami saja, lalu menghilangkan
kesulitan itu dengan menjelaskan maksudnya.
Karya
paling awal dalam bidang ini adalah kitab Ikhtilaf al-Hadits karya Imam
Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (150-204), dan merupakan kitab terklasik yang
sampai saat ini masih dijadikan pegangan. Beliau tidak bermaksud menyebut semua
hadits yang tampak bertentangan, tetapi hanya menyebut sebagian saja,
menjelaskan seluruh sanadnya dan memadukan agar dijadikan sebagai sampel oleh
ulama lain. [16]
Setelah
karya asy-Syafi’i, karya yang terpopuler antara lain kitab Ta’wil Mukhtalif
al-Hadits kayra Imam al-Hafidz Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah ad-Dainuriy
(213-276). Beliau menyusunnya untuk menyanggah musuh-musuh hadits yang
melancarkan beberapa tuduhan kepada ahli hadits dengan sejumlah periwayatan
beberapa hadits yang tampak saling bertentangan. Beliau menjelaskan
hadits-hadits yang mereka klaim saling kontradiktif dan memberikan tanggapan
terhadap kerancuan-kerancuan seputar hadits-hadits itu. Kitab beliau ini menempati posisi yang
amat tinggi dalam khazanah intelektual Islam, bahkan mampu membendung kerancuan
yang ditebarkan sementara kelompok Mu’tazilah, Musyabbihah dan yang lain.[17]
Seperti contoh dalam kitab tersebut, “Beliau berkata: Mereka – para pelaku
bid’ah – mengatakan, kalian meriwayatkan dari Nabi Saw, bahwa beliau bersabda
dalam sebuah hadits:
الماء لاينجسه شيئ
Air
tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu pun.
Kemudian
kalian juga meriwayatkan dari beliau, bahwa beliau bersabda:
اذابلغ الماء قلتين لم يحمل نجسا
Bila
air telah mencapai dua qullah, maka tidak akan membawa najis.
Yang
terakhir ini menunjukkan, bahwa bila air itu kurang dari dua
qullah, maka akan membawa najis. Ini jelas berbeda dengan hadits yang pertama.
Ibn
Qutaibah, dikatakan bahwa hadits kedua itu tidak bertentangan dengan hadits
yang pertama. Rasul Saw, menyabdakan hadits yang pertama berdasarkan kebiasaan
dan yang paling banyak terlihat. Karena biasanya air yang ada di sumur-sumur
ataupun kolam-kolam jumlahnya banyak. Sehingga pernyataan beliau tersebut
memiliki pengertian spesifik. Ini sama dengan orang yang mengatakan, “Banjir
tak dapat dibendung oleh sesuatu pun”. Padahal ada banjir yang terbendung oleh
tembok. Yang dimaksud adalah banjir bandang, bukan banjir kecil. Sama juga
dengan orang yang mengatakan, “Api tak dapat dimatikan oleh sesuatu pun”. Yang dimaksudkannya adalah bukan api
lentera yang akan mati tertiup angin, bukan pula percikan api, tetapi yang
dimaksudkannya adalah api yang membara. Kemudian beliau menjelaskan ukuran air
dua qullah, suatu ukuran yang tidak bisa dinajiskan, yakni air yang terbilang
banyak.[18]
Dalam
bidang ini, yang terpopuler di antara karya-karya yang sampai kepada kita
adalah kitab Musykil al-Atsar karya Imam al-Muhaddits al-Faqih Abu
Ja’far Ahmad ibn Muhammad ath-tahthawiy (239-321 H), yang terdiri dari empat
jilid, dan dicetak di India pada tahun 1333 H.
Juga
kitab Musykil al-Hadits Wa Bayanuhu karya Imam al-Muhaddits Abu bakar
Muhammad ibn al-Hasan (ibn Furak) al-Anshariy al-Ashbahaniy yang wafat tahun
406 H. Beliau menyusunnya berkenaan dengan hadits-hadits secara literal diduga
kontradiktif, mengandung tasybih dan tajsim, yang dijadikan
sebagai landasan melancarkan cercaan terhadap agama. Lalu beliau menjelaskan
maksudnya dan membatalkan banyak klaim yang salah seputar hadits-hadits itu
dengan berargumen pada dalil-dalil naqli dan aqli. Kitab ini
telah dicetak di India pada tahun 1362 H.
KESIMPULAN
Ilmu mukhtalif al-hadits, ilmu
musykil al-hadits, ilmu ta’wil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu
ikhtiaf al-hadits merupakan istilah yang memiliki pengertian yang sama,
yakni ilmu yang berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau
lebih hadits yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan
hadits tersebut adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhish
keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang
lebih banyak datangnya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadits, ulama
fiqh, dan lain-lain. Adapun Metode Penyelesaian Hadits
Mukhtalif, ialah Metode al-Jam’u
wa at-Taufiq, Metode Tarjih, Metode Nasikh-Mansukh
dan Metode Ta’wil. Di
antara kitab yang membahas tentang Ilmu mukhtalif al-hadits ialah karya
paling awal dalam bidang ini adalah kitab Ikhtilaf al-Hadits karya Imam
Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (150-204), kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits kayra
Imam al-Hafidz Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah ad-Dainuriy (213-276), kitab Musykil
al-Atsar karya Imam al-Muhaddits al-Faqih Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad
ath-tahthawiy (239-321 H), yang terdiri dari empat jilid, dan dicetak di India
pada tahun 1333 H, dan kitab Musykil al-Hadits Wa Bayanuhu karya Imam
al-Muhaddits Abu bakar Muhammad ibn al-Hasan (ibn Furak) al-Anshariy
al-Ashbahaniy yang wafat tahun 406 H.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mustaqim. 2008. Ilmu Ma’anil
Hadits. Yogyakarta : Idea Press.
G.H.A Juynboll. 1969. The Authenticity
of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt. Leiden: E.J
Brill. Dikutip dari Abdul Mustaqim. 2008. Ilmu Ma’ânil Hadîts.
Yogyakarta : Idea Press.
Munzier Suparta. 2008. Ilmu
Hadits. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
M. Ajaj al-Khathib. 2000. Ushul
al-Hadits (Terjemahan). Jakarta : Gaya Media Pratama.
Nuruddin ‘Itr. “Ulûm al-Hadîts”.
diterjemahkan oleh Mujiyo. 1994. Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts Cet. ke-1,
Jilid 2. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Syaikh Manna’ al-Qaththan. 2005. Pengantar
Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
http://faizinlathif.wordpress.com/2009/04/27/metode-pemahaman-hadits-mukhtalif/
http://www.darulkautsar.netarticle.php?ArticleID=811
[1] Fath
al-Mughits karya as-Syakhawiy, hal. 362-363 dalam Buku M.
Ajaj al-Khathib. 2000. Ushul al-Hadits (Terjemahan). Jakarta : Gaya
Media Pratama, hal.
[2] Lihat Nasy’ah
Ulum al-Hadits, hal. 247, dalam Buku M. Ajaj al-Khathib. 2000. Ushul
al-Hadits, op.cit. hal
[3] Ajjaj
Al-Khathib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), Cet.
Ke-6, hal. 283, dalam Buku Munzier Suparta. 2008. Ilmu Hadits. Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, hal.
[4] Subhi
Al-Shalih, ‘Ulum Al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beeirut: Dar
Al-‘Ilmu Al-Malayyin, tt), hal.111. dalam Buku Munzier Suparta. Op.cit., hal.
[6]
http://www.darulkautsar.netarticle.php?ArticleID=811
[8]
Nuruddin ‘Itr, “Ulûm al-Hadîts”,
diterjemahkan oleh Mujiyo dari Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1994) Cet. ke-1, Jilid 2, Hal. 114.
[10]
Ibid.
[13]
http://faizinlathif.wordpress.com/2009/04/27/metode-pemahaman-hadits-mukhtalif/
[14]
G.H.A Juynboll, The
Authenticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt (Leiden:
E.J Brill, 1969) hal. 141-142 dikutip dari Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil
Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 100-101.
[15]
G.H.A Juynboll, The
Authenticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt (Leiden:
E.J Brill, 1969) hal. 141-142 dikutip dari Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil
Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 100-101.
[16] Kitab ini
dicetak di bagian margin kitab al-Umm, juz VII dalam Buku M. Ajaj
al-Khathib., op.cit., hal.
[17] Kitab ini
dicetak pada tahun 1326 di India dalam Buku M. Ajaj al-Khathib., op.cit. hal.
[18] Lihat Ta’wil
Mukhtalif al-Hadits, hal. 433-434 dalam Buku M. Ajaj al-Khathib.op.cit, hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar